Puisi Conie Sema
kisah pun meniti pintasan benua. laut pun
puisi-puisi itu kaunamai Balcon para migran
yang datang ketika kampung pergi
sepanjang lajur pepohon terbungkus kain saka merah
dilambaikan angin barat menyeret perahu-perahu ke timur
katamu kain itu bergambar wajah leluhurku
bukan Balcon putih pucat di pesisir Sumatera
seperti kecemasan Porto berubah kuning Asia
katamu kain itu bergambar wajah leluhurku
bukan Balcon putih pucat di pesisir Sumatera
seperti kecemasan Porto berubah kuning Asia
mitos-mitos menuliskan hikayat samudera
laut pun tubuh renta kau panggil puyang
meniti percakapan panjang Sriwijaya
tenggelam di gugusan kebun dan pabrik industri
mitos-mitos melambai coklat Kunming
kadang putih seperti lantai Balcon bergambar utara
bukit hutan sungai muara, lebak Melayu tua usai
ruwat berkepala sapi dan pasar-pasar tumbuh
aku mencari dan ingin seseorang. mungkin
perempuan yang setiap pagi kehilangan ibunya
atau puisi mempersepsikan kecemasan di rongga
kepala. kemarahan atas kekalahan, diam-diam
menggelar tontonan melukai sendiri hatinya
kadang putih seperti lantai Balcon bergambar utara
bukit hutan sungai muara, lebak Melayu tua usai
ruwat berkepala sapi dan pasar-pasar tumbuh
aku mencari dan ingin seseorang. mungkin
perempuan yang setiap pagi kehilangan ibunya
atau puisi mempersepsikan kecemasan di rongga
kepala. kemarahan atas kekalahan, diam-diam
menggelar tontonan melukai sendiri hatinya
mitos-mitos mengirim sandang pangan dari seberang
Balcon, pelangi tua itu. di Batanghari, aku di sini
di ruang ditumbuhi tubuh geosite. pasar-pasar sesak
kelebat burung-burung utara. aku lama mati di sini.
Jambi, Des. 2018
Balcon, pelangi tua itu. di Batanghari, aku di sini
di ruang ditumbuhi tubuh geosite. pasar-pasar sesak
kelebat burung-burung utara. aku lama mati di sini.
Jambi, Des. 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar