Foto: Yudi Semai, Awang 5334 Celcius-Teater Potlot (2018) |
Selasa, 21 Desember 2021
REMINDER - CONIE SEMA
Sabtu, 24 April 2021
Kamis, 22 April 2021
In Memoriam
Selamat Jalan Radhar Panca Dahana
Tahun 1994, Radhar Panca Dahana datang ke Palembang. Ia baru saja meluncurkan buku puisinya, Lalu Waktu. Melalui kontak sahabat T. Wijaya, akhirnya kami bertiga bertemu. Radhar menginap di rumah yang juga dijadikan sekretariat Teater Potlot. Ia sedikit bingung karena diskusi dan pembacaan antologi puisinya, kami gelar di sekretariat LBH Palembang. Saya dan T. Wijaya selaku panitia kecil, mengangkat tema diskusi, "Sastra Gerakan". Radhar membacakan puisinya di hadapan sejumlah aktivis pro-demokarasi, seniman, dan wartawan yang hadir dalam acara tersebut. Enam tahun kemudian rejim Orde Baru jatuh.
Usai pertemuan tersebut, saya sudah tak lagi bertemu Radhar. Saya pindah ke Bandarlampung, bekerja sebagai koresponden RCTI. Beberapa kesempatan bertemu dengan kawan-kawan dari Palembang, Radhar selalu menitipkan salam buat saya. Tapi kami belum juga ada kesempatan bertemu, sampai akhirnya beliau wafat, Kamis malam, 22 April 2021 bertepatan di bulan suci Ramadhan.
Berikut saya tampilkan beberapa
puisi Radhar Panca Dahana dari kumpulan puisi Lalu Waktu (1994).
Pulang
hujan sedari tadi belum berhenti
kenapa merpati terbang sendiri
kuyup basah tidak perduli
sudah berapa pagi,
tak mau juga ia menepi.
apa yang kau cari?
kabar kekasihkah menyertai
atau sekedar ingin kembali?
tahukah kamu, di sini
seumur hujan ia menanti
1987
Catatan Kaki Sehabis Demonstrasi
aku melihat diam
tak seorang saja
tapi satu bangsa
kulihat batu
padahal manusia
menunggu waktu
padahal sia sia
di ini negeri apa pun boleh terjadi
tapi jangan sebut revolusi,
siapa pun pahlawan ngeri. mimpi saja tak
berani
mereka capek dikibuli, dikebal sakit
hati
kubasuh kaca lensa, kuhapus kata
berikutnya
dan kutulis cerita: “aku melihat bisu
berjuta juta kamu berjuta juta aku.”
1987
Perjalanan
inilah arti banyak dari satu kata
laknat: saat.
inilah halte kehidupan, konstanta
peradaban, partikel
sebuah perjalanan; semua tumbuh sendiri
semua rusak
sendiri, untuk akhirnya mati. (dan
saat mengalir di situ).
inilah arti banyak dari perjalanan yang
tak mampu kita
hentikan. biang keladi semua yang tak
terelakkan.
tak pernah aku percaya jika hanya Tuhan
dan kematian
bisa meluputkan kita darinya.
tapi, inilah arti banyak jika hidup dan
peradaban baru
dari sejarah yang terbelenggu, akan kita
rapikan.
dengan segenap kemurnian, tanpa lagi
campur tangan
raksasa perusak itu. dan cuma ini
jawabku,
“kalahkan waktu!”
1985
Pembunuhan Kopi di Pagi Hari
andaikata
kuregang badan sekujur waktu, tetap saja tak kutemukan kau di situ. sejak lama
sudah, kecewa ini kupelihara, seperti lumut menyelimuti batu. aku tak pernah
sia-sia, walau sekali lagi, sekali lagi, melulu kekalahan kurayakan.
secangkir
kopi panas yang kuhirup pagi dini sekali, menyodorkan kangen yang selalu datang
di permukaan peruntunganku; kapan aku bisa memenangkan kejuaraan yang tak
pernah dipertandingkan? kangen yang selalu mengingatkan bahwa kau masih ada.
tapi koran pagi, berita radio dan televisi tak henti mengingatkan siapa saja
bahwa waktu sudah tiada. karena itu, silakan kita ramai ramai membunuh kecewa.
kita tidak bisa lagi mengenali diri sendiri lewat cermin mephistopheles. bahkan
kata hati pun sudah tidak jujur pada dirinya sendiri. lidah selalu me- ngatakan
“yang sebenarnya” dari yang sebenarnya bukan. emhh…betapa panas hari, dan tak
ada angin di sini. pada- hal masih dini pagi, dan tukang sayur mulai menjajakan
koran. pada saat seperti itu, pada suasana seperti itu, hanya satu yang ingin
aku nyatakan; aku dapatkan satu dari kamu dengan melenyapkan satu dariku. kau
tak tahu.
1992
Sekilas Biografi Radhar Panca Dahana
Radhar Panca Dahana dikenal
sebagai esais, sastrawan, kritikus sastra, dan jurnalis. Ia pun bergiat sebagai
pekerja dan pengamat teater. Puluhan esai, kritik, karya jurnalis, kumpulan
puisi, naskah drama, pertunjukan teater, dan beberapa buku tentang teater telah
dihasilkannya. Radhar lahir di Jakarta, 26 Maret 1965.
Nama Radhar merupakan akronim
dari nama kedua orang tuanya: Radsomo dan Suharti. Ia anak kelima dari tujuh
bersaudara yang seluruhnya juga mempunyai nama depan Radhar. Kehidupan masa
kecilnya sangat keras. Ayahnya yang pernah difitnah sebagai penyokong komunis
mendidik anak-anaknya dengan disiplin yang tinggi, bahkan cenderung otoriter.
Menurut Radhar, sejak kecil ia dan saudara-saudaranya sudah diajari berhitung
angka hingga jutaan, pulang ke rumah harus tepat waktu, dan senantisa belajar
kapan pun. Hukuman yang diterima jika melanggar aturan adalah sabetan rotan.
Selain itu, seluruh anak lelaki dikuncung, digundul dengan disisakan sedikit
rambut di ujung kepalanya. Dari semua saudaranya, hanya ia yang kerap
membangkang dan mendapat hukuman yang sangat keras. Ketidakcocokan cita-cita
antara orang tuanya dan dirinya, yaitu orang tuanya mengharapkan dirinya
menjadi pelukis, sedangkan ia sangat menyukai teater dan karang-mengarang, dan
karena sering pula disakiti secara fisik membuat Radhar, pada akhir tahun 1970,
sering pergi dari rumahnya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Tempat favorit yang ditujunya
adalah kawasan Bulungan, tempat yang kemudian membentuk pribadinya seperti yang
dikenal saat ini. Radhar Panca Dahana memang dianugerahi bakat menulis. Ketika
masih duduk bangku kelas lima sekolah dasar, ia sudah mampu menulis sebuah
cerita pendek “Tamu Tak Diundang.”
Radhar mengirimkannya ke harian Kompas dan dimuat. Pada saat duduk di bangku
kelas dua SMP, ia menjadi redaktur tamu majalah Kawanku. Selama beberapa bulan,
ia membantu menyeleksi naskah cerpen dan puisi yang masuk. Ia mulai mengarang
cerita pendek, puisi, dan membuat ilustrasi ketika duduk di kelas tiga SMP.
Beberapa karyanya, di
antaranya, dimuat di majalah Zaman, yang waktu itu redakturnya adalah Danarto.
Radhar menyamar jati dirinya dengan nama Reza Morta Vileni. Nama samaran itu
diilhami oleh nama teman sekolahnya, Rezania, yang piawai berdeklamasi. Saat
sekolah SMA di Bogor ia juga sempat bergabung dengan Bengkel Teater Rendra.
Namun, Radhar berselisih dengan Rendra mengenai manajemen grup. Akhirnya, ia
mengundurkan diri. Ia menuruti anjuran Anto Baret untuk melanjutkan studi ke
perguruan tinggi. Harapannya diterima di Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas
Pajajaran, gagal. Ia diterima di sosilogi, UI. Mata kuliahnya diselesaikan
dalam waktu 2,5 tahun.
Teater dan kerja jurnalistik
kembali menggodanya sehingga ia tidak acuh pada tata adminitrasi di kampusnya.
Saat ia akan pergi ke Prancis, barulah ia mengurus masalahnya itu. Tahun 1997,
Radhar melanjutkan studi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales,
Prancis, dengan meriset postmodernisme di Indonesia. Baru setahun, Radhar
pulang ke Indonesia dan membatalkan fasilitas studi yang harusnya mencapai
tingkat doktoral. Alasannya, “Aku tak kuat menahan diri. Sementara aku hidup
enak di sini, di negeriku orang-orang hidup dalam teror.” Pada waktu itu di
Indonesia sedang terjadi kekacauan politik dan ketidakstabilan keamanan akibat
tergulingnya Suharto dari kursi presiden.
Sepulang dari Prancis, Radhar
mengalami stres berat. Ia divonis gagal ginjal kronis, acute renal failure dan
cjronic renal failure, pembunuhan sel ginjal secara perlahan. Dua buah
ginjalnya dinyatakan sudah mati. Hingga hari ini, tiada hari yang ia lewati
tanpa gangguan 2-3 penyakit dari sekitar 15 penyakit baru yang dapatkan setelah
cuci darah. Pencapaiannya saat ini adalah mengelola rubrik “Teroka” di harian
Kompas, memimpin Federasi Teater Indonesia, Bale Sastra Kecapi, dan Teater
Kosong yang ia dirikan serta pengajar di Universitas Indonesia. Kini, Radhar
Panca Dahana menetap di Tangerang bersama istri dan seorang anaknya. Ketika
Arswendo Atmowiloto membuat Koma
(Koran Remaja) pada akhir 1970-an, Radhar turut terlibat sebagai reporter dan
menandai kiprahnya sebagai jurnalis. Ia mencantumkan nama aslinya Radhar
sebagai reporter dan Reza sebagai penata artistik. Pada periode itu
produktivitasnya mengarang cerpen remaja sangat tinggi. Waktu itu terbit
berbagai majalah kumpulan cerpen di Jakarta, seperti Pesona dan Anita, menjadi
tempat penampungan karyanya. Cerpen Radhar Panca Dahana kala itu juga mengisi
media massa cetak, seperti majalah remaja Gadis, Nona, dan Hai, bahkan, majalah
dewasa, seperti Keluarga, Pertiwi, dan Kartini. Karier Radhar sebagai jurnalis
pemula semakin berkembang ketika ia diterima bekerja di harian Kompas.
Valens Doy, wartawan senior Kompas, menempatkannya sebagai pembantu
reporter atau reporter lepas. Ia diminta menulis rubrik apa saja: olahraga,
kebudayaan, pendidikan, berita kota tentang kriminalitas, dan hukum. Akan
tetapi, pekerjaannya sebagai jurnalis terhenti saat orang tuanya tidak
mengizinkannya bekerja. Radhar harus kembali ke bangku sekolah. Pendidikan
SLTA-nya (melalui SMA 11 Jakarta, SMA 46 Jakarta, dan sebuah SMA di Bogor)
dihabiskan dalam waktu enam tahun. Menurutnya, hal itu adalah buah dari
kekecewaannya karena tidak diizinkan bekerja oleh orang tuanya. Sejak SD,
wataknya yang memberontak dan ingin “menguasai” publik membuatnya tidak disukai
oleh teman-temannya.
Di SMA, ia kerap bertengkar
dengan guru dan menolak sistem sekolah. Hal itu tidak mengherankan karena
Radhar yang senang membaca buku berat, seperti pemahaman Ivan Illic tentang
formalisme pendidikan dalam Bebas dari Sekolah dan pemikiran Paulo Freire dalam
Pendidikan Kaum yang Tertindas, tanpa mencernanya. Radhar Panca Dahana saat itu
dekat dengan Noorca M. Masardi, Anto Baret, dan W.S. Rendra. Ketiga orang
itulah yang membantunya dengan memberi nasihat mengenai apa yang patut
diperbuatnya.
Karya-karya Radhar Panca Dahana
Buku-buku yang ditulis Radhar antara lain:
- Homo Theatricus
- Menjadi Manusia Indonesia (esai humaniora, 2002)
- Jejak Posmodernisme (2004)
- Inikah Kita; Mozaik Manusia Indonesia (esai humaniora, 2006)
- Dalam Sebotol Coklat Cair (esai sastra, 2007).
Kumpulan puisi:
- Simponi Duapuluh (1988)
- Lalu Waktu (1994)
Kumpulan cerpen:
- Masa Depan Kesunyian (1995)
- Ganjar dan Si Lengli (1994)
- Cerita-Cerita dari Negeri Asap (2005)
Kumpulan drama:
- Metamorfosa Kosong (kumpulan drama, 2007)
- Memimpin kelompok Teater
Aquilla, Telaga, dan Teater Kosong Radhar Panca Dahana terpilih sebagai satu di
antara lima seniman muda masa depan Asia versi NHK (1996). Ia juga pernah
meraih Paramadina Award (2005), serta menjadi Duta Terbaik Pusaka Bangsa dan
Duta Lingkungan Hidup (sejak 2004). Pada tahun 2007 ia menerima Medali Frix de le Francophonie 2007 dari lima
belas negara berbahasa Prancis. (Conie Sema - dari berbagai sumber)
Jumat, 05 Februari 2021
SERI ARSIP
Surat Terbuka GM
dan Pram Perihal Maaf
ctober242015
Surat Terbuka untuk
Pramoedya Ananta Toer*
oleh Goenawan Mohamad
Seandainya ada Mandela di sini. Bung Pram, saya sering
mengatakan itu, dan mungkin mulai membuat orang jemu. Tapi Mandela, di Afrika
Selatan, menyelamatkan manusia dari abad ke-20. Tiap zaman punya gilanya
sendiri. Abad ke-20 adalah zaman rencana besar dengan pembinasaan besar. Hitler
membunuh jutaan Yahudi karena Jerman harus jadi awal Eropa yang bersih dari ras
yang tak dikehendaki. Stalin dan Mao dan Pol Pot membinasakan sekian juta
“kontrarevolusioner” karena sosialisme harus berdiri. Kemudian Orde Baru: rezim
ini membersihkan sekian juta penduduk karena “demokrasi pancasila” tak
memungkinkan adanya orang komunis (dan/atau “ekstrim” lainnya) di sudut
manapun.
Rencana besar, cita-cita
mutlak, dan mengalirkan darah. Manusia menjadi penakluk. Ia menaklukkan yang
berbeda, yang lain, agar dirinya jadi subjek.
Mandela bertahun-tahun di
penjara, orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun ditindas, tapi kemudian
ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak sepenuhnya benar: manusia
ternyata bisa untuk tak jadi penakluk. Ia menawarkan rekonsiliasi dengan bekas
musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si objek jadi sang subjek.
Tiap korban yang mengerti rasa
sakit yang sangat tak akan mengulangi sakit itu bahkan kepada musuhnya yang
terganas. Ia.akan menghabisi batas
antara subjek dan objek. Makna “rekonsiliasi” di Afrika Selatan punya analogi
dengan impian Marx: karena proletariat tertindas, kelas ini berjuang agar
setelah kapitalisme ambruk, segala kelas sosial pun hilang. Proletariat tak akan
mengakhiri sejarah dengan berkuasa, melainkan menghapuskan kekuasaan, pangkal
lahirnya korban-korban. Sejarah adalah sejarah penebusan kemerdekaan. Utopia
itu tak terlaksana, tapi tiap utopia mengandung sesuatu yang berharga. Begitu
ia menang, Mandela membongkar kembali tindak sewenang-wenang para petugas rezim
apartheid yang menindasnya (dan juga tindak sewenang-wenang pejuang kemerdekaan
pendukung Mandela sendiri). Proses itu mirip “pengakuan dosa” di depan publik.
Kemudian: pertalian kembali.
Mandela menunjukkan, bahwa pembebasan yang sebenarnya adalah pembebasan bagi
semua pihak. Bung Pram, saya ragu apakah Bung akan setuju dengan asas itu. Bung
menolak ide “rekonsiliasi”, seperti Bung nyatakan dalam wawancara dengan Forum
Keadilan 26 Maret 2000 pekan lalu. Bung menolak permintaan maaf dari Gus Dur.
“Gampang amat!”, kata Bung. Saya kira, di sini Bung keliru.
Ada beberapa kenalan, yang
seperti Bung, juga pernah disekap di Pulau Buru, di antaranya dalam keadaan
yang lebih buruk. Mereka sedih oleh pernyataan Bung. Saya juga sedih, karena
Bung telah bersuara parau ketidak-adilan. Justru ketika berbicara untuk
keadilan. Bung terutama tak adil terhadap Gus Dur. Bagi seseorang dalam posisi
Gus Dur, (Presiden Republik Indonesia, pemimpin NU, tokoh Islam, yang tumbuh
dalam masa Orde Baru), meminta maaf kepada para korban kesewenang-wenangan 1965
berarti membongkar tiga belenggu yang gelap dan berat di pikiran banyak orang
Indonesia.
Belenggu pertama adalah
kebiasaan seorang pemimpin umat untuk memperlakukan umatnya sebagai kubu yang
suci. Dengan meminta maaf, Gus Dur memberi isyarat bahwa klaim kesucian itu tak
bisa dipertahankan, dan tak usah. Tiap klaim kesucian bisa jadi awal
pembersihan dan kesewenang-wenangan. Dengan meminta maaf, diakui bahwa dalam
peristiwa di tahun 1965 sejumlah besar orang NU, juga orang Islam lain – juga
orang Hindu di Bali dan orang Kristen di Jawa Tengah – telah terlibat dalam
sebuah kekejaman. Mengakui ini dan meminta maaf sungguh bukan perkara gampang.
Bung Pram toh tahu tak setiap orang sanggup melakukan hal itu. Mungkin juga
Bung sendiri tidak akan.
Dengan meminta maaf Gus Dur
juga membongkar belenggu tahayul selama hampir seperempat abad: bahwa tiap
orang PKI, juga tiap anak, isteri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan.
Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang
terjadi sejak 1965 itu? Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar di tahun
1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak
keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu. Kita ingat
kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau
diperbudak.
Gus Dur agaknya tak
menginginkan kezaliman itu. Ia, sebagai presiden, membiarkan dirinya dipotret
duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur hidupnya jadi
pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada gugatan: bersalahkah
Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak. Tak banyak tokoh
politik yang berbuat demikian, Bung Pram. Tak gampang untuk seperti itu. Gus
Dur juga telah membongkar belenggu ”teori” tua ini: bahwa PKI selamanya
berbahaya. Ia bukan saja minta maaf kepada para korban pembasmian massal 1965.
Ia juga hendak menghapuskan larangan resmi bagi orang Indonesia untuk mempelajari
Marxisme-Leninisme. Ia seperti menegaskan bahwa komunisme adalah masa lampau
yang menjauh, gagal—juga di Rusia dan Cina. Memekikkan terus “bahaya komunis”
adalah menyembunyikan kenyataan bahwa PKI jauh lebih mudah patah dalam
perlawanannya dibandingkan dengan gerakan Darul Islam.
Siapa yang menghentikan masa
lalu, akan dihentikan oleh masa lalu. Gus Dur tidak. Ia sering salah, tapi ada
hal-hal pelik yang ia tempuh karena ia ingin masa lalu tak jadi sebuah liang
perangkap. Ia memang bukan Mandela yang pernah dirantai. Tapi seorang korban
yang memaafkan sama nilainya dengan seorang bukan-korban yang meminta maaf.
Maaf bukanlah penghapusan dosa. Maaf justru penegasan adanya dosa. Dan dari
tiap penegasan dosa, hidup pun berangkat lagi, dengan luka, dengan trauma, tapi
juga harapan. Dendam mengandung unsur rasa keadilan, tapi ada yang membedakan
dendam dari keadilan. Dalam tiap dendam menunggu giliran seorang korban yang
baru.
Begitu sulitkah Bung menerima
prinsip itu? Karena masa lalu seakan-akan menutup pintu ke masa depan? Sekali
lagi: siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu.
Tapi mungkin juga Bung hanya
bisa melihat korban sebagai perpanjangan diri sendiri. Seakan di luar sana tak
mungkin ada. Dalam wawancara, Bung menyatakan setuju bila orang-orang yang tak
sepaham dengan Revolusi disingkirkan (ini di masa “Demokrasi Terpimpin”
1959-1965, ketika sejumlah suratkabar dibrangus, sejumlah buku & film &
musik dilarang, sejumlah orang dipenjarakan). Bung mengakui ini semua melanggar
hak asasi. Dan Bung punya argumen: waktu itu “Perang Dingin” dan Indonesia
dalam bahaya. Tapi kekuasaan apa yang berhak menentukan ada “bahaya” atau
tidak? Dan jika adanya ”bahaya” bisa menjadi dalih penindasan, Soeharto pun
menjadi benar. Ia juga dulu mengumumkan Indonesia terancam bahaya (”komunis”)
di Perang Dingin, maka rezimnya pun membunuh, membuang, dan mencopot entah
berapa ribu orang dari jabatan. Dan pengadilan dibungkam. Bung memang
menambahkan: ingat, pelanggaran hak asasi waktu Bung Karno tak seburuk dengan
yang terjadi di masa Orde Baru. Mochtar Lubis, korban Demokrasi Terpimpin, tak
dikurung di Pulau Buru, tapi di Jawa. Memang ada perbedaan. Tapi adakah
peringkat penderitaan? Bagaimana membandingkannya? Di mana ukurannya, bila di
masa yang sama, apalagi di masa yang berbeda, ada yang ditembak mati, ada yang
disiksa, ada yang di sel, ada yang di pulau?
Dalam sejarah
kesewenang-wenangan, semua korban akhirnya diciptakan setara, biarpun berbeda.
Suatu hari dalam kehidupan Pramudya Ananta Toer di Pulau Buru setara
terkutuknya dengan suatu hari dalam kehidupan Ivan Denisovich dalam sebuah
gulag Stalin. Tak bisa ada hierarki dalam korban, sebagaimana mustahil ada
hierarki kesengsaraan.
Saya kira ini penting
dikemukakan. Di zaman ketika sang korban dengan mudah dianggap suci, seorang
yang merasa lebih ”tinggi” derajat ke-korban-annya akan mudah merasa berhak
jadi maha hakim terakhir. Tapi seperti setiap klaim kesucian, di sini pun bisa
datang kesewenang-wenangan. Mandela tahu itu. Gus Dur mungkin juga tahu itu.
Keduanya merendahkan hati. Saya pernah mengharapkan Bung akan bersikap sama.
Saya pernah harapkan ini, Bung Pram: bukan sekedar keadilan dan hukum yang adil
yang harus dibangun, tapi di arus bawahnya, kebencian pun lepas, dan kemudian
hilang, tenggelam. Saya tak tahu masih bisakah saya berharap.
* Tulisan GM ini dimuat di
Majalah Tempo 3-9 April 2000, dan dimuat ulang dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi(2004).
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saya
Bukan Nelson Mandela
(Tanggapan
buat Goenawan Mohamad)
oleh
Pramoedya Ananta Toer
Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan
Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima
permintaan maaf yang diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April
2000), seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas
bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya
bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia.
Di Afrika Selatan penindasan
dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan
hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia
tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat. Lebih dari itu,
saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma
basa-basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu. Saya
tidak memerlukan basa-basi.
Gus Dur pertama-tama harus
menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa harus dia yang
mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya, kenapa dia
berbicara sebagai presiden? Dan jika dia bicara sebagai presiden, kenapa
lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam kapasitasnya
sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunyai
lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR
mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu.
Yang saya inginkan adalah
tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena
tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut
DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya
menganggapnya sebagai basa-basi.
Saya tidak mudah memaafkan
orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya
menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia
dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya
menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan,
dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah
satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya
tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu
direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan
KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai
sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.
Basa-basi baik saja, tapi hanya
basa-basi. Selanjutnya mau apa? Maukah negara mengganti kerugian orang-orang
seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua
yang saya miliki.
Minta maaf saja tidak cukup.
Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum. Jadikan itu keputusan
DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa-basi minta maaf. Tidak pernah ada
pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. Semua menganggap saya
sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok
habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru
menangkap saya.
Ketika dibebaskan 14 tahun
lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun,
setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya Nyanyi Sunyi Seorang
Bisu yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan
Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan.
Saya sudah kehilangan kepercayaan.
Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian
dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite
politik Indonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini
memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas
penderitaan yang saya alami. Mereka ikut bertanggung jawab atas
pembunuhan-pembunuhan Orde Baru.
Goenawan mungkin mengira saya
pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam. Tidak. Saya justru sangat
kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua
yang dimiliki bangsanya sendiri.
Saya sudah memberikan semuanya
kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini. Sekarang saya
tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin
saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi
bisa menghibur saya.