Selasa, 21 Desember 2021

REMINDER - CONIE SEMA

Foto: Yudi Semai, Awang 5334 Celcius-Teater Potlot (2018)


R E M I N D E R
Puisi Conie Sema

di genggamanku sore tak kudapati bagi kenangan 
dalam detak waktu semakin mengecil. keabadian. 
keniscayaan. aku menemuimu pada arus tak terbaca. 
mata pesisir. malam berangkat. dermaga pupus. sulit 
bagiku menyebutmu dari bibir pantai semakin jauh. 
kerakal dan kaki-kaki tua terbalut pasir. derai musim. 
stigi tegak menyadik langit. laut lepas ya lepaslah. 
bagi segala yang menunggu. bawalah. siapa pun aku.


21/12/21


Kamis, 22 April 2021

In Memoriam

 

Selamat Jalan Radhar Panca Dahana

 



 


Tahun 1994, Radhar Panca Dahana datang ke Palembang. Ia baru saja meluncurkan buku puisinya, Lalu Waktu. Melalui kontak sahabat T. Wijaya, akhirnya kami bertiga bertemu. Radhar menginap di rumah yang juga dijadikan sekretariat Teater Potlot. Ia sedikit bingung karena diskusi dan pembacaan antologi puisinya, kami gelar di sekretariat LBH Palembang. Saya dan T. Wijaya selaku panitia kecil, mengangkat tema diskusi, "Sastra Gerakan". Radhar membacakan puisinya di hadapan sejumlah aktivis pro-demokarasi, seniman, dan wartawan yang hadir dalam acara tersebut. Enam tahun kemudian rejim Orde Baru jatuh.

Usai pertemuan tersebut, saya sudah tak lagi bertemu Radhar. Saya pindah ke Bandarlampung, bekerja sebagai koresponden RCTI. Beberapa kesempatan bertemu dengan kawan-kawan dari Palembang, Radhar selalu menitipkan salam buat saya. Tapi kami belum juga ada kesempatan bertemu, sampai akhirnya beliau wafat, Kamis malam, 22 April 2021 bertepatan di bulan suci Ramadhan.

Berikut saya tampilkan beberapa puisi Radhar Panca Dahana dari kumpulan puisi Lalu Waktu (1994).

 

Pulang

hujan sedari tadi belum berhenti

kenapa merpati terbang sendiri

kuyup basah tidak perduli

sudah berapa pagi,

tak mau juga ia menepi.

apa yang kau cari?

kabar kekasihkah menyertai

atau sekedar ingin kembali?

tahukah kamu, di sini

seumur hujan ia menanti

 

1987

 

Catatan Kaki Sehabis Demonstrasi

 

aku melihat diam

tak seorang saja

tapi satu bangsa

kulihat batu

padahal manusia

menunggu waktu

padahal sia sia

 

di ini negeri apa pun boleh terjadi

tapi jangan sebut revolusi,

siapa pun pahlawan ngeri. mimpi saja tak berani

mereka capek dikibuli, dikebal sakit hati

 

kubasuh kaca lensa, kuhapus kata berikutnya

dan kutulis cerita: “aku melihat bisu

berjuta juta kamu berjuta juta aku.”

 

1987

 

Perjalanan

 

inilah arti banyak dari satu kata laknat: saat.

inilah halte kehidupan, konstanta peradaban, partikel

sebuah perjalanan; semua tumbuh sendiri semua rusak

sendiri, untuk akhirnya mati. (dan saat mengalir di situ).

 

inilah arti banyak dari perjalanan yang tak mampu kita

hentikan. biang keladi semua yang tak terelakkan.

tak pernah aku percaya jika hanya Tuhan dan kematian

bisa meluputkan kita darinya.

tapi, inilah arti banyak jika hidup dan peradaban baru

dari sejarah yang terbelenggu, akan kita rapikan.

dengan segenap kemurnian, tanpa lagi campur tangan

raksasa perusak itu. dan cuma ini jawabku,

“kalahkan waktu!”

 

1985

 

Pembunuhan Kopi di Pagi Hari

 

andaikata kuregang badan sekujur waktu, tetap saja tak kutemukan kau di situ. sejak lama sudah, kecewa ini kupelihara, seperti lumut menyelimuti batu. aku tak pernah sia-sia, walau sekali lagi, sekali lagi, melulu kekalahan kurayakan.

secangkir kopi panas yang kuhirup pagi dini sekali, menyodorkan kangen yang selalu datang di permukaan peruntunganku; kapan aku bisa memenangkan kejuaraan yang tak pernah dipertandingkan? kangen yang selalu mengingatkan bahwa kau masih ada. tapi koran pagi, berita radio dan televisi tak henti mengingatkan siapa saja bahwa waktu sudah tiada. karena itu, silakan kita ramai ramai membunuh kecewa. kita tidak bisa lagi mengenali diri sendiri lewat cermin mephistopheles. bahkan kata hati pun sudah tidak jujur pada dirinya sendiri. lidah selalu me- ngatakan “yang sebenarnya” dari yang sebenarnya bukan. emhh…betapa panas hari, dan tak ada angin di sini. pada- hal masih dini pagi, dan tukang sayur mulai menjajakan koran. pada saat seperti itu, pada suasana seperti itu, hanya satu yang ingin aku nyatakan; aku dapatkan satu dari kamu dengan melenyapkan satu dariku. kau tak tahu.

 

1992

 

 

Sekilas Biografi Radhar Panca Dahana

Radhar Panca Dahana dikenal sebagai esais, sastrawan, kritikus sastra, dan jurnalis. Ia pun bergiat sebagai pekerja dan pengamat teater. Puluhan esai, kritik, karya jurnalis, kumpulan puisi, naskah drama, pertunjukan teater, dan beberapa buku tentang teater telah dihasilkannya. Radhar lahir di Jakarta, 26 Maret 1965.


Nama Radhar merupakan akronim dari nama kedua orang tuanya: Radsomo dan Suharti. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara yang seluruhnya juga mempunyai nama depan Radhar. Kehidupan masa kecilnya sangat keras. Ayahnya yang pernah difitnah sebagai penyokong komunis mendidik anak-anaknya dengan disiplin yang tinggi, bahkan cenderung otoriter. Menurut Radhar, sejak kecil ia dan saudara-saudaranya sudah diajari berhitung angka hingga jutaan, pulang ke rumah harus tepat waktu, dan senantisa belajar kapan pun. Hukuman yang diterima jika melanggar aturan adalah sabetan rotan. Selain itu, seluruh anak lelaki dikuncung, digundul dengan disisakan sedikit rambut di ujung kepalanya. Dari semua saudaranya, hanya ia yang kerap membangkang dan mendapat hukuman yang sangat keras. Ketidakcocokan cita-cita antara orang tuanya dan dirinya, yaitu orang tuanya mengharapkan dirinya menjadi pelukis, sedangkan ia sangat menyukai teater dan karang-mengarang, dan karena sering pula disakiti secara fisik membuat Radhar, pada akhir tahun 1970, sering pergi dari rumahnya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

 

Tempat favorit yang ditujunya adalah kawasan Bulungan, tempat yang kemudian membentuk pribadinya seperti yang dikenal saat ini. Radhar Panca Dahana memang dianugerahi bakat menulis. Ketika masih duduk bangku kelas lima sekolah dasar, ia sudah mampu menulis sebuah cerita pendek “Tamu Tak Diundang.” Radhar mengirimkannya ke harian Kompas dan dimuat. Pada saat duduk di bangku kelas dua SMP, ia menjadi redaktur tamu majalah Kawanku. Selama beberapa bulan, ia membantu menyeleksi naskah cerpen dan puisi yang masuk. Ia mulai mengarang cerita pendek, puisi, dan membuat ilustrasi ketika duduk di kelas tiga SMP.

 

Beberapa karyanya, di antaranya, dimuat di majalah Zaman, yang waktu itu redakturnya adalah Danarto. Radhar menyamar jati dirinya dengan nama Reza Morta Vileni. Nama samaran itu diilhami oleh nama teman sekolahnya, Rezania, yang piawai berdeklamasi. Saat sekolah SMA di Bogor ia juga sempat bergabung dengan Bengkel Teater Rendra. Namun, Radhar berselisih dengan Rendra mengenai manajemen grup. Akhirnya, ia mengundurkan diri. Ia menuruti anjuran Anto Baret untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Harapannya diterima di Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Pajajaran, gagal. Ia diterima di sosilogi, UI. Mata kuliahnya diselesaikan dalam waktu 2,5 tahun.

 

Teater dan kerja jurnalistik kembali menggodanya sehingga ia tidak acuh pada tata adminitrasi di kampusnya. Saat ia akan pergi ke Prancis, barulah ia mengurus masalahnya itu. Tahun 1997, Radhar melanjutkan studi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Prancis, dengan meriset postmodernisme di Indonesia. Baru setahun, Radhar pulang ke Indonesia dan membatalkan fasilitas studi yang harusnya mencapai tingkat doktoral. Alasannya, “Aku tak kuat menahan diri. Sementara aku hidup enak di sini, di negeriku orang-orang hidup dalam teror.” Pada waktu itu di Indonesia sedang terjadi kekacauan politik dan ketidakstabilan keamanan akibat tergulingnya Suharto dari kursi presiden.

 

Sepulang dari Prancis, Radhar mengalami stres berat. Ia divonis gagal ginjal kronis, acute renal failure dan cjronic renal failure, pembunuhan sel ginjal secara perlahan. Dua buah ginjalnya dinyatakan sudah mati. Hingga hari ini, tiada hari yang ia lewati tanpa gangguan 2-3 penyakit dari sekitar 15 penyakit baru yang dapatkan setelah cuci darah. Pencapaiannya saat ini adalah mengelola rubrik “Teroka” di harian Kompas, memimpin Federasi Teater Indonesia, Bale Sastra Kecapi, dan Teater Kosong yang ia dirikan serta pengajar di Universitas Indonesia. Kini, Radhar Panca Dahana menetap di Tangerang bersama istri dan seorang anaknya. Ketika Arswendo Atmowiloto membuat Koma (Koran Remaja) pada akhir 1970-an, Radhar turut terlibat sebagai reporter dan menandai kiprahnya sebagai jurnalis. Ia mencantumkan nama aslinya Radhar sebagai reporter dan Reza sebagai penata artistik. Pada periode itu produktivitasnya mengarang cerpen remaja sangat tinggi. Waktu itu terbit berbagai majalah kumpulan cerpen di Jakarta, seperti Pesona dan Anita, menjadi tempat penampungan karyanya. Cerpen Radhar Panca Dahana kala itu juga mengisi media massa cetak, seperti majalah remaja Gadis, Nona, dan Hai, bahkan, majalah dewasa, seperti Keluarga, Pertiwi, dan Kartini. Karier Radhar sebagai jurnalis pemula semakin berkembang ketika ia diterima bekerja di harian Kompas.

 

Valens Doy, wartawan senior Kompas, menempatkannya sebagai pembantu reporter atau reporter lepas. Ia diminta menulis rubrik apa saja: olahraga, kebudayaan, pendidikan, berita kota tentang kriminalitas, dan hukum. Akan tetapi, pekerjaannya sebagai jurnalis terhenti saat orang tuanya tidak mengizinkannya bekerja. Radhar harus kembali ke bangku sekolah. Pendidikan SLTA-nya (melalui SMA 11 Jakarta, SMA 46 Jakarta, dan sebuah SMA di Bogor) dihabiskan dalam waktu enam tahun. Menurutnya, hal itu adalah buah dari kekecewaannya karena tidak diizinkan bekerja oleh orang tuanya. Sejak SD, wataknya yang memberontak dan ingin “menguasai” publik membuatnya tidak disukai oleh teman-temannya.

 

Di SMA, ia kerap bertengkar dengan guru dan menolak sistem sekolah. Hal itu tidak mengherankan karena Radhar yang senang membaca buku berat, seperti pemahaman Ivan Illic tentang formalisme pendidikan dalam Bebas dari Sekolah dan pemikiran Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum yang Tertindas, tanpa mencernanya. Radhar Panca Dahana saat itu dekat dengan Noorca M. Masardi, Anto Baret, dan W.S. Rendra. Ketiga orang itulah yang membantunya dengan memberi nasihat mengenai apa yang patut diperbuatnya.

 

Karya-karya Radhar Panca Dahana

 

Buku-buku yang ditulis Radhar antara lain:

- Homo Theatricus

- Menjadi Manusia Indonesia (esai humaniora, 2002)

- Jejak Posmodernisme (2004)

- Inikah Kita; Mozaik Manusia Indonesia (esai humaniora, 2006)

- Dalam Sebotol Coklat Cair (esai sastra, 2007).

 

Kumpulan puisi:

- Simponi Duapuluh (1988)

- Lalu Waktu (1994)

 

Kumpulan cerpen:

- Masa Depan Kesunyian (1995)

- Ganjar dan Si Lengli (1994)

- Cerita-Cerita dari Negeri Asap (2005)

 

Kumpulan drama:

- Metamorfosa Kosong (kumpulan drama, 2007)

- Memimpin kelompok Teater Aquilla, Telaga, dan Teater Kosong Radhar Panca Dahana terpilih sebagai satu di antara lima seniman muda masa depan Asia versi NHK (1996). Ia juga pernah meraih Paramadina Award (2005), serta menjadi Duta Terbaik Pusaka Bangsa dan Duta Lingkungan Hidup (sejak 2004). Pada tahun 2007 ia menerima Medali Frix de le Francophonie 2007 dari lima belas negara berbahasa Prancis. (Conie Sema - dari berbagai sumber)

Jumat, 05 Februari 2021

 

SERI ARSIP 

Surat Terbuka GM dan Pram Perihal Maaf



Dokumen Surat Terbuka Gunawan Muhamad untuk Pramudya Ananta Toer dan sebaliknya ini, diterbitkan kembali sebagai arsip sastra untuk dibaca ulang terutama rekan-rekan yang mungkin belum sempat membacanya. Surat terbuka ini menjadi catatan penting bagaimana politik sastra dan politik kebudayaan ‘dimainkan’ mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Melibatkan tokoh-tokoh sastra Indonesia. Dokumen ini diterbitkan sekaligus menyambut 96 Tahun Sang Bumi Manusia, Pramudya Ananta Toer, yang lahir hari ini, 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah. Pram, wafat 30 April 2006, dalam usia 82 tahun.

 ctober242015


Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer*

oleh Goenawan Mohamad

Seandainya ada Mandela di sini. Bung Pram, saya sering mengatakan itu, dan mungkin mulai membuat orang jemu. Tapi Mandela, di Afrika Selatan, menyelamatkan manusia dari abad ke-20. Tiap zaman punya gilanya sendiri. Abad ke-20 adalah zaman rencana besar dengan pembinasaan besar. Hitler membunuh jutaan Yahudi karena Jerman harus jadi awal Eropa yang bersih dari ras yang tak dikehendaki. Stalin dan Mao dan Pol Pot membinasakan sekian juta “kontrarevolusioner” karena sosialisme harus berdiri. Kemudian Orde Baru: rezim ini membersihkan sekian juta penduduk karena “demokrasi pancasila” tak memungkinkan adanya orang komunis (dan/atau “ekstrim” lainnya) di sudut manapun.

Rencana besar, cita-cita mutlak, dan mengalirkan darah. Manusia menjadi penakluk. Ia menaklukkan yang berbeda, yang lain, agar dirinya jadi subjek.

Mandela bertahun-tahun di penjara, orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun ditindas, tapi kemudian ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak sepenuhnya benar: manusia ternyata bisa untuk tak jadi penakluk. Ia menawarkan rekonsiliasi dengan bekas musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si objek jadi sang subjek.

Tiap korban yang mengerti rasa sakit yang sangat tak akan mengulangi sakit itu bahkan kepada musuhnya yang terganas. Ia.akan menghabisi batas antara subjek dan objek. Makna “rekonsiliasi” di Afrika Selatan punya analogi dengan impian Marx: karena proletariat tertindas, kelas ini berjuang agar setelah kapitalisme ambruk, segala kelas sosial pun hilang. Proletariat tak akan mengakhiri sejarah dengan berkuasa, melainkan menghapuskan kekuasaan, pangkal lahirnya korban-korban. Sejarah adalah sejarah penebusan kemerdekaan. Utopia itu tak terlaksana, tapi tiap utopia mengandung sesuatu yang berharga. Begitu ia menang, Mandela membongkar kembali tindak sewenang-wenang para petugas rezim apartheid yang menindasnya (dan juga tindak sewenang-wenang pejuang kemerdekaan pendukung Mandela sendiri). Proses itu mirip “pengakuan dosa” di depan publik.

Kemudian: pertalian kembali. Mandela menunjukkan, bahwa pembebasan yang sebenarnya adalah pembebasan bagi semua pihak. Bung Pram, saya ragu apakah Bung akan setuju dengan asas itu. Bung menolak ide “rekonsiliasi”, seperti Bung nyatakan dalam wawancara dengan Forum Keadilan 26 Maret 2000 pekan lalu. Bung menolak permintaan maaf dari Gus Dur. “Gampang amat!”, kata Bung. Saya kira, di sini Bung keliru.

Ada beberapa kenalan, yang seperti Bung, juga pernah disekap di Pulau Buru, di antaranya dalam keadaan yang lebih buruk. Mereka sedih oleh pernyataan Bung. Saya juga sedih, karena Bung telah bersuara parau ketidak-adilan. Justru ketika berbicara untuk keadilan. Bung terutama tak adil terhadap Gus Dur. Bagi seseorang dalam posisi Gus Dur, (Presiden Republik Indonesia, pemimpin NU, tokoh Islam, yang tumbuh dalam masa Orde Baru), meminta maaf kepada para korban kesewenang-wenangan 1965 berarti membongkar tiga belenggu yang gelap dan berat di pikiran banyak orang Indonesia.

Belenggu pertama adalah kebiasaan seorang pemimpin umat untuk memperlakukan umatnya sebagai kubu yang suci. Dengan meminta maaf, Gus Dur memberi isyarat bahwa klaim kesucian itu tak bisa dipertahankan, dan tak usah. Tiap klaim kesucian bisa jadi awal pembersihan dan kesewenang-wenangan. Dengan meminta maaf, diakui bahwa dalam peristiwa di tahun 1965 sejumlah besar orang NU, juga orang Islam lain – juga orang Hindu di Bali dan orang Kristen di Jawa Tengah – telah terlibat dalam sebuah kekejaman. Mengakui ini dan meminta maaf sungguh bukan perkara gampang. Bung Pram toh tahu tak setiap orang sanggup melakukan hal itu. Mungkin juga Bung sendiri tidak akan.

Dengan meminta maaf Gus Dur juga membongkar belenggu tahayul selama hampir seperempat abad: bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, isteri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan. Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang terjadi sejak 1965 itu? Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar di tahun 1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu. Kita ingat kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau diperbudak.

Gus Dur agaknya tak menginginkan kezaliman itu. Ia, sebagai presiden, membiarkan dirinya dipotret duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur hidupnya jadi pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada gugatan: bersalahkah Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak. Tak banyak tokoh politik yang berbuat demikian, Bung Pram. Tak gampang untuk seperti itu. Gus Dur juga telah membongkar belenggu ”teori” tua ini: bahwa PKI selamanya berbahaya. Ia bukan saja minta maaf kepada para korban pembasmian massal 1965. Ia juga hendak menghapuskan larangan resmi bagi orang Indonesia untuk mempelajari Marxisme-Leninisme. Ia seperti menegaskan bahwa komunisme adalah masa lampau yang menjauh, gagal—juga di Rusia dan Cina. Memekikkan terus “bahaya komunis” adalah menyembunyikan kenyataan bahwa PKI jauh lebih mudah patah dalam perlawanannya dibandingkan dengan gerakan Darul Islam.

Siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu. Gus Dur tidak. Ia sering salah, tapi ada hal-hal pelik yang ia tempuh karena ia ingin masa lalu tak jadi sebuah liang perangkap. Ia memang bukan Mandela yang pernah dirantai. Tapi seorang korban yang memaafkan sama nilainya dengan seorang bukan-korban yang meminta maaf. Maaf bukanlah penghapusan dosa. Maaf justru penegasan adanya dosa. Dan dari tiap penegasan dosa, hidup pun berangkat lagi, dengan luka, dengan trauma, tapi juga harapan. Dendam mengandung unsur rasa keadilan, tapi ada yang membedakan dendam dari keadilan. Dalam tiap dendam menunggu giliran seorang korban yang baru.

Begitu sulitkah Bung menerima prinsip itu? Karena masa lalu seakan-akan menutup pintu ke masa depan? Sekali lagi: siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu.

Tapi mungkin juga Bung hanya bisa melihat korban sebagai perpanjangan diri sendiri. Seakan di luar sana tak mungkin ada. Dalam wawancara, Bung menyatakan setuju bila orang-orang yang tak sepaham dengan Revolusi disingkirkan (ini di masa “Demokrasi Terpimpin” 1959-1965, ketika sejumlah suratkabar dibrangus, sejumlah buku & film & musik dilarang, sejumlah orang dipenjarakan). Bung mengakui ini semua melanggar hak asasi. Dan Bung punya argumen: waktu itu “Perang Dingin” dan Indonesia dalam bahaya. Tapi kekuasaan apa yang berhak menentukan ada “bahaya” atau tidak? Dan jika adanya ”bahaya” bisa menjadi dalih penindasan, Soeharto pun menjadi benar. Ia juga dulu mengumumkan Indonesia terancam bahaya (”komunis”) di Perang Dingin, maka rezimnya pun membunuh, membuang, dan mencopot entah berapa ribu orang dari jabatan. Dan pengadilan dibungkam. Bung memang menambahkan: ingat, pelanggaran hak asasi waktu Bung Karno tak seburuk dengan yang terjadi di masa Orde Baru. Mochtar Lubis, korban Demokrasi Terpimpin, tak dikurung di Pulau Buru, tapi di Jawa. Memang ada perbedaan. Tapi adakah peringkat penderitaan? Bagaimana membandingkannya? Di mana ukurannya, bila di masa yang sama, apalagi di masa yang berbeda, ada yang ditembak mati, ada yang disiksa, ada yang di sel, ada yang di pulau?

Dalam sejarah kesewenang-wenangan, semua korban akhirnya diciptakan setara, biarpun berbeda. Suatu hari dalam kehidupan Pramudya Ananta Toer di Pulau Buru setara terkutuknya dengan suatu hari dalam kehidupan Ivan Denisovich dalam sebuah gulag Stalin. Tak bisa ada hierarki dalam korban, sebagaimana mustahil ada hierarki kesengsaraan.

Saya kira ini penting dikemukakan. Di zaman ketika sang korban dengan mudah dianggap suci, seorang yang merasa lebih ”tinggi” derajat ke-korban-annya akan mudah merasa berhak jadi maha hakim terakhir. Tapi seperti setiap klaim kesucian, di sini pun bisa datang kesewenang-wenangan. Mandela tahu itu. Gus Dur mungkin juga tahu itu. Keduanya merendahkan hati. Saya pernah mengharapkan Bung akan bersikap sama. Saya pernah harapkan ini, Bung Pram: bukan sekedar keadilan dan hukum yang adil yang harus dibangun, tapi di arus bawahnya, kebencian pun lepas, dan kemudian hilang, tenggelam. Saya tak tahu masih bisakah saya berharap.

* Tulisan GM ini dimuat di Majalah Tempo 3-9 April 2000, dan dimuat ulang dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi(2004).

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya Bukan Nelson Mandela

(Tanggapan buat Goenawan Mohamad)


oleh Pramoedya Ananta Toer

 

Pram dan Gus Dur

 

Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April 2000), seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia.

Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat. Lebih dari itu, saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa-basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa-basi.

Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa harus dia yang mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya, kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia bicara sebagai presiden, kenapa lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunyai lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu.

Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi.

Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.

Basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa? Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.

Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa-basi minta maaf. Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya.

Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan.

Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami. Mereka ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orde Baru.

Goenawan mungkin mengira saya pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam. Tidak. Saya justru sangat kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya sendiri.

Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur saya.

 Sumber: https://www.konfrontasi.com/content/budaya/surat-terbuka-goenawan-mohamad-untuk-pramudya-dan-sebaliknya