Rabu, 24 Agustus 2016

Song For The Spirit Of Srivijaya

MEANDER

by Conie Sema

Kecupan sungai masih terasa
Seusai malam memeluk hujan
Kabut putih di ujung dermaga
Angin menyisir pucuk pandan di rawa

Kau berjalan di lembah tanah basah
Cagak rumah membisu di pinggir sungai
Udara lembab dan butir embun
Menggigilkan tubuhmu pagi itu

Pagi begitu dingin saat beranjak pergi
Melewati belokan sungai
Melintasi tikungan arus air
 di sela bebatuan

Pagi begitu dingin, perahu kau kayuh
Menembus pandang kabut tipis
Menghapus lirik masa yang hilang
Musim, meninggalkan kenangan

Ku selalu dan selalu
menunggumu di situ
melambaikan tangan dari jendela
kau balas senyuman 
membekas dalam oh di hati

(lyric song for spirit of srivijaya)

Minggu, 21 Agustus 2016

Purple Art Rude


Performance Art di Indonesia

Di Eropa dan Amerika, perkembangan performance art dalam sejarahnya dikaitkan dengan rasa frustasi umum yang terakumulasi oleh Perang Dunia. Ternyata proyek besar mencerahkan umat manusia bernama modernisme itu membawa manusia pada tindak destruktif. Seni, yang pada tataran paling mendasar selalu berujung pada suatu “keindahan” dan
“menyenangkan” , dianggap tidak lagi relevan.

Performance art lahir ketika media-media seni konvensional seperti lukis, seni patung, teater, musik, maupun tari sudah dianggap tidak bisa lagi menampung ide-ide para seniman. Gejala performance art sebetulnya banyak dipengaruhi oleh Dadaisme dan Futurisme. Gelombang seni Dada pada jamannya memang banyak menentang kondisi serta nilai sosial ekonomi masyarakat pada saat Dunia seni rupa dianggap stagnan dan hanya berhenti pada materi karena sudah masuk sistem kapitalistik. Banyak pelukis modern pada saat itu lebih berpihak pada kaum bourjois kapitalis, membuat seni menjadi begitu elit hanya ada dan dapat dinikmati di galeri-galeri seni saja.

Di Indonesia, muasal perkembangan performance art terbetik pada tahun 1970-an lewat Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB), ketika istilah performance art mulai mapan di wilayah barat. Di Indonesia, saat itu istilahnya belum ada namun kecenderungannya sudah dimulai. Ada kondisi yang kurang-lebih sama, yaitu rasa frustasi umum. Tahun 1970-an, sebagian kalangan terdidik Indonesia mulai menyadari bahwa fondasi pembangunan rejim Soeharto ternyata rapuh. Dinamika pembangunan terlalu sentralistik. Pola pergerakannya picik. Ketertataan ternyata mengan- dung pendogmaan. Dalam dunia seni mulai muncul konflik antar generasi. Generasi tua hendak memper- tahankan ketertataan yang diyakini benar, sementara generasi muda menghendaki pembaharuan. Pemba- haruan selalu bermula dari eksperimen, suatu semangat bermain, mengurai diri dari ikatan, meluaskan penglihatan.

Indonesia tahun 1990-an, makin jelas, performance art sangat bersesuaian dengan aktifitas mahasiswa. Mahasiswa, sejalan dengan kaum terdidik lainnya mulai mengupayakan protes atas laju pembangunan yang timpang. Dalam soal seni, kem- bali, sumber perkaranya berupa ketertataan yang dipaksakan. Sebagian mahasiswa seni lebih menyukai berekspresi di luar ruang kelas. Di luar keharusan-keharusan yang digariskan institusi. Sementara di dalam kelas berkesenian harus disesuaikan dengan kebijakan resmi, di luar kelas, “panggung” yang tersedia merupakan ruang terbuka dan aksi demonstrasi di ruang-ruang publik.

Faktor lain adalah kecenderungan mempertemu- kan berbagai disiplin dalam seni. Para seniman dan penyelenggara kegiatan seni menghasilkan karya dan kegiatan seni yang mempertemukan seni rupa, teater, tari, musik, juga sastra. Pertemuan antar seniman ini cenderung berisi perbincangan kritis tentang realitas, tentang ketidak-adilan, dan tentang seni itu sendiri. Dalam performance art, sesungguhnya kekritisan tidak saja terarah pada realitas, tetapi juga kritis pada seni.

Pada awal tahun 2000, performance art diIndonesia mulai diakui keberadaannya dengan diadakannya festival performance art untuk yang pertama kalinya, yaitu Internasional Performance Art Festival (JIPAF) di Teater Utan Kayu Jakarta. Pertengahan tahun 2001 kemudian dilanjutkan dengan Indonesia-Japan Performance Art Exchange, Tour Bandung-Jogja-Jakarta. Tahun 2002 di Bandung berlangsung pula Bandung Performance Art Festival (BAPAF) dan yang terakhir 25-30 Mei 2004 di Bandung berlangsung Konferensi Internasional Association Performance Art Organizers (IAPO). Acara yang diikuti para seniman performance art (performers) dan sekaligus organiser ini telah menghasilkan beberapa keputusan, salah satunya adalah Bandung (Indonesia) menjadi resident bagi IAPO Asia. Disamping beberapa even performance art besar tersebut telah banyak juga terselenggara program rutin yang diselenggarakan beberapa komu- nitas performance art di Jogja (Web Action #4) dan Bandung (Jamoe Tjap IKIP).

Dalam realitas dunia seni rupa Indonesia, kalau mau mencermati, sebetulnya ada tiga kelompok besar perhatian para pemerhati estetika dalam mengamati peran dan kedudukan seni dalam pergulatannya dengan bidang-bidang lainnya. Pertama untuk keluhuran budi pekerti (moralitas), kedua untuk mengungkapkan citra peradaban, dan ketiga sebagai pengungkapan makna dan tanda.
Karya seni tidak hanya mengungkapkan unsur- unsur yang bertujuan untuk mencapai keindahan yang hanya berada dalam wilayah kesenangan duniawi. Seni juga mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang paling penting, melewati batas-batas etnis dan kebudayaan. Seni harus merupakan ekspresi dari jiwa atas realitas kehidupan yang diamati dan digeluti. Seni bisa menjadi media kritik dalam bentuk lain.

Perkembangan pemikiran yang melihat dunia dengan perspektif lain dengan segala metodologi-nya memberikan kontribusi besar pemahaman atas seni dan ekspresi seni dengan segala manifestasinya (Syafruddin, 2006:7).

Pendapat di atas juga dikuatkan oleh pendapat Plekhanov (1857-1918) seorang revolusioner seka- ligus pendiri Marxisme di Rusia bahwa fungsi seni adalah membantu perkembangan kesadaran manusia, membantu memajukan sistem sosial, maka seni adalah suatu gejala sosial. Karena seni dimulai ketika seorang membangkitkan kembali dalam dirinya sendiri emosi-emosi dan pikiran-pikiran yang telah dialaminya di bawah realitas sekeliling dan menyatakannya dengan bayangan-bayangan tertentu. Sudah dengan sendirinya, bahwa dalam bagian terbesar kejadian, ia melakukan itu dengan sasaran menyampaikan yang telah dipikirkannya kembali dan dirasakannya kembali pada orang-orang lain.

Performance art merupakan genre seni yang menempatkan dirinya pada irisan. Ia punya latar dari berbagai disiplin seni, sambil selalu menghindar dari konvensi-konvensi atau kategori-kategori yang sudah mapan. Mereka tidak hanya menerima mentah- mentah warisan nilai dan makna yang telah dibangun oleh para aparatus-aparatus dunia seni rupa sebelum- nya, tetapi memproduksi makna baru dengan mendekonstruksi realitas sosial dan kemapanan seni rupa itu sendiri.

Dengan begitu performance art berada dalam barisan seni-seni avant-garde (garda depan). Ada istilah lain menyangkut pembaharuan dalam seni, yaitu kontemporer. Dalam dunia seni, istilah kontemporer tidak sekedar merujuk pada makna literer, yaitu kekinian. Kontemporer lebih merujuk pada prinsip-prinsip mengkritik, memperluas, bahkan menihilkan prinsip-prinsip yang sudah ada sebelum- nya. Performance art juga bersesuaian dengan pengertian ini.

Membicarakan performance art adalah membi- carakan semangat pembaharuan dalam seni. Satu semangat yang bisa membuat pemirsa tertantang berpetualang. Sebuah petualangan menonton. Pemirsa seperti halnya setiap seniman: selalu melakukan petualangan setiap kali berkarya. Performance art adalah sebuah penampilan langsung yang meng- kombinasikan elemen-elemen dari berbagai cabang seni.

Performance art adalah suatu kategori yang punya cakupan cukup luas, berkisar tentang variasi aktivitas, gaya, dan niat. Sebagai perbandingan, dari formal sampai yang memuat hal-hal politis, cara menikmati eksekusi karyanya sangat tergantung pada tindakan yang ditentukan oleh suatu tempat dan penonton. Ini sebuah bentuk seni yang tumpang tindih dan melampaui bentuk-bentuk karya yang menggunakan aksi atau tindakan seperti; happening art, action painting, process art, street art, body art, dan sebagainya. Sebuah performance art ditentukan oleh beberapa cara yang tidak sama dengan teater atau seni tari (Walker, 1977).

Seorang performance artist biasa menggunakan sastra, seni rupa, budaya populer, musik, tari, dan teater, juga video, slides, serta gambar-gambar dari komputer. Sebuah performance bisa terdiri dari satu atau beberapa orang dan mengambil tempat di mana saja dengan durasi sembarang. Performance art sering menggunakan tubuh si seniman sebagai medium utama. Performance itu mungkin bersifat autobio- grafis atau melontarkan pernyataan politis, terutama dalam kondisi radikal. Performance sering juga menggandeng kegiatan sehari-hari. Dengan kata lain ia bukan hanya semata-mata penampilan, tapi juga sekaligus tindakan.

Persis karena sifat “alaminya”, performance art menolak definisi yang terlalu akurat atau gampangan, yang melampaui deklarasi sederhana bahwa ini merupakan jenis seni yang dihidupkan langsung oleh senimannya. Definisi yang lebih ketat lagi akan dengan segera dinegasi oleh ruang kemungkinan dari
perfomance itu sendiri (Goldberg, 1988).

Rumusan inipun sudah harus dielaborasi lagi karena tuntutan jaman. Hal ini terkait dengan persinggungan seni dan perkembangan teknologi, dalam hal ini adalah teknologi informasi, lebih khusus lagi adalah media rekam. Performance art pada dasarnya memang lebih merupakan peristiwa dari- pada materi. Presentasi langsung merupakan karakter dasarnya. Karya sebenarnya adalah peristiwa yang hanya terjadi sekali, pada saat itu saja. Karya perfor- mance memang bisa dipresentasikan berkali-kali. Namun setiap presentasi selalu terikat pada ruang- waktu spesifik. Hingga presentasi kedua, ketiga, dan seterusnya, merupakan karya yang tidak lagi sama, karena ruang-waktunya berbeda.

Dalam perkembangan dunia seni rupa kontem- porer Indonesia dewasa ini, khususnya karya-karya yang bersinggungan dengan perkembangan teknologi, sebagai contoh adalah New Media Art (Seni mediaBaru). Dalam konteks seni, penggunaannya sering dipahami sebagai tawaran kemungkinan baru dalam menciptakan atau mengalami kesenian. Fusi seni dan teknologi ini menurut pendapat Hisanori Gogota, kurator Inter Communication Centre (ICC), Tokyo, yang dikutip oleh seorang kritikus Seni media Baru dari Bandung, Krisna Murti menjelaskan bahwa: Paling utama untuk mentransformasikan pemaha- man modern tentang nilai seni. Gerakan Fluxus (1960-an) memasukkan teknologi media dalam eksperimennya, yang banyak menginspirasi seni video dan media baru umumnya. Terobosan interdisipliner yang meniadakan sekat musik, tari, film/video, seni rupa dan teater di satu sisi melahirkan bentuk seni yang kemudian hari bermetamorfosa menjadi video-patung, multime- dia performance hingga video instalasi (Krisna Murti, 2007).

Sebagai salah satu kasus yang menarik adalah metamorfosis performance art menjadi multimedia performance dan yang terakhir bermetamorfosis menjadi video performance. Dalam konteks seni rupa, kata performance art ini memang sulit dicari padan katanya dalam bahasa Indonesia, sehingga banyak orang yang menerjemahkannya menjadi seni pertunjukan (performing art). Tentu saja kedua istilah ini sangat berbeda arti.

Performing art atau seni pertunjukan lebih dititik beratkan pada jenis seni pertunjukan yang telah ada seperti tari, musik maupun teater, tetapi kalau performance art adalah perkembangan dari concep- tual art yang berkembang dalam dunia seni rupa di mana estetikanya bukan terletak pada materialnya tetapi pada kekuatan konsepnya. Mungkin ada satu definisi yang cukup singkat dan tepat menurut penulis, yaitu pendapat Adi Wicaksono yang lebih mengartikan performance art sebagai seni rupa yang menggunakan tubuh sebagai media atau mediumnya. Tetapi setelah bersinggungan dengan teknologi, akhirnya performance art ini telah bermetamorfosis menjadi multimedia performance. Dalam perkem- bangan performance ini, tidak hanya tubuh yang menjadi medianya (meskipun tubuh tetap menjadi media yang paling utama), tetapi juga dikolaborasikan (mixed) dengan teknologi media sebagai penguat pesan seniman atau perupa yang ingin disampaikan (biasanya mengeksplorasi ruang dan cahaya dengan bantuan computer atau media player yang output visualnya menggunakan LCD Projector). Dalam genre performance ini, kehadiran tubuh masih sangat dominan, hal ini berbeda dengan video performace.

Video performance dalam presentasinya, tubuh sudah tidak lagi menjadi bagian, tetapi yang hadir kemudian adalah tubuh yang virtual (maya). Kehadiran tubuh tidak benar-benar nyata, tetapi kehadiran- nya dapat terasa dari tampilan visual yang keluar dari projector. Di sini performance art telah termediasi dan bermetamorfosa.

Kemunculan performance art banyak dipe- ngaruhi oleh Dadaisme dan futurisme. Dengan menggunakan tubuh sebagai medium, akhirnya performance art seperti melakukan dematerialisasi dalam seni. Performance art sudah tidak mengacu pada konvensi media seni manapun dan yang paling membuatnya sedikit berbeda adalah interaksi antara performer dengan audien yang ada sehingga sudah tidak ada lagi batasan panggung maupun pemain. Maka dalam performance art, menjadi tidak penting pelakunya itu seniman atau bukan. Sedangkan temanya, seperti bentuk-bentuk karya Dada yang sangat bertendensi, performance art banyak berbicara tentang konstelasi politik lokal maupun global. Akhirnya kekritisannya tidak saja terarah pada seni, tetapi juga pada realitas sosial yang ada di sekitarnya.

Di Indonesia performance art muncul tahun 1975 seiring dengan adanya gerakan seni rupa baru. Pada awal kemunculannya sampai tahun 2000, perfor- mance art masih ”murni” menjadi seni paling depan. Kritis terhadap dunia seni rupa Indonesia dan muncul di jalan-jalan bersama mahasiswa dan masyarakat berdemonstrasi memperjuangkan nilai keadilan.

Ketika muncul genre baru dalam seni rupa (media art dan new media art) yang lahir dari persinggungan seni dan teknologi, performance art mengalami metamorfosa. Dari performance art multimedia (tidak hanya tubuh yang menjadi medianya, tetapi juga dikolaborasikan (mixed) dengan teknologi media sebagai penguat pesan seniman atau perupa dan video performance (tubuh sudah tidak lagi menjadi bagian, tetapi yang hadir kemudian adalah tubuh yang virtual atau maya).

Di sisi lain, dalam realitas sosial yang terjadi di masyarakat kita muncul kecenderungan baru dalam praktik periklanan, yaitu ambient media yang mem- belokkan arah perjuangan performance art dari seni garda depan menjadi ujung tombak pasar. Di mata para praktisi periklanan sebagai salah satu aparatus kapitalis, performance art menjadi satu peluang media iklan alternatif yang dianggap cukup efektif untuk mempengaruhi masyarakat dalam kampanye produk tertentu. (Sumber Purple Art Rude)

Minggu, 14 Agustus 2016

Three Days Grace - Human Race



S I M B O L
Begitu banyak penandaan atau bahasa simbolik tentang subjektivitas di luar diri kita. Teknologi dan kebudayaan saat ini membawa jutaan simbol kehidupan manusia bahkan Tuhan. Seperti dunia simulakra Baudrillard, misalnya. Sesuatu yang tidak nyata dibuat seolah nyata lewat simbol atau simulasi virtual. Begitu pula fenomena dunia hiper-realitas dalam sosial media. Lalu apa yang bisa kita maknai untuk masa depan? Ibarat bumi tidak lagi buntar. Masa depan kita ternyata terbentuk dari wujud sejarah yang tidak pasti. Simbollah yang membuat kita percaya Tuhan, kata Lacan (filsuf poststrukturalisme). "Manusia berbicara,.. tetapi simbollah yang membuatnya menjadi manusia." Lacan menganggap begitu pentingnya penandaan di akhir kehidupan kita. (conie Sema)

Pustaka

Antonio Gramsci:  Negara dan Hegemoni
mereka harus bekerja sama agar menjadi kekuatan kolektif yang 
tidak mudah dipatahkan ketika melakukan counter hegemoni.

Antonio Gramsci (1891-1937) adalah seorang intelektual Partai Komunis Italia yang dipenjara pada masa rezim fasis Mussolini. Kajian mengenai Gramsci menjadi menarik karena dia menjelaskan mengapa tidak terjadi pemberontakan buruh di Italia dan justru kalah oleh kaum fasis yang diktator saat itu. Tulisan tentang hegemoni Gramsci dianggap melampaui zamannya karena ditulis ketika dia berada dalam kurungan penjara Fasis dan kembali menjadi bahan kajian di Eropa pada tahun 1960an. Meski tidak hidup sempat bertemu dengan Lenin yang menganggap bahwa kesadaran proletar untuk melakukan pemberontakan terhadap sistem kapitalisme haruslah dilakukan oleh partai komunis yang berisikan buruh dan intelektual yang berkesadaran, teori hegemoni Gramsci melengkapi penjelasan bahwa pemberontakan buruh tidak akan terjadi selama masih ada hegemoni yang bekerja di bawah sistem kapitalisme. Perbedaan dia dengan tafsiran Marx oleh Lenin, Gramsci berpendapat bahwa untuk melakukan penyadaran tidak harus dilakukan partai komunis sendirian namun harus mengajak kelompok lain yang tertindas oleh kapitalisme.
            Bagi Gramsci berjalannya hegemoni tidak hanya bisa dilakukan oleh negara yang selama ini dikenal dengan Ruling Class namun bisa dilakukan oleh seluruh kelas sosial. Hegemoni sendiri pengertiannya  adalah  dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar yang bersifat moral, intelektual serta budaya[1]. Di sini penguasaan tidak dengan kekerasan melainkan dengan bentuk-bentuk persetujuan  masyarakat yang dikuasai baik sadar maupun secara tidak sadar. Hegemoni bekerja dengan dua tahap  yaitu tahap dominasi dan tahap direction atau pengarahan. Dominasi yang paling sering dilakukan adalah oleh alat-alat kekuasaan negara seperti sekolah, modal, media dan lembaga-lembaga negara. Ideologi yang disusupkan lewat alat-alat tadi bagi Gramsci merupakan kesadaran yang bertujuan agar ide-ide yang diinginkan negara (dalam hal ini sistem kapitalisme) menjadi norma yang disepakati oleh masyarakat. 
            Dominasi merupakan awal hegemoni, jika sudah melalui tahapan dominasi maka tahap berikutnya yaitu tinggal diarahkan dan tunduk pada kepemimpinan oleh kelas yang mendominasi. Siapa yang mencoba melawan hegemoni dianggap orang yang tidak taat terhadap moral serta dianggap tindak kebodohan di masyarakat bahkan adakalanya diredam dengan kekerasan. Hal inilah menurut Gramsci yang harus dipahami oleh kaum buruh untuk mengerti mengapa di Eropa tidak terjadi pemberontakan buruh seperti diramalkan Karl Marx dalam Manifesto Komunisnya.
          Gramsci dalam bahasan teorinya memberi solusi untuk melawan hegemoni (Counter hegemony) dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan. Kaum Intelektual menurut Gramsci memegang peranan penting di masyarakat. Berbeda dengan pemahaman kaum intelektual yang selama ini kita kenal, dalam catatan hariannya Gramsci menulis bahwa setiap orang sebenarnya adalah seorang intelektual namun tidak semua orang menjalankan fungsi intelektualnya di masyarakat[2] Dari sini dia membedakan dua tipe intelektual yang ada dalam masyarakat. Yang pertama yaitu Intelektual Tradisional dimana intelektual ini terlihat independen, otonom, serta menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Mereka hanya mengamati serta mempelajari kehidupan masyarakat dari kejauhan dan seringkali bersifat konservatif (anti terhadap perubahan). Contoh dari Intelektual Tradisional ini adalah para penulis sejarah, filsuf dan para profesor. Sedangkan yang kedua adalah Intelektual Organik, mereka adalah yang sebenarnya menanamkan ide, menjadi bagian dari penyebaran ide-ide yang ada di masyarakat dari kelas yang berkuasa, serta turut aktif dalam pembentukan masyarakat yang diinginkan[3]
        Ketika akan melakukan Counter Hegemoni kaum Intelektual organik haruslah berangkat dari kenyataan yang ada di masyarakat, mereka haruslah orang yangberpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat, menanamkan kesadaran baru yang menyingkap kebobrokan sistem lama dan dapat mengorganisir masyarakat[4] dengan begitu ide tentang pemberontakan serta merta dapat diterima oleh masyarakat hingga tercapainya revolusi. Yang unik meski berasal dari Partai Komunis Italia tidak lantas Gramsci berpendapat bahwa Intelektual Organik harus berasal dari kalangan buruh, namun harus lebih luas dari itu. Counter Hegemoni bisa dilakukan oleh siapa saja intelektual dari berbagai kelompok yang tertindas oleh sistem kapitalisme. Setiap pihak yang berkontribusi dalam perjuangan melawan hegemoni harus saling menghormati otonomi kelompok yang lain dan mereka harus bekerja sama agar menjadi kekuatan kolektif yang tidak mudah dipatahkan ketika melakukan counter hegemoni[5].
            Sedikit pengantar tentang teori hegemoni oleh Gramsci di atas menurut penulis sangat relevan untuk terus dipelajari dan dipraktekkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Mengingat bagaimana berjalannya kekuasaan yang ada sekarang ini bagi penulis justru membuat masyarakat seringkali dibingungkan. Sebagai contoh hegemoni yang dilakukan oleh negara dalam prakteknya paling mudah dapat ditemui  adalah wacana tentang globalisasi dan korupsi baik itu dalam perbincangan keseharian, pemberitaan maupun kebijakan yang dikeluarkan. Kajian hegemoni juga dapat digunakan untuk menganalisis kebudayaan populer seperti novel, buku, film hingga musik yang saat ini secara tidak sadar menghegemoni masyarakat khususnya anak muda. Akhir kata mengutip kata-kata Gramsci dalam catatan penulis sepakat bahwa “ titik pertama gerakan pengkritisan adalah kesadaran itu sendiri...”[6]


Sumber: Blog KECOAMONOLOG.


[1] Strinati, Dominic (1995), An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London.
[2] Gramsci, A (1971) Selections from the Prison Notebooks, London: Lawrence and Wishart
 [3] Ibid
[4]  Ibid
[5] Strinati, Dominic (1995), An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London.
[6] Gramsci (1971) page 323