Kamis, 19 November 2015

PROSA - TEATER POTLOT



 PROSA :   Drama Panggung Conie Sema
Photographer Reveals
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1

HASMAR       Adalah kecemasan ketika kau sebut masa lalu. Kita pekerja. Setiap pagi  
meninggalkan rumah. Mengolah keinginan menjadi masa depan. Tetapi tetap saja pulang menjadi ibu,. Menjadi kakek. Menjadi leluhurku…Kita, sama-sama bekerja. Mengolah lahan membangun rumah. Mencetak sawah dan kebun. Itu bukan masa lalu. Meskipun lantai rumahmu kau hias menjadi lukisan kota.

SUKMA          Kecemasan bukanlah masa lalu. Kecemasan adalah hari ini, besok, lusa, dan lusa-lusa berikutnya. Janganlah kau berpura-pura tenang melihat kehidupan. Sepagi ini telah kau benamkan tubuhmu ke dalam kabut. Aku tahu, kau tengah menulis cerita konyolmu, dan berharap aku mendengarmu.

HASMAR        Di sini, matahari tetap bersinar terang. Biarkan panasnya membakar tubuhmu. Tak usah sangsi. Kehidupan memanglah harus dihidupkan. Dan kita, belajar memulai dari situ.

SUKMA          Aku bukan tanahmu yang melahirkan ribuan kekalahan.  Kau tolak aku, ketika tubuh-tubuh mematung beku di halaman rumahku. Kau bilang kita lewati waktu tanpa beban.  Karena tanah selalu membawa luka dan kecewa. Aku mau hidup di udara dan sungai-sungai. Meninggalkan ladang dan kebun. Aku tak ingin menjadi tanahmu. Aku berkebun di atas sungai. Aku ingin mati dan menggali kuburku di atas sungai.

HASMAR       Begitu berlebihan kemarahanmu. Padahal tubuh-tubuh tetap saja membeku.Mematung di pekarangan rumahku. Dan kau tetap menolak singgah, berdiam sesaat membatu. Mengapa? Bukankah tanah dan sungai tetap saja kekalahan.

Duhai segala masa lalu….aku rindu kau di sini. bersama melukis angin. bukankah baru semalam, kau bermimpi menancap gala, menyeling jutaan biji pohon di gugusan gambut terbakar.

SUKMA         Akh..Kau bercerita lagi. Kau merayuku.

HASMAR       Kisah itu bukan luka. Walaupun kau terus menangis. Aku tahu, air mata tak pernah mendamaikan kesepian musim di tamanmu. Berabad-abad tangisan dan kemarahan kita, selalu berakhir pada kisah-kisah kemenangan. Dan itu, justeru makin melebamkan sejarah negerimu!

SUKMA         Kau bercerita lagi. Aku tak mau mendengarmu.

HASMAR       Kesombongan, kebanggaan yang berlebihan atas kekalahan orang lain, adalah sikap jumawa yang melahirkan watak penindas.

SUKMA         Memaksa aku mendengar ceritamu, adalah sikap penindas.

HASMAR       Aku tidak memaksa kau mendengar dan memahami aku.

SUKMA         Kau ingat, sore itu, 17 tahun yang lalu. Seorang lelaki tua mengenakan ransel, berikat segaris kain merah di kepala. Ia berteriak-teriak di tikungan jalan. aku tahu tiga abad lebih kemarahan tertahan di dadanya. sore ini, lelaki itu mati dalam sajakku. ia tak kuat melahirkan 1000 tentara di tikungan jalan. sore ini, sajakku kukubur bersamanya. aku tahu ia sendiri. Dan berharap sampai ke sorga.

HASMAR       Ya..ya. Aku ingat itu. Sebuah sajak kecemasan.

SUKMA         Bukan kecemasan.  Tapi kekalahan.

HASMAR       Mereka bukan kita, yang mencari sorga.

SUKMA         Bagiku, ini bukan kemarahan. Hanya kekesalan masa lalu. Seperti cerita pohon tumbang di depan rumahmu. Aku tahu, itu menghalangi jalan kau pulang. Tapi tak usah marah. Tak usah keterlaluan menghujat dosa lama kampungmu. Kita tidak harus pulang dengan kemenangan. Karena kenyataan kita selalu kalah atau terkalahkan.
(MENDEKATI HASMAR.) 

HASMAR       (MENGHINDAR)

SUKMA         Ayolah. Kemarin, kau bernyanyi lagu cinta di belakang rumahmu. Meski pelan, tapi aku mendengarnya.

HASMAR       Hemm..aku tak yakin kata-kata itu milikmu.

SUKMA         Ayolah…coba kau nyanyikan lagi lagu itu.

HASMAR       Sepertinya semua orang begitu bangga dibohongi.

SUKMA         Ayolah..mulailah bernyanyi.

                       (HASMAR TAK MENGUBRISNYA)

SUKMA         Baiklah. Kalau kau keberatan, tak apa. Aku yang akan menyanyikannya.

(SUKMA MULAI BERNYANYI)

SUKMA         Jalan-jalan di bawah matahari.
kamu katakan kecewa dan sakit hati.
Apa yang salah dalam perjalanan ini.
Beratus tahun  selalu aku kau bohongi.

Jalan-jalan di bawah matahari
Inilah sorga yang lama dinanti-nanti.
Tak ada yang salah dalam perjalanan ini.
Kamu yang salah selalu terjajah mimpi.

Jalan-jalan di bawah matahari
Ayolah kembali menuju rumahku.
Sebentar saja, kita bercinta.
Sebentar saja, sebelum senja.

(HASMAR MENINGGALKAN SUKMA YANG MASIH TERUS BERNYANYI. BEBERAPA SAAT MUNCUL ORANG-ORANG)

KOOR            Siap-siap menjadikan aku kupu-kupu. siap-siap menjadi air di mata airku. Pepohonan mungkin berkabar lewat kemarau di gugusan hutan. Seperti gesekan daun, pelan nyaris tak bersuara.

ORANG 1      Aku tahu. Sebentar lagi angin membawa awan hitam membekap nafas itu. sesak dan terputus-putus. Satu dua coretan aku menggambar garis hujan. Siap-siap menjadi angsa. Mencari kolam hingga muara sungai. Siap-siap menambatkan segala kedamaian.

ORANG 2      Aku kembali mencatat satu-satu keasaman sungaimu. Seperti dulu kita menghitung ikan-ikan tersangkut jaringmu. Memilih, kemudian melepaskannya kembali ke sungai.

KOOR           Menyusuri sekampung, way abung, tulang bawang, mesuji, sampai ke sungai musi. kita tak pernah peduli kejauhan pelayaran. Meski senja selalu mengingatkan waktu. Jangan gusar dan mengumpat kelelahan. Teruslah mengayuh dan meyakini dermaga. Kita bertemu dalam kemenangan.

SUKMA          Selalu kau sebut kemenangan. Aku muak! Kalian dibodohi oleh kemenangan.

KOOR             Kemenangan adalah buah perjuangan.

SUKMA          Semua orang berjuang.

KOOR             Kemenangan didapat dengan bekerja bukan bermimpi.

SUKMA          Semua orang bekerja. Semua punya mimpi.

KOOR             Kemenangan tidak pernah tidur. Siang malam ia ada dalam pikiran kita.

SUKMA          Pikiran untuk berkuasa dan memperdayai manusia.

KOOR             Kemenangan milik orang-orang yang bersemangat menatap masa depan.

SUKMA          Cukup! Kalian orang-orang bodoh dan dunguh.
Aku bertanya pada kalian, kemana akal dan hati nuranimu?

KOOR             Kemenangan adalah kesederhanaan. Tidak sombong. Tidak angkuh.

SUKMA          Baik..baik. Aku memang sombong. Aku memang angkuh. Tetapi kalian harus tahu siapa diri kalian. Hemm…bukan siapa-siapa! Kemenangan bukan milik kalian.

KOOR             Kemenangan adalah apa yang kau inginkan terkabul. Apa yang kau impikan terwujud.

(ORANG-ORANG BERNYANYI DAN BERJOGET KEMENANGAN. MEREKA SEAKAN MENGONFIGURASIKAN GERAK PERJUANGAN YANG TELAH MEREKA LAKUKAN.)

                               
SUKMA          (SEHABIS PESTA KEMENANGAN.)
                        Nusantara… dimana aku dan kamu menghitung panjang dan keluasannya. Tidak begitu jauh, katamu, dibanding jauhnya perjalanan kita sampai ke kampungmu. Hampir tak ku mengerti maksudmu.

Nusantara… bukankah tak cukup umurku menjelajahi ribuan pulau dan samudera yg terhampar di peta dinding rumahku. Kau benar, katamu. Tapi sampai hari ini aku tak pernah tahu kapan sampai ke kampungmu.

                        Nusantara…lihatlah mereka. Semua tertidur. Mereka kembali bermimpi.


2

                        (BEBERAPA SOSOK TUBUH BERGERAK DI KEREMANGAN MALAM. MEMBANGUN TUBUH-TUBUH YANG KOKOH. MEREKA BERSETUBUH DENGAN TUBUH-TUBUH LAINNYA. MEMBESAR.  LALU PELAN-PELAN MELAHIRKAN TUBUH-TUBUH BARU. RIBUAN BAYI MUNCUL DARI TUBUH MEREKA. SEPERTI RITUAL PERSALINAN YANG BEGITU CEPAT. BAYI-BAYI MEMBESAR DAN TERUS MEMBESAR. MENJADI LIAR. ANARKIS. TANPA MENGENALI IBU BAPAKNYA. MEREKA BEBAS MEMBENTUK SENDIRI TUBUH-TUBUHNYA. HINGGA MENJADI KOMPISISI PATUNG-PATUNG, PILAR, MENARA KOTA, DAN ELEMEN DIAM LAINNYA.)

3

LELAKI TUA(DI ANTARA TUBUH-TUBUH)
                         Janganlah sedih karna waktu. Awal selalu berulang. Dan akhir tak akan pernah selesai.

PEREMPUAN: Aku mengerti, banyak persoalan memberatkan perjalanan pulang. Tetapi kemenangan dan kekalahan tidaklah jauh berarti dari kesabaran kita menghadapinya. Kita tak akan menangis.

LELAKI TUA: Menangis bukanlah bentuk tanggung jawab pada kehidupan. Airmata tak akan mampu membangkitkan tubuhmu.

PEREMPUAN: (KEPADA LELAKI TUA.)  Berdirilah kau di sini. Dan lihatlah ke sana.

LELAKI TUAMataku sulit melihat dalam kegelapan.

PEREMPUAN: Mereka seperti kita.

LELAKI TUAMaksudmu?

PEREMPUAN: Begitu tua dan menjijikkan.

LELAKI TUAYa..ya..Kau benar. Aku baru bisa melihatnya.

PEREMPUAN: Renta dan pikun.

LELAKI   TUAHahahaha…Bahkan lebih tua dan lebih menjijikan dari kita.

PEREMPUAN:   Hahahaha…mereka tak berdaya menyiasati waktu.

LELAKI   TUA:  Hahahaha…menyedihkan.

PEREMPUAN:   Ya. Terlalu banyak luka.

LELAKI   TUA:   Kecewa dan sakit hati.

PEREMPUAN:    Ya. Luka-luka-lukanya, di sini.

LELAKI   TUA:    Hahahaha…Lagu lama yang paling kusukai.

PEREMPUAN:     Lelaki memang selalu menyakiti.

LELAKI   TUA:    Perempuan juga sama.

PEREMPUAN:    Apa katamu?

LELAKI   TUA:   Ee…jangan marah dulu. Biar kujelaskan.

PEREMPUAN:    Apa?

LELAKI TUA:     Ee..maksudku, bukankah dulu kau pernah menolak aku?

PEREMPUAN:    Iya. Lantas?

LELAKI TUA:     Sedih dong.

PEREMPUAN:    Kecewa gitu?

LELAKI TUA:     La, iya dong.

PEREMPUAN:    (DIAM)

LELAKI TUA:    Masih untung cuma galau doang. Coba kalau sampai bunuh diri.

PEREMPUAN:   (MENDEKATI LELAKI) Maafkan aku ya sayang.

LELAKI TUA:    (CUEK)

PEREMPUAN:   Tak ada maksudku menyakitimu.

LELAKI TUA:    (TETAP CUEK)

PEREMPUAN:   Itu kan cuma soal kesesuaian saja…sayang.
                                Masak sih, orang secantik aku, dan seksot begini punya pacar..eh..

LELAKI TUA:    Sejelek aku, maksudmu!

PEREMPUAN:   Lah, iya lah dong..sayang.

LELAKI TUA:    (NGAMBEK)

PEREMPUANYa sudahlah. Itu kan dulu. Sekarang sudah berubah.

LELAKI TUA:   Apa yang berubah?

PEREMPUAN:  Kamu jauh lebih ganteng dari masa lalumu.

LELAKI TUA:   (TERSIPU-SIPU) Masak sih?

PEREMPUAN:   Kerentaan ternyata merubah semuanya.

LELAKI TUA:    Kamu pun begitu. Lebih cantik dan menggetarkan.

PEREMPUAN:   Itulah tubuh masa lalu dan masa kini.

LELAKI TUA:   (MENGGANDENG TANGAN PEREMPUAN) Kau lihatlah mereka. Tubuhnya  membeku dalam hitungan waktu. Keras dan membatu. Kita pasti meninggalkan mereka. Atau mereka pergi meninggalkan kita.

PEREMPUAN:   Kau benar sayang. Mereka menjadi logam piala untuk dirinya.

LELAKI TUA:    Mulailah menyisir kembali rambut putihmu. Kau tidak terlalu tua dalam waktumu. 100 tahun hanya perjalanan singkat bagi hidup yg sebenarnya. Bila saja kau ingat epik di pesisir musi, dan kenangan musim bunga di kotamu. Bahwa kita lebih dulu menyepi dari kekacauan arus sungai, menjadwal datangnya hujan. Sedangkan matahari terus membakar kemarahan di atas perahu nelayan.

PEREMPUAN:   Itu kesaksian!

LELAKI TUA:    Betul. Syair dari hulu sungai Musi. Kerentaan membuat mereka lemah tak berdaya.

PEREMPUAN:   Berubah menjadi kepasrahan.

LELAKI TUA:    Kepasrahan bukanlah perlawanan.

PEREMPUAN:   Mereka harus bangun dan dibangunkan, sampai masa berakhir.

LELAKI TUA:    Jangan menyerah! Kita tak pernah mati dalam hitungan waktu. Kita tak pernah kalah oleh luka dan keberingasan kota. Nyanyikan kembali epik terakhirmu. Dan aku siap berteriak sampai seribu tahun!

(TUBUH-TUBUH BERGERAK KEMBALI. MENJADI INSTALASI MEMBENTUK SEBUAH NEGARA.)


4

                          (SESEORANG BERPAKAIAN PERLENTE BERSAMA DUA ORANG)

PEMIMPIN      :     Pesta dan keriuhan sudah berakhir. Aku butuh udara segar.
                               Di sini terlihat lengang. Tak ada kebisingan.
                               Ajudan…!

AJUDAN          :    Siap tuan!

PEMIMPIN       :   Coba pelan-pelan kau buka dan kau bacakan maklumat itu.

AJUDAN           :   Siap tuan! (AJUDAN MENGELUARKAN SELEMBAR KERTAS.)

                              Maklumat Tuan Besar Pimpinan Tertinggi Negeri.

PEMIMPIN       :   Huuss…! Pelan-pelan saja. Hanya aku yang mendengarnya.

AJUDAN           :   Siap tuan!
      Menyikapi kondisi kegaduhan yang terjadi akhir-akhir ini, maka saya selaku pimpinan 
      tertinggi, menganggap perlu mengeluarkan maklumat untuk…

PEMIMPIN       :  Huuss….! (MENDEKATI AJUDAN) Lebih pelan lagi.

AJUDAN           :  Baik tuan. Saya lanjutkan.
     Selaku pimpinan tertinggi, saya menganggap perlu mengeluarkan maklumat untuk 
     menjaga stabilitas pemerintahan, dan perbedaan yang berkembang di masyarakat.

PEMIMPIN       :   (KEMBALI MENDEKATI AJUDAN.) Sedikit lagi.

AJUDAN           :    (SETENGAH BERBISIK.) Baik tuan. Saya akan bacakan pelan sekali.
                              (AJUDAN KOMAT-KAMIT MEMBACA MAKLUMAT. SUARANYA SAMAR 
                               SEKALI.)

PEMIMPIN       :   Cukup!
     (KEPADA SESEORANG LAGI) Wahai penasihatku, apakah kau paham maksud 
      maklumatku itu?

PENASIHAT     :   Meski kurang terdengar, tapi saya paham maksudnya, tuan.
                               
PEMIMPIN       :   Bagus. Lantas apa pendapatmu?

PENASIHAT      :  Apakah sudah dibicarakan dengan ibu?

PEMIMPIN       :  Oh…sudah pasti. Bahkan yang menyusun kata per kata itu, stafnya ibu.

PENASIHAT     :  Bagaimana dengan masukan yang lain, Tuan?

PEMIMPIN       :  Sudah kita tampung. Menjadi bahan pertimbangan kita.

PENASIHAT     :   Cuma bahan pertimbangan saja. Begitu, Tuan?

PEMIMPIN       :  Ya benar. Memang kenapa?

PENASIHAT     : Saya kuatir saja.

PEMIMPIN       :   Kuatir apa?

PENASIHAT     :   Muncul keributan baru. Karena banyak yang tidak puas, serta tidak sependapat dengan 
                              maklumat yang akan tuan sampaikan itu.

PEMIMPIN      :   Sudah…jangan dipikirkan. Itu biasa. Pro kontra, setuju dan tidak setuju, itu biasa. Itu 
                             namanya di-na-mi-ka. Negeri kita sudah maju. Semua boleh berbeda pendapat. Tapi 
                             keputusan tetap di tangan sang pemimpin.  Lagian, pemimpin mana yang bisa  
                             memuaskan semua orang.

PENASIHAT     :  Tuan benar. Tapi apa tidak bertentangan dengan janji dan misi tuan dahulu?

PEMIMPIN       :  Wahai, Penasihatku yang cerdas. Dunia ini berkembang cepat. Perubahan kadang-  
                             kadang  tak mampu kita perhitungkan. Kondisi ekonomi, politik, dan sosial, setiap 
                             waktu, bahkan hanya hitungan menit, terus berubah.

PENASIHAT      :  Apa Tuan tak kuatir ditinggalkan mereka.

PEMIMPIN        :  Mereka? Siapa mereka?

PENASIHAT       :  Maksudku rakyat yang kemarin mendukung Tuan.

PERMIMPIN      :  Hahahaha…mana mungkin rakyat berpaling. Mereka tetap di belakang saya 
                               mendukung saya. Kau terlalu banyak membaca media. Saya tahu. Yang banyak  
                               cakap itu, hanya sebagian kecil orang-orang mengatasnamakan rakyat.  Apalah artinya 
                               mereka itu.

PENASIHAT       :  (TERLIHAT BINGUNG) 
                               Maksudku, keputusan-keputusan tuan, banyak yang tidak berpihak kepada mereka.

PEMIMPIN         :  Sudahlah. Kau terlalu kuatir. Semua keputusan sudah saya pikirkan secara seksama. 
                               Dengan mempertimbangkan semua yang berkepentingan di negeri ini.

PENASIHAT       : (DIAM)

PERMIMPIN       : (MENDEKATI PENASIHAT.)  Sudahlah. Kita tak perlu berdebat. (MELIRIK KE 
                               AJUDAN.)

AJUDAN             : Siap, Tuan!

PEMIMPIN         : Sepertinya dia terlalu lelah. Kau antarkan dia mencari udara segar yang nyaman baginya.

PENASIHAT       :  Ah..Tuan tahu aja. Sudah lama saya tak menghibur diri.

PEMIMPIN         :  Hahaha…nikmatilah dan hiburlah dirimu, Penasihat.
       (PENASIHAT DAN AJUDAN BERLALU MENINGGALKAN PERLENTE. TAK 
       BEBERAPA LAMA TELPON GENGGAM PERLENTE BERBUNYI.)

PEMIMPIN         : Ya..siap bu! Siap! Jam berapa? Siap! Siap ibu!

                              (TELPON GENGGAM PERLENTE BERBUNYI LAGI.)
                              Oke..Mister. Yes..siap Mister! Siap..siap…siap. Siap Mister.

                              (KEMBALI TELPON PERLENTE BERBUNYI.)
                              Assalamualaikum, bang. Apa kabarnya? Oh iya bang! Siap bang. Siap, perintah 
                              dilaksanakan. Waalaikum salam.

                              (TELPON PERLENTE BERBUNYI LAGI.)
                              Selamat malam, Pak. Siap Pak!  Ya saya sudah ditelpon ibu. Siap Pak! Siap!

                              (PERLENTE TERLIHAT BINGUNG. DIA HILIR MUDIK. TELPONNYA 
                              BERBUNYI LAGI. TERUS BERBUNYI…)
                              Siaaaap…!
                              Ya, Madem. Siap, Madem.
                              Siap Mister! Lagi kita siapkan. Ya..ya. Siap!
                              Ya…Siap! Segera kita umumkan, Pak. Siap!
                              Siap. Ya kita upayakan minggu ini, Mister Michael. Siap Mister!
                              Hallo..bung! apa kabarnya? Alhamdulillah…baik juga. Ya, bung. Siap bung!
                              Siaap..ya. Jangan kuatir, secepatnya kita selesaikan, Pak. Siap Pak!
                              Siaaap Pak!
                              (TELPON PERLENTE TERUS BERBUNYI.)

5

HASMAR          :  Kita percaya atau mungkin juga tidak dengan apa yang kita pahami. Seseorang atau dia, 
                             yang diharapkan umat manusia. Tapi tidak selalu tegak lurus dengan pikiran, perasaan, 
                             dan tindakan. Kita selalu menunggu. Menunggu harapan dan keinginan. Menunggu 
                             diselamatkan dari kesengsaraan.  Tetapi, menunggu, membuatku terasing, sepi, marah, 
                             dan mungkin juga mati. Kita selalu percaya, bahwa seseorang atau dia, akan datang 
                             menepati janjinya. Menemui, dan membebaskan kita dari derita dan kesengsaraan ini. 
                               
                             (HASMAR MENATAP SEKITARNYA)

                             Gedung-gedung pencakar langit, istana kebanggaan, hutan-hutan beton kota, kantor 
                             pemerintahan, kondominium yang menusuk awan, pasar mewah bertingkat-tingkat, aku 
                             mencari dirimu. Di sini, aku menunggu dan selalu menunggu kau datang menemuiku. Di 
                             kampung becek dan kotor ini, kami selalu setia menunggu matahari terbenam. Menunggu 
                             matahari terbit. Menunggu dan menghitung kereta melintasi rel kereta api.

                             Datanglah. Walau sebentar, kau akan senang. Aku akan bernyanyi dan memainkan 
                             musik  kesukaanmu. Dan kau pasti yakin, aku dan mereka tak akan menagih janjimu.   
                             Kau masih ingat suara kacau piano tua itu. Aku akan mainkan untukmu.
 
                             (HASMAR DUDUK DI POJOK GEDUNG, SAMBIL MEMAINKAN ALAT 
                             MUSIKNYA. DI SISI LAIN TERLIHAT SANG PEMIMPIN DAN 
                             ORANG-ORANG TERLIHAT SEDANG BERKUMPUL DAN RAPAT PENTING. )


    (SETELAH RAPAT USAI. DAN HASMAR BERHENTI BERNYANYI. 
    TERDENGAR.)
LELAKI TUA    : Pada kesempatan lain, jutaan orang berdiri kaku tanpa bicara di pinggiran rel kereta api. 
                            Entah apa yang mereka tunggu. Dari matahari terbit sampai terbenam. Menunggu 
                            seseorang atau dia, yang tidak pernah mereka tahu.

PEREMPUAN   :   Pada kesempatan lain lagi, orang-orang berteriak-teriak dalam kesunyian. Mereka ingin 
                              merebut matahari dan membidik bulan. Menunggu detak ke detak jarum jam yang 
                              bergerak. Mereka siap saling mencakar, menggigit, bahkan memakan sesama mereka.  

LELAKI TUA      : Hahaha…jaman berubah. Semua ada kesaksian.

PEREMPUAN     : Pada kesempata lain, kau lihat segerombolan orang-orang berdiri perkasa menghadang 
                              laju kereta. Sambil berpuisi kata-kata di terik matahari. Mereka berkumpul, diskusi 
                              dalam gelap. Menjadikan malam menggeliat. Tetapi, mereka juga menunggu seseorang 
                              yang mereka tidak tahu.

LELAKI TUA       : Hahaha…Sebuah pemandangan yang menyenangkan.


PEREMPUAN      : Kadang mereka menangis. Kadang tertawa terpingkal-pingkal. Kadang marah dan 
                               membentak. Tapi mereka bilang, ini bukan politik. Kami tidak berpolitik. Ini persoalan 
                               rakyat dan pemimpinnya.

LELAKI TUA        : (KEMBALI TERTAWA) Pandai  juga mereka.

HASMAR              : Siapa kalian?

LELAKI TUA        : (TERUS TERTAWA.)

HASMAR              : (MENDEKATI) Maaf, siapa kalian?

PEREMPUAN       : (KE LELAKI TUA) Hei! Hentikan tertawamu. Dasar lelaki tua yang tak tahu diri.

LELAKI TUA        : Baik…baik. Aku akan berhenti tertawa, wahai perempuanku.

PEREMPUAN       : (KE ARAH HASMAR) Kami adalah sang waktu.

HASMAR              : Apakah kau mendengar suara musikku?
                                Apakah kalian yang mereka tunggu?

PEREMPUAN      : Apakah kau dan mereka  menunggu seseorang?

LELAKI TUA       : Akh…terlalu bertele-tele. Kau jawab saja, iya. Kamilah yang kalian tunggu. Atau kami 
                                sengaja datang menemui kalian. Atau kalimat lainnya, kami mendengar kalian 
                                memanggil, makanya kami datang.

PEREMPUAN     : Akh itu lebih bertele-tele lagi.

HASMAR            : Saya adalah warga di sini. Nama saya, Hasmar.

PEREMPUAN     : Kau punya keluarga?

HASMAR            : Dulu iya. Sekarang tidak lagi.

PEREMPUAN    : Oh..maafkan aku. Kau bekerja dimana?

LELAKI TUA     :  Hemm..pertanyaanmu terlalu pribadi.  

PEREMPUAN    :  Kau tadi bilang, menunggu seseorang. Siapa itu?

HASMAR            :  Seorang sahabat.

PEREMPUAN     :  Seorang sahabat?  Kau tak keberatan menceritakan siapa dia?

LELAKI TUA      :  Terlalu masuk ke urusan pribadi orang. Tak pantas!

HASMAR              (KEPADA LELAKI TUA) OH..Tidak apa-apa. Aku tak keberatan. Dia adalah 
                               seseorang yang kami tunggu. Kami yakin dia akan datang dan merubah segalanya. 

LELAKI TUA        : Merubah segalanya?

HASMAR             : Begitulah janjinya. Dan kami meyakini itu.

LELAKI TUA       : Hahahaha….

HASMAR             : Maaf, kenapa tertawa?

LELAKI TUA       :  Hahahaha….Anak muda selalu yakin dengan yang dinamakan: Janji. Tapi tak mau 
                                menerima kekecewaan.  Kau tak ubahnya seperti warga di sini. Selalu setia menjaga 
                                kampungnya meski semakin sesak, bau, dan kotor.

HASMAR             : Aku tak mengerti maksud, kakek?

LELAKI TUA       : Kau memanggilku kakek? Tak apalah. Mungkin karena melihat tubuhku. Kita baru saja 
                               bertemu. Kau belum mengenal aku.

PEREMPUAN     :  Itu panggilan santun untuk menghormati orang. Kau saja terlalu perasa.

LELAKI TUA      :  Baiklah. Kami memang sudah tua, reot, dan renta. Kami adalah masa lalu.
                               Apalagi dia (KEPADA PEREMPUAN) Sungguh-sungguh tak berguna.

PEREMPUAN    :  Hentikan bacotmu, kakek peot!

HASMAR           :  Eeh…Maaf…maaf. Aku telah membuat kalian menjadi tak akur.

PEREMPUAN    :  Dia yang memulai!

LELAKI TUA     :  Dia yang memulai!

PEREMPUAN    :  Kamu yang memancing emosiku!

LELAKI TUA     :  Kamu yang memancing emosiku!

PEREMPUAN    :  Maumu apa?

LELAKI TUA     :  Maumu apa?

HASMAR           :  Hentikan…hentikan! Aku mohon. Kalian belum menjelaskan kedatangan kalian.

PEREMPUAN    :  Dasar orang tua tak tahu diri!

LELAKI TUA     :  Dasar perempuan bodoh!

PEREMPUAN    :  Lelaki bego!

LELAKI TUA     :  Apa, kau bilang aku bego?

HASMAR           :  Berhenti…berhentilah bertengkar.
                              Ayo, kalian belum menjelaskan siapa kalian.
                              Kami menunggu seseorang. Tolong jelaskan!
                              Berhentilah bertengkar…


      (KEDUANYA TAK MENGUBRIS HASMAR. MEREKA TERUS PERANG 
      MULUT, SALING MENGEJAR. HASMAR BERUSAHA MELERAI. AKHIRNYA 
      KEDUANYA KELELAHAN SENDIRI.)

LELAKI TUA       : Kita terlalu tua untuk bertengkar. Otot-ototku sudah tak kuat…

HASMAR             :  Redahkan kemarahan kalian.

PEREMPUAN      :  Perempuan memang selalu disakiti...

LELAKI TUA       :  Begitu pun lelaki. Tak pernah dihargai…

HASMAR             :  Kalian sebetulnya terlihat saling menyayangi.

LELAKI TUA       :  Kau benar. Aku sangat menyayanginya. Tapi dia masa bodoh.

PEREMPUAN     :  Kau benar. Aku begitu menyayanginya. Tapi dia masa bodoh.

LELAKI TUA      :  Aku sangat mencintainya. Tapi dia tak mau tahu.

PEREMPUAN     :  Aku juga. Sangat mencintainya. Tapi dia tak mau mengerti.

HASMAR            :   Apa yang kuduga benar. Kalian saling menyayangi. Saling mencintai.

LELAKI TUA       :  (MENATAP PEREMPUAN DAN MERAPATKAN JARAK DI ANTARA 
                                MEREKA.)

HASMAR             :  Mulailah berbaikan. Saling merangkul. Bukankah kalian saling mencintai?

LELAKI TUA       :  Anak muda berhentilah bertanya siapa kami. Kami bukan yang kalian tunggu. 
                                Kami tak  pernah bisa menjelaskan apa yang ada di pikiranmu.

PEREMPUAN     :  Betul. Kami bukan siapa-siapa. Kami hanyalah masa lalu. Setiap jaman ada kesaksian. 
                               Kami ingin menikmati sesaat lalu pergi. Di sini memang tak senyaman sebelumnya. 
                               Tetapi masih lebih baik.

HASMAR            :  Tetapi kalian perlu menjelaskan kepadaku apa yang salah?

LELAKI TUA      :  Berhentilah bertanya dan berkomentar. Sebaiknya hening untuk berpikir. Menutup mata 
                               untuk merasakan. Dan menggenggam tangan untuk kepastian. Tubuhmu masih kuat 
                               untuk berbuat. Rebahkanlah dalam mimpi dan keyakinan-keyakinan.

PEREMPUAN     :  (REBAH DI PANGKUAN LELAKI TUA) Hasmar, tinggalkan kami. Kami ingin 
                               menikmati sesaat lalu pergi.

 HASMAR           :  Baik….baik. Aku pergi. 



6

SUKMA              :  Malam terbalik tetaplah malam. Tidak seperti jarum jam, yang terbalik berputarnya. Ini 
                               bukan sejarah cuaca dan waktu. Semua orang sudah tidak tahu dirinya sendiri. Mereka 
                               menolak ditaklukkan, tetapi takut berperang. 

HASMAR            :  Ah..kau. Kau sudah lebih dulu tiba.

SUKMA              :  Lelaki penakut.

HASMAR            :  Maaf aku terlambat tiba.

SUKMA              :  Selalu kau ulang-ulang kalimat itu.

HASMAR            :  Kau pasti kesal menunggu.

SUKMA               :  Lelaki macam apa kau.

HASMAR             :  Maafkan aku. Tadi di jalan aku bertemu sepasang orang tua. Mereka banyak menyita 
                                 waktuku.

SUKMA               :  Aku tak mau tahu alasan itu. Ini soal kesepakatan yang kau buat sendiri.

HASMAR             :  Ya. Aku paham.

SUKMA               :  Lantas?

HASMAR             :  Kau pasti marah.

SUKMA               :  Cuma itu?

HASMAR             :  Sudahlah. Jangan terlalu menyudutkan. Aku tahu aku salah. Ini kan hanya persoalan 
                                 waktu kedatangan saja.

SUKMA               :  Bukan soal keterlambatanmu yang aku persoalkan. Tapi siasat di balik itu.

HASMAR             :  Kau bilang apa? Aku bersiasat?

SUKMA               :  Hasmar! Sudah cukup! Aku mulai mengerti siapa kamu.

HASMAR             :  Sukma, kau dengar dulu. Apa yang kita lakukan sekarang ini adalah bagian dari 
                                proses. Semua harus dilakukan hati-hati dan tidak segampang membalik telapak 
                                tangan. Bukan hanya kamu dan mereka yang kesal dan tak sabar menyikapi kondisi 
                                yang berlarut-larut ini. Aku juga begitu. Kita terus bergerak. Terus berbuat.

SUKMA               :  Lalu apa hasilnya? Semakin kacau. Semakin tak jelas!

HASMAR             :  Itu kesimpulanmu.

SUKMA               :  Itu kenyataan.

HASMAR             :  Kenyataan pasti selalu berubah.

SUKMA               :  Kau menunggu telur pecah. Dasar pengecut!

HASMAR             :  Kau tidak belajar dari sejarah. Tidak semua orang-orang pemberani dapat 
                                menyelesaikan masalah. Meski pun keberanian itu perlu dalam  menyelesaikan 
                                masalah.

SUKMA               :  Bicaramu mulai berputar-putar.

HASMAR             :  Persoalan sekarang ini, kita berada di posisi menunggu. Sabarlah. Kita tunggu 
                                bagaimana kelanjutannya. Baru kita mengambil sikap.

SUKMA               :  Jadi itu, yang membuatmu terlambat tiba di sini. Kau takut diminta menandatangani 
                                kesepakatan  itu. Bukankah kau sendiri yang menawarkan itu. Kenapa berubah sikap?

HASMAR             :  Situasi tidak memungkinkan. Aku tak ingin kita dimanfaatkan orang-orang yang punya 
                                kepentingan. Semakin menambah kegaduhan.

SUKMA               :  Situasi apa yang menurutmu tidak memungkinkan? Kau jangan mengaburkan 
                                momentum. Harga-harga kebutuhan sehari-hari semakin melonjak. Kemiskinan terus 
                                bertambah. Pengangguran terus membludak. Krisis dimana-mana. Korupsi semakin 
                                melebarkan sayapnya. Kekayaan negeri dirampok. Penegak hukum semakin bobrok.

                                Menunggu apa lagi? Sabar apa lagi?

HASMAR             :  Kita beri kesempatan pemimpin kita bekerja, menyelesaikan masalah itu.

SUKMA               :  Kau yakin pemimpin kita dapat menyelesaikannya? Bukankah kondisi itu terjadi 
                                karena kebijakan yang dibuatnya sendiri?

HASMAR             :  Aku tidak melihat masalahnya sesederhana itu.

SUKMA               :  Hahahaha…Hasmar, ayolah buka matamu! Sadarlah. Bulan madu sudah usai. Kau 
                                selalu bicara kebenaran, tetapi kompromi dengan kebohongan.

HASMAR             :  Kau terlalu cepat menilai. Masalah yang terjadi saat ini, sudah terjadi sebelumnya. 
                                Penyelesaiannya juga perlu proses dan bertahap. Siapa pun pemimpinnya, tentu tak 
                                mudah keluar dari krisis ini. Kita masih punya waktu untuk menunggu. Sampai 
                                batasnya nanti, kalau tetap saja. Kita baru bersikap. Bukankah itu lebih bijak dari 
                                menghujat.

SUKMA               :  (MENATAP SEKSAMA KE HASMAR.)

HASMAR             :  Aku yakin. Sampai waktunya nanti, rakyat pun akan bergerak. Pasti bergerak.

SUKMA               :  (MASIH MENATAP HASMAR.)

HASMAR             :  Bukankah itu yang selama ini kita inginkan?

SUKMA               :  (MENDEKAT KE HASMAR. MATANYA TAK BERKEDIP MENATAP 
                                HASMAR.)

HASMAR             :  Rakyat….ya, kekuatan rakyat.

SUKMA               :  Kau mengecewakan aku, Hasmar.

HASMAR             :  Aku hanya mengingatkan tentang kesabaran.

SUKMA               :  Kita sudah jauh melangkah.

 HASMAR            :  Ya. Sangat jauh sekali. Tinggal menunggu waktu.

SUKMA               :  Aku letih. Sudah tak kuat menunggu.

HASMAR             :  Aku menghargai itu.

SUKMA               :  (BERBALIK BADAN MENATAP GEDUNG-GEDUNG KOTA.) 
        Malam semakin malam. Jam dinding tidak terbalik berputarnya. Kesendirian dan 
        kesepian siapa, selain aku. Biarkan satu persatu mereka pergi meninggalkan aku. 
        Jangan halangi. Itu pilihan. Kita bertahan dan pergi karena pilihan.

        Maafkan aku, Hasmar. Aku terlalu berharap kepadamu.
        Ternyata aku salah.    

HASMAR             :  Kehidupan memang unik. Kadang aku berpikir apakah ada yang lebih unik dari itu. 
                                Semua orang merencanakan kehidupan dirinya. Mereka bergaul dan berkumpul. 
                                Sewaktu-waktu juga berpisah. Mereka berjalan sendiri-sendiri. Kadang berjauhan 
                                kadang bersama-sama. Seperti rel kereta. Dan mereka tahu, ingin secepatnya tiba di 
                                stasion.  

SUKMA               :  Kita berseberangan.

HASMAR             :  Tapi tetap satu tujuan.

SUKMA               :  Kau bersiasat, Hasmar.

HASMAR             :  Mengapa kau tak selembut dan sebijak sebelumnya?

SUKMA               :  Lembut dan bijak, ternyata tidak merubah keadaan.

HASMAR             :  Kau begitu keras dan meyakini pikiranmu.

SUKMA               :  Pulanglah ka ke kampungmu! Temui mereka, dan katakana bahwa kita harus sabar! 
                                Sabar!  Kesulitan akan ada jalan keluarnya, kalau kita sabar. Berpidatolah kau tentang 
                                sebuah proses. Segala keinginan dan mimpi-mimpi kampungmu akan terwujud. Hanya 
                                butuh kesabaran untuk menunggu!

HASMAR             :  (DIAM.)

SUKMA               :  Dan jangan lupa pula, katakana kepada mereka. Aku perempuan yang keras kepala 
                                dan tak bisa mengerti dengan kenyataan yang sedang terjadi! 

                             :  Maaf Hasmar. Aku harus pergi!

HASMAR            :  (TERTEGUN SEUSAI SUKMA YANG PERGI MENINGGALKANNYA. TAK 
                               LAMA,  PEREMPUAN DAN LELAKI TUA MENDATANGINYA.)

LELAKI TUA      :  Hahahaha….Perempuan memang seperti itu. Sulit diduga.
       Maaf, kalau tadi kami mengusirmu. Tapi ‘kan benar, hanya sesaat saja.

PEREMPUAN     :  Perempuan selalu dijadikan biang masalah lelaki.

LELAKI TUA      :  Tidak selalu begitu.

PEREMPUAN     :  Selalu harus mengerti  keinginan lelaki.

LELAKI TUA      :  Tidak selalu begitu.

PEREMPUAN     :  Harus melayani semua maunya lelaki.

LELAKI TUA      :  Tidak selalu! Buktinya, kau menikmatinya juga.

PEREMPUAN     :  Jangan besar rasa kamu!

LELAKI TUA      :  Bahkan kau yang memulai..hemm.

PEREMPUAN     :  Lelaki selalu mencari pembenaran atas keinginannya.

LELAKI TUA      :  (KEPADA HASMAR.) 
                               Anak muda, tidak selalu sesuatu yang kita inginkan berjalan semestinya.  Itulah liku-liku        perjuangan. Tadi kau bicara tentang menunggu. Dan kau yakini seseorang atau apalah 
                               namanya, pasti akan datang menemuimu.

HASMAR            :  Pak tua, cara bicaramu tidak terlihat seperti sebelumnya.

LELAKI TUA      :  (MELIRIK PEREMPUAN.)
       Oh..tentu saja. Aku agak sedikit segar. Sejak kau tinggalkan sesaat.

PEREMPUAN     :  Jangan kau gubris omongan kakek peot ini.

LELAKI TUA      :  Hahahaha…begitu cepatnya kau berubah.

HASMAR            :  Pak tua, aku masih yakin dengan kesabaran.

LELAKI TUA      :  Aku paham. Kesabaran, doa, dan harapan…Kata-kata bijak itulah yang selama ini 
                               menipu kita. Kata-kata itu juga yang membuat bangsamu menjadi bangsa pengecut! 
                               Tak punya nyalih. Penurut dan gampang dikibulin.

HASMAR            :  Apa maksud bapak bicara begitu?

LELAKI TUA      :  Hahahaha….Kesabaranlah yang membuat kalian jadi penjilat, maling, korup, rakus 
                               kekuasaan, rakus jabatan. Kesabaran itu juga yang membuat para cerdik pandai di 
                               negerimu berubah menjadi  pelacur. Menjual belikan ilmu yang dimilikinya.

HASMAR            :  Pak tua, mengapa kau bicara sekasar itu?

PEREMPUAN     :  Tak usah kau gubris omongannya.

LELAKI TUA      :  Kesabaran membuat kalian bodoh.        

HASMAR            : Agama, mengajarkan kami tentang kesabaran.

LELAKI TUA      :  Betul. Dan kamu berharap dengan doa-doamu agar Tuhan mengabulkan apa maumu?

HASMAR            :  Sebagai hambanya, itulah yang bisa kitas pasrahkan.

LELAKI TUA      :  Cuma itu? Pasrah dan tawakal?

HASMAR            :  Juga bekerja dan berbuat.

LELAKI TUA      :  Apa yang sudah kau perbuat?

HASMAR            :  Mengabarkan nilai-nilai kebaikan.

LELAKI TUA      :  Hanya mengabarkan saja?

HASMAR            :  Juga memperjuangkannya.

LELAKI TUA      :  Lantas apa hasilnya? Apakah semua sudah berubah menjadi baik?

HASMAR            :  Aku pikir itu proses. Tidak serta merta.

LELAKI TUA      :  Kau masih percaya dengan proses?

HASMAR            :  Aku punya Tuhan. Tidak ada sesuatu di muka bumi ini, tiba-tiba ada.

PEREMPUAN     :  (KEPADA LELAKI TUA.) Hei, orang tua! Dia bukan atheis seperti dirimu?

LELAKI TUA      :  (KEPADA PEREMPUAN.) Apa hubungannya? Aku bertanya tidak dalam kontek itu.
                               (KEPADA HASMAR.) Kau mengabarkan kebaikan. Tetapi tidak memerangi 
                                keburukan. Kau inginkan semua berubah baik. Tetapi kau masa bodoh dengan 
                                keburukan. Aku tidak paham apa yang kau perjuangkan, anak muda.

HASMAR            :   Baiklah, Pak Tua. Aku akan jelaskan. (HASMAR MENGELUARKAN   
                                SELEMBAR KERTAS. LALU MEMBERIKANNYA KEPADA LELAKI TUA.)
                                Ini, kau bacalah tulisannya.

LELAKI TUA      :   (LELAKI TUA LALU MEMBUKA KERTAS DAN MEMBACANYA. 
                                PEREMPUAN MENDEKAT, MAU TAHU JUGA APA ISI TULISAN DI 
                                KERTAS ITU. LELAKI TUA SEDIKIT MENGHINDAR. BEBERAPA SAAT DIA 
                                LALU MEMBERIKAN KERTAS ITU KEPADA PEREMPUAN.) 
                                Ini! Ambil dan kau baca sendiri!


SELANJUTNYA….