Photographer Reveals |
1
HASMAR Adalah kecemasan ketika kau sebut
masa lalu. Kita pekerja. Setiap pagi
meninggalkan rumah. Mengolah keinginan menjadi
masa depan. Tetapi tetap saja pulang menjadi ibu,. Menjadi kakek. Menjadi
leluhurku…Kita, sama-sama bekerja. Mengolah lahan membangun rumah. Mencetak
sawah dan kebun. Itu bukan masa lalu. Meskipun lantai rumahmu kau hias menjadi
lukisan kota.
SUKMA Kecemasan bukanlah masa lalu.
Kecemasan adalah hari ini, besok, lusa, dan lusa-lusa berikutnya. Janganlah kau
berpura-pura tenang melihat kehidupan. Sepagi ini telah kau benamkan tubuhmu ke
dalam kabut. Aku tahu, kau tengah menulis cerita konyolmu, dan berharap aku
mendengarmu.
HASMAR Di sini, matahari tetap bersinar
terang. Biarkan panasnya membakar tubuhmu. Tak usah sangsi. Kehidupan memanglah
harus dihidupkan. Dan kita, belajar memulai dari situ.
SUKMA Aku bukan tanahmu yang
melahirkan ribuan kekalahan. Kau tolak
aku, ketika tubuh-tubuh mematung beku di halaman rumahku. Kau bilang kita lewati waktu tanpa beban. Karena tanah selalu membawa luka dan kecewa.
Aku mau hidup di udara dan sungai-sungai. Meninggalkan ladang dan kebun. Aku
tak ingin menjadi tanahmu. Aku berkebun di atas sungai. Aku ingin mati dan
menggali kuburku di atas sungai.
HASMAR Begitu
berlebihan kemarahanmu. Padahal tubuh-tubuh tetap saja membeku.Mematung di pekarangan rumahku. Dan kau tetap
menolak singgah, berdiam sesaat membatu. Mengapa? Bukankah tanah dan sungai
tetap saja kekalahan.
Duhai
segala masa lalu….aku rindu kau di sini. bersama melukis angin. bukankah baru
semalam, kau bermimpi menancap gala, menyeling jutaan biji pohon di gugusan
gambut terbakar.
SUKMA Akh..Kau
bercerita lagi. Kau merayuku.
HASMAR Kisah itu bukan luka. Walaupun kau terus menangis. Aku tahu, air mata
tak pernah mendamaikan kesepian musim di tamanmu. Berabad-abad tangisan dan
kemarahan kita, selalu berakhir pada kisah-kisah kemenangan. Dan itu, justeru
makin melebamkan sejarah negerimu!
SUKMA Kau bercerita lagi. Aku tak mau
mendengarmu.
HASMAR Kesombongan, kebanggaan yang
berlebihan atas kekalahan orang lain, adalah sikap jumawa yang melahirkan watak
penindas.
SUKMA Memaksa aku mendengar ceritamu,
adalah sikap penindas.
HASMAR Aku tidak memaksa kau mendengar
dan memahami aku.
SUKMA Kau ingat, sore itu, 17 tahun
yang lalu. Seorang lelaki tua mengenakan ransel, berikat segaris kain merah di
kepala. Ia berteriak-teriak di tikungan jalan. aku tahu tiga abad lebih
kemarahan tertahan di dadanya. sore ini, lelaki itu mati dalam sajakku. ia tak
kuat melahirkan 1000 tentara di tikungan jalan. sore ini, sajakku kukubur bersamanya.
aku tahu ia sendiri. Dan berharap sampai ke sorga.
HASMAR Ya..ya. Aku ingat itu. Sebuah sajak
kecemasan.
SUKMA Bukan kecemasan. Tapi kekalahan.
HASMAR Mereka bukan kita, yang mencari
sorga.
SUKMA Bagiku, ini bukan kemarahan.
Hanya kekesalan masa lalu. Seperti cerita pohon tumbang di depan rumahmu. Aku
tahu, itu menghalangi jalan kau pulang. Tapi tak usah marah. Tak usah
keterlaluan menghujat dosa lama kampungmu. Kita tidak harus pulang dengan
kemenangan. Karena kenyataan kita selalu kalah atau terkalahkan.
(MENDEKATI HASMAR.)
HASMAR (MENGHINDAR)
SUKMA Ayolah. Kemarin, kau bernyanyi
lagu cinta di belakang rumahmu. Meski pelan, tapi aku mendengarnya.
HASMAR Hemm..aku
tak yakin kata-kata itu milikmu.
SUKMA Ayolah…coba kau nyanyikan lagi
lagu itu.
HASMAR Sepertinya
semua orang begitu bangga dibohongi.
SUKMA Ayolah..mulailah bernyanyi.
SUKMA Baiklah. Kalau kau keberatan,
tak apa. Aku yang akan menyanyikannya.
(SUKMA MULAI
BERNYANYI)
SUKMA Jalan-jalan di bawah matahari.
kamu katakan kecewa
dan sakit hati.
Apa yang salah
dalam perjalanan ini.
Beratus tahun selalu aku kau bohongi.
Jalan-jalan di
bawah matahari
Inilah sorga yang
lama dinanti-nanti.
Tak ada yang salah
dalam perjalanan ini.
Kamu yang salah selalu
terjajah mimpi.
Jalan-jalan di bawah
matahari
Ayolah kembali menuju
rumahku.
Sebentar saja,
kita bercinta.
Sebentar saja,
sebelum senja.
(HASMAR MENINGGALKAN SUKMA YANG
MASIH TERUS BERNYANYI. BEBERAPA SAAT MUNCUL ORANG-ORANG)
KOOR Siap-siap menjadikan aku
kupu-kupu. siap-siap menjadi air di mata airku. Pepohonan mungkin berkabar
lewat kemarau di gugusan hutan. Seperti gesekan daun, pelan nyaris tak
bersuara.
ORANG 1 Aku tahu. Sebentar lagi angin
membawa awan hitam membekap nafas itu. sesak dan terputus-putus. Satu dua
coretan aku menggambar garis hujan. Siap-siap menjadi angsa. Mencari kolam hingga
muara sungai. Siap-siap menambatkan segala kedamaian.
ORANG 2 Aku kembali mencatat satu-satu
keasaman sungaimu. Seperti dulu kita menghitung ikan-ikan tersangkut jaringmu.
Memilih, kemudian melepaskannya kembali ke sungai.
KOOR Menyusuri sekampung, way
abung, tulang bawang, mesuji, sampai ke sungai musi. kita tak pernah peduli
kejauhan pelayaran. Meski senja selalu mengingatkan waktu. Jangan gusar dan
mengumpat kelelahan. Teruslah mengayuh dan meyakini dermaga. Kita bertemu dalam
kemenangan.
SUKMA Selalu kau sebut kemenangan. Aku
muak! Kalian dibodohi oleh kemenangan.
KOOR Kemenangan adalah buah
perjuangan.
SUKMA Semua orang berjuang.
KOOR Kemenangan didapat dengan
bekerja bukan bermimpi.
SUKMA Semua orang bekerja. Semua punya
mimpi.
KOOR Kemenangan tidak pernah
tidur. Siang malam ia ada dalam pikiran kita.
SUKMA Pikiran untuk berkuasa dan
memperdayai manusia.
KOOR Kemenangan milik orang-orang
yang bersemangat menatap masa depan.
SUKMA Cukup! Kalian orang-orang bodoh
dan dunguh.
Aku bertanya pada kalian, kemana
akal dan hati nuranimu?
KOOR Kemenangan adalah
kesederhanaan. Tidak sombong. Tidak angkuh.
SUKMA Baik..baik. Aku memang sombong.
Aku memang angkuh. Tetapi kalian harus tahu siapa diri kalian. Hemm…bukan
siapa-siapa! Kemenangan bukan milik kalian.
KOOR Kemenangan adalah apa yang
kau inginkan terkabul. Apa yang kau impikan terwujud.
(ORANG-ORANG BERNYANYI DAN
BERJOGET KEMENANGAN. MEREKA SEAKAN MENGONFIGURASIKAN GERAK PERJUANGAN YANG TELAH
MEREKA LAKUKAN.)
SUKMA (SEHABIS PESTA KEMENANGAN.)
Nusantara…
dimana aku dan kamu menghitung panjang dan keluasannya. Tidak begitu jauh,
katamu, dibanding jauhnya perjalanan kita sampai ke kampungmu. Hampir tak ku
mengerti maksudmu.
Nusantara… bukankah tak cukup
umurku menjelajahi ribuan pulau dan samudera yg terhampar di peta dinding
rumahku. Kau benar, katamu. Tapi sampai hari ini aku tak pernah tahu kapan
sampai ke kampungmu.
Nusantara…lihatlah
mereka. Semua tertidur. Mereka kembali bermimpi.
2
(BEBERAPA SOSOK
TUBUH BERGERAK DI KEREMANGAN MALAM. MEMBANGUN TUBUH-TUBUH YANG KOKOH. MEREKA
BERSETUBUH DENGAN TUBUH-TUBUH LAINNYA. MEMBESAR. LALU PELAN-PELAN MELAHIRKAN TUBUH-TUBUH BARU.
RIBUAN BAYI MUNCUL DARI TUBUH MEREKA. SEPERTI RITUAL PERSALINAN YANG BEGITU
CEPAT. BAYI-BAYI MEMBESAR DAN TERUS MEMBESAR. MENJADI LIAR. ANARKIS. TANPA
MENGENALI IBU BAPAKNYA. MEREKA BEBAS MEMBENTUK SENDIRI TUBUH-TUBUHNYA. HINGGA
MENJADI KOMPISISI PATUNG-PATUNG, PILAR, MENARA KOTA, DAN ELEMEN DIAM LAINNYA.)
3
LELAKI TUA: (DI ANTARA TUBUH-TUBUH)
Janganlah sedih
karna waktu. Awal selalu berulang. Dan akhir tak akan pernah selesai.
PEREMPUAN: Aku mengerti, banyak persoalan memberatkan
perjalanan pulang. Tetapi kemenangan dan kekalahan tidaklah jauh berarti dari kesabaran
kita menghadapinya. Kita tak akan menangis.
LELAKI TUA: Menangis bukanlah bentuk tanggung jawab
pada kehidupan. Airmata tak akan mampu membangkitkan tubuhmu.
PEREMPUAN: (KEPADA LELAKI TUA.) Berdirilah kau di sini. Dan lihatlah ke sana.
LELAKI TUA: Mataku sulit melihat dalam kegelapan.
PEREMPUAN: Mereka seperti kita.
LELAKI TUA: Maksudmu?
PEREMPUAN: Begitu
tua dan menjijikkan.
LELAKI TUA: Ya..ya..Kau
benar. Aku baru bisa melihatnya.
PEREMPUAN: Renta dan
pikun.
LELAKI TUA: Hahahaha…Bahkan lebih tua dan lebih
menjijikan dari kita.
PEREMPUAN: Hahahaha…mereka
tak berdaya menyiasati waktu.
LELAKI TUA: Hahahaha…menyedihkan.
PEREMPUAN: Ya.
Terlalu banyak luka.
LELAKI TUA: Kecewa dan sakit hati.
PEREMPUAN: Ya. Luka-luka-lukanya,
di sini.
LELAKI TUA: Hahahaha…Lagu lama yang paling kusukai.
PEREMPUAN: Lelaki
memang selalu menyakiti.
LELAKI TUA: Perempuan juga sama.
PEREMPUAN: Apa
katamu?
LELAKI TUA: Ee…jangan marah dulu. Biar kujelaskan.
PEREMPUAN: Apa?
LELAKI TUA: Ee..maksudku, bukankah dulu kau pernah
menolak aku?
PEREMPUAN: Iya. Lantas?
LELAKI TUA: Sedih dong.
PEREMPUAN: Kecewa gitu?
LELAKI TUA: La, iya dong.
PEREMPUAN: (DIAM)
LELAKI TUA: Masih untung cuma galau doang. Coba
kalau sampai bunuh diri.
PEREMPUAN: (MENDEKATI LELAKI) Maafkan aku ya sayang.
LELAKI TUA: (CUEK)
PEREMPUAN: Tak ada maksudku menyakitimu.
LELAKI TUA: (TETAP CUEK)
PEREMPUAN: Itu kan cuma soal kesesuaian saja…sayang.
Masak sih, orang
secantik aku, dan seksot begini punya pacar..eh..
LELAKI TUA: Sejelek aku, maksudmu!
PEREMPUAN: Lah, iya lah dong..sayang.
LELAKI TUA: (NGAMBEK)
PEREMPUAN: Ya sudahlah. Itu kan dulu. Sekarang sudah
berubah.
LELAKI TUA: Apa yang berubah?
PEREMPUAN: Kamu jauh lebih ganteng dari masa lalumu.
LELAKI TUA: (TERSIPU-SIPU) Masak sih?
PEREMPUAN: Kerentaan ternyata merubah semuanya.
LELAKI TUA: Kamu pun begitu. Lebih cantik dan
menggetarkan.
PEREMPUAN: Itulah tubuh masa lalu dan masa kini.
LELAKI TUA: (MENGGANDENG TANGAN PEREMPUAN) Kau
lihatlah mereka. Tubuhnya membeku dalam hitungan waktu. Keras dan membatu. Kita
pasti meninggalkan mereka. Atau mereka pergi meninggalkan kita.
PEREMPUAN: Kau benar sayang. Mereka menjadi logam
piala untuk dirinya.
LELAKI TUA: Mulailah menyisir kembali rambut
putihmu. Kau tidak terlalu tua dalam waktumu. 100 tahun hanya perjalanan singkat
bagi hidup yg sebenarnya. Bila saja kau ingat epik di pesisir musi, dan
kenangan musim bunga di kotamu. Bahwa kita lebih dulu menyepi dari kekacauan
arus sungai, menjadwal datangnya hujan. Sedangkan matahari terus membakar
kemarahan di atas perahu nelayan.
PEREMPUAN: Itu kesaksian!
LELAKI TUA: Betul.
Syair dari hulu sungai Musi. Kerentaan membuat mereka lemah tak berdaya.
PEREMPUAN: Berubah
menjadi kepasrahan.
LELAKI TUA: Kepasrahan
bukanlah perlawanan.
PEREMPUAN: Mereka
harus bangun dan dibangunkan, sampai masa berakhir.
LELAKI TUA: Jangan menyerah! Kita tak pernah mati
dalam hitungan waktu. Kita tak pernah kalah oleh luka dan keberingasan kota.
Nyanyikan kembali epik terakhirmu. Dan aku siap berteriak sampai seribu tahun!
(TUBUH-TUBUH BERGERAK KEMBALI.
MENJADI INSTALASI MEMBENTUK SEBUAH NEGARA.)
4
(SESEORANG
BERPAKAIAN PERLENTE BERSAMA DUA ORANG)
PEMIMPIN : Pesta
dan keriuhan sudah berakhir. Aku butuh udara segar.
Di
sini terlihat lengang. Tak ada kebisingan.
Ajudan…!
AJUDAN : Siap
tuan!
PEMIMPIN : Coba
pelan-pelan kau buka dan kau bacakan maklumat itu.
AJUDAN : Siap
tuan! (AJUDAN MENGELUARKAN SELEMBAR KERTAS.)
Maklumat
Tuan Besar Pimpinan Tertinggi Negeri.
PEMIMPIN : Huuss…!
Pelan-pelan saja. Hanya aku yang mendengarnya.
AJUDAN : Siap
tuan!
Menyikapi kondisi kegaduhan yang
terjadi akhir-akhir ini, maka saya selaku pimpinan
tertinggi, menganggap perlu
mengeluarkan maklumat untuk…
PEMIMPIN : Huuss….!
(MENDEKATI AJUDAN) Lebih pelan lagi.
AJUDAN : Baik
tuan. Saya lanjutkan.
Selaku pimpinan tertinggi, saya
menganggap perlu mengeluarkan maklumat untuk
menjaga stabilitas pemerintahan,
dan perbedaan yang berkembang di masyarakat.
PEMIMPIN :
(KEMBALI MENDEKATI AJUDAN.) Sedikit lagi.
AJUDAN : (SETENGAH
BERBISIK.) Baik tuan. Saya akan bacakan pelan sekali.
(AJUDAN
KOMAT-KAMIT MEMBACA MAKLUMAT. SUARANYA SAMAR
SEKALI.)
PEMIMPIN : Cukup!
(KEPADA SESEORANG LAGI) Wahai
penasihatku, apakah kau paham maksud
maklumatku itu?
PENASIHAT : Meski
kurang terdengar, tapi saya paham maksudnya, tuan.
PEMIMPIN : Bagus.
Lantas apa pendapatmu?
PENASIHAT : Apakah
sudah dibicarakan dengan ibu?
PEMIMPIN : Oh…sudah
pasti. Bahkan yang menyusun kata per kata itu, stafnya ibu.
PENASIHAT : Bagaimana
dengan masukan yang lain, Tuan?
PEMIMPIN : Sudah
kita tampung. Menjadi bahan pertimbangan kita.
PENASIHAT : Cuma
bahan pertimbangan saja. Begitu, Tuan?
PEMIMPIN : Ya
benar. Memang kenapa?
PENASIHAT : Saya
kuatir saja.
PEMIMPIN : Kuatir
apa?
PENASIHAT : Muncul keributan baru. Karena banyak
yang tidak puas, serta tidak sependapat dengan
maklumat yang akan tuan
sampaikan itu.
PEMIMPIN : Sudah…jangan dipikirkan. Itu biasa.
Pro kontra, setuju dan tidak setuju, itu biasa. Itu
namanya di-na-mi-ka. Negeri
kita sudah maju. Semua boleh berbeda pendapat. Tapi
keputusan tetap di tangan
sang pemimpin. Lagian, pemimpin mana
yang bisa
memuaskan semua orang.
PENASIHAT : Tuan
benar. Tapi apa tidak bertentangan dengan janji dan misi tuan dahulu?
PEMIMPIN : Wahai, Penasihatku yang cerdas. Dunia
ini berkembang cepat. Perubahan kadang-
kadang tak mampu kita perhitungkan. Kondisi
ekonomi, politik, dan sosial, setiap
waktu, bahkan hanya hitungan menit, terus
berubah.
PENASIHAT : Apa Tuan
tak kuatir ditinggalkan mereka.
PEMIMPIN : Mereka?
Siapa mereka?
PENASIHAT : Maksudku
rakyat yang kemarin mendukung Tuan.
PERMIMPIN : Hahahaha…mana mungkin rakyat berpaling.
Mereka tetap di belakang saya
mendukung saya. Kau terlalu banyak membaca media.
Saya tahu. Yang banyak
cakap itu, hanya sebagian kecil orang-orang
mengatasnamakan rakyat. Apalah artinya
mereka itu.
PENASIHAT : (TERLIHAT BINGUNG)
Maksudku,
keputusan-keputusan tuan, banyak yang tidak berpihak kepada mereka.
PEMIMPIN : Sudahlah. Kau terlalu kuatir. Semua
keputusan sudah saya pikirkan secara seksama.
Dengan mempertimbangkan semua
yang berkepentingan di negeri ini.
PENASIHAT : (DIAM)
PERMIMPIN : (MENDEKATI PENASIHAT.) Sudahlah. Kita tak perlu berdebat. (MELIRIK KE
AJUDAN.)
AJUDAN : Siap, Tuan!
PEMIMPIN : Sepertinya dia terlalu lelah. Kau
antarkan dia mencari udara segar yang nyaman baginya.
PENASIHAT : Ah..Tuan tahu aja. Sudah lama saya tak
menghibur diri.
PEMIMPIN : Hahaha…nikmatilah dan hiburlah dirimu,
Penasihat.
(PENASIHAT DAN AJUDAN BERLALU
MENINGGALKAN PERLENTE. TAK
BEBERAPA LAMA TELPON GENGGAM PERLENTE BERBUNYI.)
PEMIMPIN : Ya..siap
bu! Siap! Jam berapa? Siap! Siap ibu!
(TELPON
GENGGAM PERLENTE BERBUNYI LAGI.)
Oke..Mister. Yes..siap Mister!
Siap..siap…siap. Siap Mister.
(KEMBALI
TELPON PERLENTE BERBUNYI.)
Assalamualaikum,
bang. Apa kabarnya? Oh iya bang! Siap bang. Siap, perintah
dilaksanakan.
Waalaikum salam.
(TELPON PERLENTE
BERBUNYI LAGI.)
Selamat malam,
Pak. Siap Pak! Ya saya sudah ditelpon
ibu. Siap Pak! Siap!
(PERLENTE
TERLIHAT BINGUNG. DIA HILIR MUDIK. TELPONNYA
BERBUNYI LAGI. TERUS BERBUNYI…)
Siaaaap…!
Ya, Madem. Siap,
Madem.
Siap Mister!
Lagi kita siapkan. Ya..ya. Siap!
Ya…Siap! Segera
kita umumkan, Pak. Siap!
Siap. Ya kita
upayakan minggu ini, Mister Michael. Siap Mister!
Hallo..bung! apa
kabarnya? Alhamdulillah…baik juga. Ya, bung. Siap bung!
Siaap..ya.
Jangan kuatir, secepatnya kita selesaikan, Pak. Siap Pak!
Siaaap Pak!
(TELPON PERLENTE
TERUS BERBUNYI.)
5
HASMAR : Kita percaya atau mungkin juga
tidak dengan apa yang kita pahami. Seseorang atau dia,
yang diharapkan umat
manusia. Tapi tidak selalu tegak lurus dengan pikiran, perasaan,
dan tindakan.
Kita selalu menunggu. Menunggu harapan dan keinginan. Menunggu
diselamatkan
dari kesengsaraan. Tetapi, menunggu,
membuatku terasing, sepi, marah,
dan mungkin juga mati. Kita selalu percaya,
bahwa seseorang atau dia, akan datang
menepati janjinya. Menemui, dan membebaskan
kita dari derita dan kesengsaraan ini.
(HASMAR MENATAP
SEKITARNYA)
Gedung-gedung
pencakar langit, istana kebanggaan, hutan-hutan beton kota, kantor
pemerintahan, kondominium yang menusuk awan, pasar mewah bertingkat-tingkat,
aku
mencari dirimu. Di sini, aku menunggu dan selalu menunggu kau datang
menemuiku. Di
kampung becek dan kotor ini, kami selalu setia menunggu matahari
terbenam. Menunggu
matahari terbit. Menunggu dan menghitung kereta melintasi
rel kereta api.
Datanglah. Walau
sebentar, kau akan senang. Aku akan bernyanyi dan memainkan
musik kesukaanmu.
Dan kau pasti yakin, aku dan mereka tak akan menagih janjimu.
Kau masih ingat suara kacau piano tua itu.
Aku akan mainkan untukmu.
(HASMAR DUDUK DI
POJOK GEDUNG, SAMBIL MEMAINKAN ALAT
MUSIKNYA. DI SISI LAIN TERLIHAT SANG
PEMIMPIN DAN
ORANG-ORANG TERLIHAT SEDANG BERKUMPUL DAN RAPAT PENTING. )
(SETELAH RAPAT USAI. DAN HASMAR
BERHENTI BERNYANYI.
TERDENGAR.)
LELAKI TUA : Pada kesempatan lain, jutaan orang
berdiri kaku tanpa bicara di pinggiran rel kereta api.
Entah apa yang mereka
tunggu. Dari matahari terbit sampai terbenam. Menunggu
seseorang atau dia, yang
tidak pernah mereka tahu.
PEREMPUAN : Pada kesempatan lain lagi, orang-orang
berteriak-teriak dalam kesunyian. Mereka ingin
merebut matahari dan membidik
bulan. Menunggu detak ke detak jarum jam yang
bergerak. Mereka siap saling
mencakar, menggigit, bahkan memakan sesama mereka.
LELAKI TUA : Hahaha…jaman berubah. Semua ada
kesaksian.
PEREMPUAN : Pada kesempata lain, kau lihat segerombolan
orang-orang berdiri perkasa menghadang
laju kereta. Sambil berpuisi kata-kata
di terik matahari. Mereka berkumpul, diskusi
dalam gelap. Menjadikan malam
menggeliat. Tetapi, mereka juga menunggu seseorang
yang mereka tidak tahu.
LELAKI TUA : Hahaha…Sebuah pemandangan yang
menyenangkan.
PEREMPUAN : Kadang mereka menangis. Kadang tertawa
terpingkal-pingkal. Kadang marah dan
membentak. Tapi mereka bilang, ini bukan
politik. Kami tidak berpolitik. Ini persoalan
rakyat dan pemimpinnya.
LELAKI TUA : (KEMBALI TERTAWA) Pandai juga mereka.
HASMAR : Siapa kalian?
LELAKI TUA : (TERUS TERTAWA.)
HASMAR : (MENDEKATI) Maaf, siapa kalian?
PEREMPUAN : (KE LELAKI TUA) Hei! Hentikan tertawamu.
Dasar lelaki tua yang tak tahu diri.
LELAKI TUA : Baik…baik. Aku akan berhenti tertawa,
wahai perempuanku.
PEREMPUAN : (KE ARAH HASMAR) Kami adalah sang waktu.
HASMAR : Apakah kau mendengar suara
musikku?
Apakah kalian
yang mereka tunggu?
PEREMPUAN : Apakah kau dan mereka menunggu seseorang?
LELAKI TUA : Akh…terlalu bertele-tele. Kau jawab
saja, iya. Kamilah yang kalian tunggu. Atau kami
sengaja datang menemui kalian.
Atau kalimat lainnya, kami mendengar kalian
memanggil, makanya kami datang.
PEREMPUAN : Akh itu lebih bertele-tele lagi.
HASMAR : Saya adalah warga di sini. Nama
saya, Hasmar.
PEREMPUAN : Kau punya keluarga?
HASMAR : Dulu iya. Sekarang tidak lagi.
PEREMPUAN : Oh..maafkan aku. Kau bekerja dimana?
LELAKI TUA : Hemm..pertanyaanmu terlalu pribadi.
PEREMPUAN : Kau tadi bilang, menunggu seseorang. Siapa
itu?
HASMAR : Seorang sahabat.
PEREMPUAN : Seorang
sahabat? Kau tak keberatan menceritakan
siapa dia?
LELAKI TUA : Terlalu masuk ke urusan pribadi orang.
Tak pantas!
HASMAR (KEPADA LELAKI TUA) OH..Tidak
apa-apa. Aku tak keberatan. Dia adalah
seseorang yang kami tunggu. Kami yakin
dia akan datang dan merubah segalanya.
LELAKI TUA : Merubah segalanya?
HASMAR : Begitulah janjinya. Dan kami
meyakini itu.
LELAKI TUA : Hahahaha….
HASMAR : Maaf, kenapa tertawa?
LELAKI TUA : Hahahaha….Anak muda selalu yakin dengan
yang dinamakan: Janji. Tapi tak mau
menerima kekecewaan. Kau tak ubahnya seperti warga di sini. Selalu
setia menjaga
kampungnya meski semakin sesak, bau, dan kotor.
HASMAR : Aku tak mengerti maksud, kakek?
LELAKI TUA : Kau memanggilku kakek? Tak apalah. Mungkin
karena melihat tubuhku. Kita baru saja
bertemu. Kau belum mengenal aku.
PEREMPUAN : Itu panggilan santun untuk menghormati
orang. Kau saja terlalu perasa.
LELAKI TUA : Baiklah. Kami memang sudah tua, reot,
dan renta. Kami adalah masa lalu.
Apalagi dia
(KEPADA PEREMPUAN) Sungguh-sungguh tak berguna.
PEREMPUAN : Hentikan bacotmu, kakek peot!
HASMAR : Eeh…Maaf…maaf. Aku telah membuat
kalian menjadi tak akur.
PEREMPUAN : Dia yang memulai!
LELAKI TUA : Dia yang memulai!
PEREMPUAN : Kamu yang memancing emosiku!
LELAKI TUA : Kamu yang memancing emosiku!
PEREMPUAN : Maumu apa?
LELAKI TUA : Maumu apa?
HASMAR : Hentikan…hentikan! Aku mohon.
Kalian belum menjelaskan kedatangan kalian.
PEREMPUAN : Dasar orang tua tak tahu diri!
LELAKI TUA : Dasar perempuan bodoh!
PEREMPUAN : Lelaki
bego!
LELAKI TUA : Apa,
kau bilang aku bego?
HASMAR : Berhenti…berhentilah
bertengkar.
Ayo,
kalian belum menjelaskan siapa kalian.
Kami
menunggu seseorang. Tolong jelaskan!
Berhentilah
bertengkar…
(KEDUANYA TAK MENGUBRIS HASMAR.
MEREKA TERUS PERANG
MULUT, SALING MENGEJAR. HASMAR BERUSAHA MELERAI. AKHIRNYA
KEDUANYA KELELAHAN SENDIRI.)
LELAKI TUA : Kita terlalu tua untuk bertengkar.
Otot-ototku sudah tak kuat…
HASMAR : Redahkan kemarahan kalian.
PEREMPUAN : Perempuan memang selalu disakiti...
LELAKI TUA : Begitu
pun lelaki. Tak pernah dihargai…
HASMAR : Kalian
sebetulnya terlihat saling menyayangi.
LELAKI TUA : Kau
benar. Aku sangat menyayanginya. Tapi dia masa bodoh.
PEREMPUAN : Kau
benar. Aku begitu menyayanginya. Tapi dia masa bodoh.
LELAKI TUA : Aku
sangat mencintainya. Tapi dia tak mau tahu.
PEREMPUAN : Aku juga.
Sangat mencintainya. Tapi dia tak mau mengerti.
HASMAR : Apa
yang kuduga benar. Kalian saling menyayangi. Saling mencintai.
LELAKI TUA : (MENATAP
PEREMPUAN DAN MERAPATKAN JARAK DI ANTARA
MEREKA.)
HASMAR : Mulailah
berbaikan. Saling merangkul. Bukankah kalian saling mencintai?
LELAKI TUA : Anak muda berhentilah bertanya siapa
kami. Kami bukan yang kalian tunggu.
Kami tak pernah bisa menjelaskan apa yang
ada di pikiranmu.
PEREMPUAN : Betul. Kami bukan siapa-siapa. Kami
hanyalah masa lalu. Setiap jaman ada kesaksian.
Kami ingin menikmati sesaat
lalu pergi. Di sini memang tak senyaman sebelumnya.
Tetapi masih lebih baik.
HASMAR : Tetapi kalian perlu menjelaskan
kepadaku apa yang salah?
LELAKI TUA : Berhentilah bertanya dan berkomentar. Sebaiknya
hening untuk berpikir. Menutup mata
untuk merasakan. Dan menggenggam tangan
untuk kepastian. Tubuhmu masih kuat
untuk berbuat. Rebahkanlah dalam mimpi dan
keyakinan-keyakinan.
PEREMPUAN : (REBAH DI PANGKUAN LELAKI TUA) Hasmar, tinggalkan
kami. Kami ingin
menikmati sesaat lalu pergi.
HASMAR : Baik….baik.
Aku pergi.
6
SUKMA : Malam terbalik tetaplah malam.
Tidak seperti jarum jam, yang terbalik berputarnya. Ini
bukan sejarah cuaca dan
waktu. Semua orang sudah tidak tahu dirinya sendiri. Mereka
menolak
ditaklukkan, tetapi takut berperang.
HASMAR : Ah..kau. Kau sudah lebih dulu
tiba.
SUKMA : Lelaki penakut.
HASMAR : Maaf aku terlambat tiba.
SUKMA : Selalu kau ulang-ulang kalimat
itu.
HASMAR : Kau pasti kesal menunggu.
SUKMA : Lelaki macam apa kau.
HASMAR : Maafkan aku. Tadi di jalan aku
bertemu sepasang orang tua. Mereka banyak menyita
waktuku.
SUKMA : Aku tak mau tahu alasan itu.
Ini soal kesepakatan yang kau buat sendiri.
HASMAR : Ya. Aku paham.
SUKMA : Lantas?
HASMAR : Kau pasti marah.
SUKMA : Cuma itu?
HASMAR : Sudahlah. Jangan terlalu
menyudutkan. Aku tahu aku salah. Ini kan hanya persoalan
waktu kedatangan saja.
SUKMA : Bukan soal keterlambatanmu yang
aku persoalkan. Tapi siasat di balik itu.
HASMAR : Kau bilang apa? Aku bersiasat?
SUKMA : Hasmar! Sudah cukup! Aku mulai
mengerti siapa kamu.
HASMAR : Sukma, kau dengar dulu. Apa yang
kita lakukan sekarang ini adalah bagian dari
proses. Semua harus dilakukan
hati-hati dan tidak segampang membalik telapak
tangan. Bukan hanya kamu dan
mereka yang kesal dan tak sabar menyikapi kondisi
yang berlarut-larut ini. Aku
juga begitu. Kita terus bergerak. Terus berbuat.
SUKMA : Lalu apa hasilnya? Semakin
kacau. Semakin tak jelas!
HASMAR : Itu kesimpulanmu.
SUKMA : Itu kenyataan.
HASMAR : Kenyataan pasti selalu berubah.
SUKMA : Kau menunggu telur pecah. Dasar
pengecut!
HASMAR : Kau tidak belajar dari sejarah.
Tidak semua orang-orang pemberani dapat
menyelesaikan masalah. Meski pun
keberanian itu perlu dalam menyelesaikan
masalah.
SUKMA : Bicaramu mulai berputar-putar.
HASMAR : Persoalan sekarang ini, kita
berada di posisi menunggu. Sabarlah. Kita tunggu
bagaimana kelanjutannya. Baru
kita mengambil sikap.
SUKMA : Jadi itu, yang membuatmu
terlambat tiba di sini. Kau takut diminta menandatangani
kesepakatan itu. Bukankah kau sendiri yang menawarkan itu.
Kenapa berubah sikap?
HASMAR : Situasi tidak memungkinkan. Aku
tak ingin kita dimanfaatkan orang-orang yang punya
kepentingan. Semakin
menambah kegaduhan.
SUKMA : Situasi apa yang menurutmu tidak
memungkinkan? Kau jangan mengaburkan
momentum. Harga-harga kebutuhan
sehari-hari semakin melonjak. Kemiskinan terus
bertambah. Pengangguran terus
membludak. Krisis dimana-mana. Korupsi semakin
melebarkan sayapnya. Kekayaan
negeri dirampok. Penegak hukum semakin bobrok.
Menunggu apa
lagi? Sabar apa lagi?
HASMAR : Kita beri kesempatan pemimpin kita
bekerja, menyelesaikan masalah itu.
SUKMA : Kau yakin pemimpin kita dapat
menyelesaikannya? Bukankah kondisi itu terjadi
karena kebijakan yang dibuatnya
sendiri?
HASMAR : Aku tidak melihat masalahnya
sesederhana itu.
SUKMA : Hahahaha…Hasmar, ayolah buka
matamu! Sadarlah. Bulan madu sudah usai. Kau
selalu bicara kebenaran, tetapi
kompromi dengan kebohongan.
HASMAR : Kau terlalu cepat menilai. Masalah
yang terjadi saat ini, sudah terjadi sebelumnya.
Penyelesaiannya juga perlu
proses dan bertahap. Siapa pun pemimpinnya, tentu tak
mudah keluar dari krisis
ini. Kita masih punya waktu untuk menunggu. Sampai
batasnya nanti, kalau tetap
saja. Kita baru bersikap. Bukankah itu lebih bijak dari
menghujat.
SUKMA : (MENATAP SEKSAMA KE HASMAR.)
HASMAR : Aku yakin. Sampai waktunya nanti,
rakyat pun akan bergerak. Pasti bergerak.
SUKMA : (MASIH MENATAP HASMAR.)
HASMAR : Bukankah itu yang selama ini kita
inginkan?
SUKMA : (MENDEKAT KE HASMAR. MATANYA TAK
BERKEDIP MENATAP
HASMAR.)
HASMAR : Rakyat….ya, kekuatan rakyat.
SUKMA : Kau mengecewakan aku, Hasmar.
HASMAR : Aku hanya mengingatkan tentang
kesabaran.
SUKMA : Kita sudah jauh melangkah.
HASMAR : Ya.
Sangat jauh sekali. Tinggal menunggu waktu.
SUKMA : Aku letih. Sudah tak kuat
menunggu.
HASMAR : Aku menghargai itu.
SUKMA : (BERBALIK BADAN MENATAP
GEDUNG-GEDUNG KOTA.)
Malam semakin malam. Jam dinding
tidak terbalik berputarnya. Kesendirian dan
kesepian siapa, selain aku. Biarkan
satu persatu mereka pergi meninggalkan aku.
Jangan halangi. Itu pilihan. Kita
bertahan dan pergi karena pilihan.
Maafkan aku, Hasmar. Aku terlalu
berharap kepadamu.
Ternyata aku salah.
HASMAR : Kehidupan memang unik. Kadang aku
berpikir apakah ada yang lebih unik dari itu.
Semua orang merencanakan
kehidupan dirinya. Mereka bergaul dan berkumpul.
Sewaktu-waktu juga berpisah. Mereka
berjalan sendiri-sendiri. Kadang berjauhan
kadang bersama-sama. Seperti rel
kereta. Dan mereka tahu, ingin secepatnya tiba di
stasion.
SUKMA : Kita berseberangan.
HASMAR : Tapi tetap satu tujuan.
SUKMA : Kau bersiasat, Hasmar.
HASMAR : Mengapa kau tak selembut dan
sebijak sebelumnya?
SUKMA : Lembut dan bijak, ternyata tidak
merubah keadaan.
HASMAR : Kau begitu keras dan meyakini
pikiranmu.
SUKMA : Pulanglah ka ke kampungmu! Temui
mereka, dan katakana bahwa kita harus sabar!
Sabar! Kesulitan akan ada jalan keluarnya, kalau kita
sabar. Berpidatolah kau tentang
sebuah proses. Segala keinginan dan mimpi-mimpi
kampungmu akan terwujud. Hanya
butuh kesabaran untuk menunggu!
HASMAR : (DIAM.)
SUKMA : Dan jangan lupa pula, katakana
kepada mereka. Aku perempuan yang keras kepala
dan tak bisa mengerti dengan
kenyataan yang sedang terjadi!
: Maaf Hasmar. Aku
harus pergi!
HASMAR : (TERTEGUN SEUSAI SUKMA YANG PERGI
MENINGGALKANNYA. TAK
LAMA, PEREMPUAN DAN
LELAKI TUA MENDATANGINYA.)
LELAKI TUA : Hahahaha….Perempuan memang seperti itu.
Sulit diduga.
Maaf, kalau tadi kami mengusirmu.
Tapi ‘kan benar, hanya sesaat saja.
PEREMPUAN : Perempuan selalu dijadikan biang masalah
lelaki.
LELAKI TUA : Tidak selalu begitu.
PEREMPUAN : Selalu harus mengerti keinginan lelaki.
LELAKI TUA : Tidak selalu begitu.
PEREMPUAN : Harus melayani semua maunya lelaki.
LELAKI TUA : Tidak selalu! Buktinya, kau
menikmatinya juga.
PEREMPUAN : Jangan
besar rasa kamu!
LELAKI TUA : Bahkan kau yang memulai..hemm.
PEREMPUAN : Lelaki selalu mencari pembenaran atas
keinginannya.
LELAKI TUA : (KEPADA HASMAR.)
Anak muda, tidak
selalu sesuatu yang kita inginkan berjalan semestinya. Itulah liku-liku perjuangan. Tadi kau bicara tentang menunggu.
Dan kau yakini seseorang atau apalah
namanya, pasti akan datang menemuimu.
HASMAR : Pak tua, cara bicaramu tidak terlihat
seperti sebelumnya.
LELAKI TUA : (MELIRIK PEREMPUAN.)
Oh..tentu saja. Aku agak sedikit
segar. Sejak kau tinggalkan sesaat.
PEREMPUAN : Jangan kau gubris omongan kakek peot ini.
LELAKI TUA : Hahahaha…begitu cepatnya kau berubah.
HASMAR : Pak tua, aku masih yakin dengan
kesabaran.
LELAKI TUA : Aku paham. Kesabaran, doa, dan
harapan…Kata-kata bijak itulah yang selama ini
menipu kita. Kata-kata itu juga
yang membuat bangsamu menjadi bangsa pengecut!
Tak punya nyalih. Penurut dan
gampang dikibulin.
HASMAR : Apa maksud bapak bicara begitu?
LELAKI TUA : Hahahaha….Kesabaranlah yang membuat
kalian jadi penjilat, maling, korup, rakus
kekuasaan, rakus jabatan. Kesabaran
itu juga yang membuat para cerdik pandai di
negerimu berubah menjadi pelacur. Menjual belikan ilmu yang
dimilikinya.
HASMAR : Pak tua, mengapa kau bicara
sekasar itu?
PEREMPUAN : Tak usah kau gubris omongannya.
LELAKI TUA : Kesabaran membuat kalian bodoh.
HASMAR : Agama, mengajarkan kami tentang
kesabaran.
LELAKI TUA : Betul. Dan kamu berharap dengan
doa-doamu agar Tuhan mengabulkan apa maumu?
HASMAR : Sebagai hambanya, itulah yang bisa
kitas pasrahkan.
LELAKI TUA : Cuma itu? Pasrah dan tawakal?
HASMAR : Juga bekerja dan berbuat.
LELAKI TUA : Apa yang sudah kau perbuat?
HASMAR : Mengabarkan nilai-nilai kebaikan.
LELAKI TUA : Hanya mengabarkan saja?
HASMAR : Juga memperjuangkannya.
LELAKI TUA : Lantas apa hasilnya? Apakah semua sudah
berubah menjadi baik?
HASMAR : Aku pikir itu proses. Tidak serta
merta.
LELAKI TUA : Kau masih percaya dengan proses?
HASMAR : Aku punya Tuhan. Tidak ada sesuatu
di muka bumi ini, tiba-tiba ada.
PEREMPUAN : (KEPADA LELAKI TUA.) Hei, orang tua! Dia
bukan atheis seperti dirimu?
LELAKI TUA : (KEPADA PEREMPUAN.) Apa hubungannya?
Aku bertanya tidak dalam kontek itu.
(KEPADA HASMAR.)
Kau mengabarkan kebaikan. Tetapi tidak memerangi
keburukan. Kau inginkan semua
berubah baik. Tetapi kau masa bodoh dengan
keburukan. Aku tidak paham
apa yang kau perjuangkan, anak muda.
HASMAR : Baiklah, Pak Tua. Aku akan
jelaskan. (HASMAR MENGELUARKAN
SELEMBAR KERTAS. LALU MEMBERIKANNYA KEPADA LELAKI TUA.)
Ini, kau bacalah
tulisannya.
LELAKI TUA : (LELAKI TUA LALU MEMBUKA KERTAS DAN
MEMBACANYA.
PEREMPUAN MENDEKAT, MAU TAHU JUGA APA ISI TULISAN DI
KERTAS ITU. LELAKI
TUA SEDIKIT MENGHINDAR. BEBERAPA SAAT DIA
LALU MEMBERIKAN KERTAS ITU KEPADA
PEREMPUAN.)
Ini! Ambil dan kau
baca sendiri!
SELANJUTNYA….