Jumat, 24 April 2015
Selasa, 14 April 2015
Sastra Tutur Rambang-Prabumule
"jage mulut, sebab mulut atula ye pacak ngajungkan tubo derake."
"jadi pikirkan masak2 nian sebelum ngeluahkan rawatan."
Demikian kutipan slah satu ungkapan kalimat pada pementasan "Kunci Bhatin", sebuah visualisasi sastra tutur etnik Marge Rambang Prabumule, Sumsel, di Gedung Kesenian Jakabaring, Palembang, 11 dan 12 April 2015. Sumatera Selatan memiliki cukup banyak sastra tutur dari berbagai etnis dari tiga tongak budaya masyarakat Pasmah, Komering, dan Palembang. Sastra tutur tersebut berupa guritan, senjang, jelihim, tadut, dan lain-lain. Pentas yang dimotori Yos Ilyas (seniman teater) ini, membuka cakrawala baru sebuah diksi sastra masyarakat Rambang, Prabumulih, yang selama ini belum begitu dikenal oleh masyarakat Sumsel sendiri.
Pementasan ini menurut Yos, selain mengenalkan sastra tutur dan tradisi budaya masyarakat Rambang, juga bertujuan memotivasi anak-anak muda khususnya asal marga Rambang sendiri agar lebih memahami karya-karya sastra dan budaya kampung kelahirannya.
"Yang aku fikir sekarang adalah memotivasi adik-adik dulu untuk memahami dan mencintai sastra tutur, semacam regenerasilah begitu, " ujar Yos, yang berencana akan mementasakan guritan, senjang, dan tadut.**
Yos Ilyas (Rie Sigit Tadim) |
"jadi pikirkan masak2 nian sebelum ngeluahkan rawatan."
Demikian kutipan slah satu ungkapan kalimat pada pementasan "Kunci Bhatin", sebuah visualisasi sastra tutur etnik Marge Rambang Prabumule, Sumsel, di Gedung Kesenian Jakabaring, Palembang, 11 dan 12 April 2015. Sumatera Selatan memiliki cukup banyak sastra tutur dari berbagai etnis dari tiga tongak budaya masyarakat Pasmah, Komering, dan Palembang. Sastra tutur tersebut berupa guritan, senjang, jelihim, tadut, dan lain-lain. Pentas yang dimotori Yos Ilyas (seniman teater) ini, membuka cakrawala baru sebuah diksi sastra masyarakat Rambang, Prabumulih, yang selama ini belum begitu dikenal oleh masyarakat Sumsel sendiri.
Pementasan ini menurut Yos, selain mengenalkan sastra tutur dan tradisi budaya masyarakat Rambang, juga bertujuan memotivasi anak-anak muda khususnya asal marga Rambang sendiri agar lebih memahami karya-karya sastra dan budaya kampung kelahirannya.
"Yang aku fikir sekarang adalah memotivasi adik-adik dulu untuk memahami dan mencintai sastra tutur, semacam regenerasilah begitu, " ujar Yos, yang berencana akan mementasakan guritan, senjang, dan tadut.**
KUNCI BATHIN, pentas sastra tutur Rambang di Gedung Kesenian Jakabaring Palembang, 11-12 April 2015. |
Senin, 13 April 2015
Iwan Simatupang dan Mochtar Lubis
TEGAK LURUS DENGAN LANGIT
TEGAK LURUS dengan langit. ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanyanya bulan sabit sebelum fajar. Di kakinya tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang.
Prolog cerpen "Tegak Lurus Dengan Langit" ini, mengingatkanku kembali pada sikap penulisnya, Iwan Simatupang.
Kuingat juga naskah dramanya "Bulan Bujur Sangkar". Aku baca "Ziara". Aku baca "Merahnya Merah", juga "Surat-Surat Politik untuk B. Sularto". Iwan adalah salah satu sosok yang menginspirasi semangat awalku menulis sastra. Malam ini tiba-tiba aku kangen karya sastra juga essainya. Aku kangen dengan buku-buku tua yang banyak membimbing dan memandu langkah awalku menuju jalan yang benar-benar "Tegak Lurus Dengan Langit".
Berdekatan dengan karya Iwan Simatupang, aku juga membuka buku Mochtar Lubis. "Harimau, Harimau!", "Senja di Jakarta", "Jalan Tak Ada Ujung", ketiga novelnya itu menggambarkan karakter dan gaya penulisannya. Sebagai jurnalis dan sastrawan ia memiliki komitmen terhadap kebebasan pers. Mochtar dan Harian Indonesia Raya-nya sempat menjadi pesakitan oleh rezim Orla dan Orba, karena karya-karya jurnalistiknya. Masa Soekarno, korannya dibredel dan ia dipenjara karena pemberitaan kasus korupsi di Percetakan Negara yang melibatkan sejumlah pejabat termasuk Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani. Selain itu, berbagai tulisannya yang banyak mengeritik kebijakan Presiden Soekarno.
Masa Soeharto, setelah diijinkan terbit lagi (1968), Harian Indonesia Raya kembali membongkar kasus korupsi Pertamina yang melibatkan Direktur Pertamina Letnan Jenderal Ibnu Soetowo. Baru setelah perisitiwa Malari 1978, Harian Indonesia Raya dan beberapa koran lain, dibredel. Mochtar sempat ditahan selama dua bulan.
Dua tokoh dari tanah melayu ini begitu mengagumkanku. Meski sekali pun aku tak pernah bertemu dengan mereka. Karya-karyanya memberikan energi dan spirit yang luar biasa. Dan sampai hari ini aku tak bisa melepaskan ledakan-ledakan kata yang begitu tajam, tegas, dan argumentatif. Keduanya sangat antusias terhadap sesuatu cause seperti ekologi, demokrasi, keadilan, dan hukum.
Pada peringatan HUT ke-80 Mochtar Lubis, 9 Maret 2002, Dr. Mochtar Pabotinggi dari LIPI sempat menjuluki Mochtar Lubis sebagai "person of character", insan yang berwatak.
Mataku mulai terbuka dan tahu kalau keduanya adalah intelektual sejati. Bukan intelektual yang plintat-plintut yg kala itu bermunculan dari kampus-kampus perguruan tinggi. Mataku juga mulai bisa membedakan warna-warni perilaku seniman, sastrawan, dan penulis atau wartawan dalam bingkai pikir keduanya. Betul yang dikatakan Mochtar Pabotinggi, di negeri kita sekarang ini, semakin langka menemukan "person of character" seperti Iwan dan Moctar. Keduanya mengajari kita bahwa begitu utamanya sebuah sikap dalam bersastra.
Apabila ayam pertama berkokok nanti, senyum lebar kembang di wajahnya. senyum yang sangat membebaskan. Tegaknya ia hadapkan pada matahari bakal terbit, tegak lurus dengan langit. Demikian Iwan menutup "Tegak Lurus Dengan Langit", sebuah cerita yang kental dengan diksi kerakyatan. *** (Conie Sema)
Rabu, 08 April 2015
Bruce Dickinson - Tears Of The Dragon
- Air mata adalah jiwa. Air mata adalah kita.
- Siapa pun yang hidup. Menangislah.
- Karena kita masih memiliki jiwa.
Newsletter Rakyat
Tionghoa
by Conie Sema
by Conie Sema
ZHONGHUA merupakan transliterasi dari diksi Tionghoa.
Artinya “Negeri di Tengah”. Namun, karena Orde Baru mencurigai aktivis Tionghoa
kiri terlibat dan mendukung Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis
Indonesia, maka kata tersebut dipinggirkan, lalu diganti Cina.
Disingkirkannya kata Tionghoa ternyata juga diikuti
“peminggiran” manusianya. Tindakan Orde Baru itu mereproduksi apa yang telah
dilakukan pemerintah Belanda di nusantara ini.
Cina yang secara etimologi berasal dari kata Qin – sebuah dinasti yang berhasil
mempersatukan daratan Tiongkok pada 221 Sebelum Masehi – kemudian menjadi diksi
ampuh bagi pemerintahan Orde Baru untuk mengekploitasi rakyat dan alam.
Jenderal Besar Soeharto melalui Cina mampu mengendalikan
kepentingan ekonomi dirinya dan keluarganya. Cina diberi kemudahan untuk
melakukan bisnis, tapi di sisi lain mereka harus memberikan “pajak” besar
kepada Soeharto dan keluarga, serta kawan-kawan seperjuangannya.
Sangat cerdas. Sebab saat konflik sosial akibat persoalan
ekonomi, Cina yang pertama dihadapkan pada rakyat. Rakyat lalu marah kepada
Cina. Ujaran-ujaran rasial bermunculan seperti, “Cina Kebun”, “Cina Kulup”, atau “Cina Loleng”. Konkretnya peristiwa kerusuhan Mei tahun lalu.
Kini Jenderal Besar Soeharto sudah pulang ke rumahnya. Tidak
lagi pergi sebagai raja. Namun, rakyat tetap melihat Zhonghua sebagai Cina,
sehingga hak politik mereka tetap terpinggirkan. Bahkan, tragisnya, sebagian
dari mereka merasa ditakdirkan menjadi Cina.
Ini tidak adil. Sebab di antara kita ada jutaan Zhonghua
hidup dalam kemiskinan; menanam sayur dengan tanah seluas 20 meter persegi
untuk menghidupi keluarga besarnya, atau bertahun-tahun membuat makanan tahu
tanpa pernah menikmati film di layar lebar.
Ini juga tidak fair. Sejarah
menunjukkan bahwa Zhonghua-lah yang telah mengajarkan kita berdagang, membangun
rumah yang indah, serta berperang. Mereka yang pertama kali mengajarkan
sebagian besar agama yang kemudian berkembang di negeri ini.
Cobalah berkaca: Kita adalah Mongoloid; berkulit kuning atau
coklat, berhidung rendah, serta berbola mata hitam atau coklat tua. Artinya,
kita adalah Kunming yang bernama Komering, Palembang yang bernama Taiwan, atau
Vietnam yang bernama Menggala. Sama saja. Mongoloid.
Seperti kata Stanley Prasetyo Adi, aktivis pers, kita
menjadi Indonesia, Malaysia, atau Brunei karena proses kekuasaan dan penaklukan
yang kemudian terkotak dalam negara ketimbang persamaan ras sebagai identitas.
“Saya mencari Cina.
Saya Tionghoa,” kata T. Wijaya dalam sajaknya “Teng! Teng! Teng! Saya
Mencari Cina”, sebuah catatan dari peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Minoritas itu
tidak ada. Mari bersama kita ke tengah.***
CONIE SEMA
Newsletter Rakyat,
Januari 2000
Langganan:
Postingan (Atom)