Kamis, 21 Juli 2016

Esai


Deng 
Oleh Conie Sema

Lelaki bertubuh pendek itu baru saja menulis sajak pendek di bungalow kecil pesisir pantai Zhuhai, Provinsi Guangdong. Ia kembali menghidupkan sebatang cohiba esplendido, cerutu favoritnya, sembari menuangkan wiskey ke gelasnya. Ia menatap jauh ke laut. Menatap samar Pulau Hongkong di sebelah Timur, dan Macau sebelah Selatan.

Deng Xiaoping sore itu berada di salah satu dari lima zona ekonomi khusus China. Dari jendela bungalow, lelaki Marxis-Leninis ini terlihat berdiri tegap seakan sedang memimpin upacara militer. "Komunisme bukan kemelaratan," bisiknya sembari menghembuskan asap cerutu. "Komunisme adalah kemakmuran dan kesejahteraan!" tegasnya.

Mao Zedong dan Deng Xiaoping
Deng pernah menjadi pengikut Mao Zedong yang setia. Dalam pergumulan internal Partai Komunis China (PKC), Deng selalu tampil sebagai orang yang menjunjung pendapat Mao. Ketika Mao mencuat kembali, Deng juga ikut berkuasa. Sampai 1950-an, Deng masih menyokong kebijaksanaan Mao dalam pembentukan komune. Tetapi setelah kegagalan kebijaksanaan Mao pada awal 1960-an, barulah ia kritis terhadap Mao. Akibatnya, Deng bersama Liu Shaoqi dicap sebagai "revisionis" dan kemudian digeser. Namun setiap kali Deng digeser, setiap kali pula ia muncul kembali.

Pengalaman Deng paling pahit adalah ketika Revolusi Kebudayaan. Ia dicopot, dihina, dan dibuang. Setelah Deng menyingkirkan Kelompok Empat (empat tokoh loyalis Mao, Jian Qing, Wang Hongwen, Yao Wenyuan, dan Zhang Chungqiao) dari PKC, ia mulai melakukan Empat Modernisasi. Ia membuang pendekatan komunis yang ortodoks, yang mengutamakan ideologi dan insentif moral, dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih liberal, yaitu mengutamakan pragmatisme dan insentif materi.

Meskipun demikian, mula-mula Deng tetap memakai embel-embel Mao untuk menaklukkan musuhnya. Kemudian Deng mulai mengadakan demitosasi Mao. Deng Xiaoping sangat tidak menyukai kultus individu seperti Mao Zedong. Deng Xiaoping melarang penjualan dan pemasangan poster dirinya di tempat-tempat umum. Ia pun melarang penerbitan buku biografi tentang dirinya, interview antara pers dengan dirinya, dan pemuatan artikel tentang dirinya di surat kabar secara terus menerus.

Deng mengatakan, terbelakangnya Ch
ina karena ajaran Mao yang salah. Ia ingin membangun China dengan membuka pintu kepada Barat dan Jepang. Membuka bidang ekonomi tidak cukup, ia juga ingin membuka bidang politik secara berangsur-angsur. Ia menunjuk Zhao Ziyang yang liberal (yang suka pakai jas dan main golf), untuk mengambil pucuk pimpinan Partai, dan ditugasi menjalankan program modernisasi.

Di bawah ajaran Deng, rakyat berbagai etnis Tiongkok aktif berpartisipasi dalam praktek besar reformasi dan pembangunan modernisasi sosialis, memajukan terus usaha pembangkitan bangsa, dan mencapai prestasi yang menakjubkan.

Deng seorang komunis tulen seperti juga Mao dan tokoh-tokoh lainnya di China. Tetapi berbeda dengan “sang ketua” Mao, Deng tidak menganggap politik sebagai panglima. Bagi Deng, barangkali, pandangan politik haruslah komunis, tetapi ekonomi tidak harus. Sebab tujuan pembangunan ekonomi China adalah kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tidak peduli apakah untuk itu ditempuh “jalan kapitalis”. Ada ungkapan terkenal dari Deng yang sering disitir jika orang menulis tentang dirinya. “Tidaklah penting apakah kucing itu berwarna hitam atau putih. Sejauh kucing itu mampu menangkap tikus, itulah kucing yang baik.” Konon Ketua Mao marah besar ketika mendengar itu.

Bisa saja Deng dianggap tidak sepenuhnya memeluk ideologi komunis. Menjadi komunis tentu tidak boleh setengah hati. Komunis dalam politik, juga komunis dalam ekonomi. Mungkin itulah yang dikehendaki Mao. Tapi rupanya Deng tidak peduli, sebab bagi Deng, kata seorang penulis “komunisme bukan kemelaratan”. Dan terbukti pada akhirnya Deng-lah yang benar. Bahkan ada yang mengatakan mungkin ini agak berlebihan bahwa Deng sukses dibanding Mao. Dalam hal ekonomi tentu. Sekali pun ia pernah diejek dengan kata-kata sinis sebagai “penempuh jalan kapitalis.” Namun jalan itulah yang juga ditempuh para ekonom China dewasa ini.

Deng sudah lama pergi. Tetapi jejaknya semakin menebar di seluruh pojok tanah Tiongkok. Udara, laut, sungai, dan matahari, serta makanan rakyat Tiongkok hari ini masih bergambar Deng. Lelaki pendek dari Guang'an, Shicuan itu telah menuliskan Dong Fang Hong, Naga Raksasa menggeliat di ufuk Timur, ke dalam sajaknya.

Dari Sungai Yangtse aku mencoba mengingat sebuah dongeng Tiongkok kuno, tentang kakek pandir memindahkan gunung. Tentu saja ia bukanlah tokoh Sisifus dari mitologi Yunani. Sang kakek pandir itu tidak absurd. Ia telah bekerja keras dan tak kenal menyerah. Ia telah mendaki dan memindahkan gunung itu menjadi jalan kereta api menghubungkan Provinsi Qing Hai ke puncak kaki langit, Tibet.

Dari sungai Yangtse aku teringat kotaku yang dibelah sungai Musi. Aku juga teringat bumi nusantara yang kaya dengan gunung, sungai, laut, kekayaan alam, serta budayanya. Kami juga memiliki banyak dongeng dan legenda. Hanya Deng, yang kami belum punya.***