Selasa, 01 Maret 2022

KEKALAHAN SUNGAI

 

 

 Puisi Conie Sema

 

KEKALAHAN SUNGAI

 

hikayat sungai-sungai kembali dituturkan

mengantar mata angin ke ujung lampau

aku hidup di udara dari hulu tanah ulayat

pada pertemuan muara melewati sejarah

batu-batu menata kubur di kaki lembah

 

humus-humus pun jatuh menyangga musim

pada ruas cuaca sepanjang gugusan sawit

kaulewati, semua berdiam semua menunggu

tiba di tikungan angin di kelokan hutan basah

ketika segala harapan direbahkan

 

tanah luka, lenyap. lenyaplah amarah

di talang-talang ladang penghidupan

ketika kelopak bunga-bunga sawit

gagal menjadi buah ketika kecemasan

datang menyerap hara, tanah dan udara

seluas pandang sejauh musim kautanam

kedatangan yang tak pernah singgah


sungai adalah kekalahan muara 

menjaga arus hulu ke hilir ketika

pucuk-pucuk gala menyeling biji-biji 

pohon di lahan mineral setiap kemarau 

begitu setia membakar dirinya

 

2022

Selasa, 21 Desember 2021

REMINDER - CONIE SEMA

Foto: Yudi Semai, Awang 5334 Celcius-Teater Potlot (2018)


R E M I N D E R
Puisi Conie Sema

di genggamanku sore tak kudapati bagi kenangan 
dalam detak waktu semakin mengecil. keabadian. 
keniscayaan. aku menemuimu pada arus tak terbaca. 
mata pesisir. malam berangkat. dermaga pupus. sulit 
bagiku menyebutmu dari bibir pantai semakin jauh. 
kerakal dan kaki-kaki tua terbalut pasir. derai musim. 
stigi tegak menyadik langit. laut lepas ya lepaslah. 
bagi segala yang menunggu. bawalah. siapa pun aku.


21/12/21


Kamis, 22 April 2021

In Memoriam

 

Selamat Jalan Radhar Panca Dahana

 



 


Tahun 1994, Radhar Panca Dahana datang ke Palembang. Ia baru saja meluncurkan buku puisinya, Lalu Waktu. Melalui kontak sahabat T. Wijaya, akhirnya kami bertiga bertemu. Radhar menginap di rumah yang juga dijadikan sekretariat Teater Potlot. Ia sedikit bingung karena diskusi dan pembacaan antologi puisinya, kami gelar di sekretariat LBH Palembang. Saya dan T. Wijaya selaku panitia kecil, mengangkat tema diskusi, "Sastra Gerakan". Radhar membacakan puisinya di hadapan sejumlah aktivis pro-demokarasi, seniman, dan wartawan yang hadir dalam acara tersebut. Enam tahun kemudian rejim Orde Baru jatuh.

Usai pertemuan tersebut, saya sudah tak lagi bertemu Radhar. Saya pindah ke Bandarlampung, bekerja sebagai koresponden RCTI. Beberapa kesempatan bertemu dengan kawan-kawan dari Palembang, Radhar selalu menitipkan salam buat saya. Tapi kami belum juga ada kesempatan bertemu, sampai akhirnya beliau wafat, Kamis malam, 22 April 2021 bertepatan di bulan suci Ramadhan.

Berikut saya tampilkan beberapa puisi Radhar Panca Dahana dari kumpulan puisi Lalu Waktu (1994).

 

Pulang

hujan sedari tadi belum berhenti

kenapa merpati terbang sendiri

kuyup basah tidak perduli

sudah berapa pagi,

tak mau juga ia menepi.

apa yang kau cari?

kabar kekasihkah menyertai

atau sekedar ingin kembali?

tahukah kamu, di sini

seumur hujan ia menanti

 

1987

 

Catatan Kaki Sehabis Demonstrasi

 

aku melihat diam

tak seorang saja

tapi satu bangsa

kulihat batu

padahal manusia

menunggu waktu

padahal sia sia

 

di ini negeri apa pun boleh terjadi

tapi jangan sebut revolusi,

siapa pun pahlawan ngeri. mimpi saja tak berani

mereka capek dikibuli, dikebal sakit hati

 

kubasuh kaca lensa, kuhapus kata berikutnya

dan kutulis cerita: “aku melihat bisu

berjuta juta kamu berjuta juta aku.”

 

1987

 

Perjalanan

 

inilah arti banyak dari satu kata laknat: saat.

inilah halte kehidupan, konstanta peradaban, partikel

sebuah perjalanan; semua tumbuh sendiri semua rusak

sendiri, untuk akhirnya mati. (dan saat mengalir di situ).

 

inilah arti banyak dari perjalanan yang tak mampu kita

hentikan. biang keladi semua yang tak terelakkan.

tak pernah aku percaya jika hanya Tuhan dan kematian

bisa meluputkan kita darinya.

tapi, inilah arti banyak jika hidup dan peradaban baru

dari sejarah yang terbelenggu, akan kita rapikan.

dengan segenap kemurnian, tanpa lagi campur tangan

raksasa perusak itu. dan cuma ini jawabku,

“kalahkan waktu!”

 

1985

 

Pembunuhan Kopi di Pagi Hari

 

andaikata kuregang badan sekujur waktu, tetap saja tak kutemukan kau di situ. sejak lama sudah, kecewa ini kupelihara, seperti lumut menyelimuti batu. aku tak pernah sia-sia, walau sekali lagi, sekali lagi, melulu kekalahan kurayakan.

secangkir kopi panas yang kuhirup pagi dini sekali, menyodorkan kangen yang selalu datang di permukaan peruntunganku; kapan aku bisa memenangkan kejuaraan yang tak pernah dipertandingkan? kangen yang selalu mengingatkan bahwa kau masih ada. tapi koran pagi, berita radio dan televisi tak henti mengingatkan siapa saja bahwa waktu sudah tiada. karena itu, silakan kita ramai ramai membunuh kecewa. kita tidak bisa lagi mengenali diri sendiri lewat cermin mephistopheles. bahkan kata hati pun sudah tidak jujur pada dirinya sendiri. lidah selalu me- ngatakan “yang sebenarnya” dari yang sebenarnya bukan. emhh…betapa panas hari, dan tak ada angin di sini. pada- hal masih dini pagi, dan tukang sayur mulai menjajakan koran. pada saat seperti itu, pada suasana seperti itu, hanya satu yang ingin aku nyatakan; aku dapatkan satu dari kamu dengan melenyapkan satu dariku. kau tak tahu.

 

1992

 

 

Sekilas Biografi Radhar Panca Dahana

Radhar Panca Dahana dikenal sebagai esais, sastrawan, kritikus sastra, dan jurnalis. Ia pun bergiat sebagai pekerja dan pengamat teater. Puluhan esai, kritik, karya jurnalis, kumpulan puisi, naskah drama, pertunjukan teater, dan beberapa buku tentang teater telah dihasilkannya. Radhar lahir di Jakarta, 26 Maret 1965.


Nama Radhar merupakan akronim dari nama kedua orang tuanya: Radsomo dan Suharti. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara yang seluruhnya juga mempunyai nama depan Radhar. Kehidupan masa kecilnya sangat keras. Ayahnya yang pernah difitnah sebagai penyokong komunis mendidik anak-anaknya dengan disiplin yang tinggi, bahkan cenderung otoriter. Menurut Radhar, sejak kecil ia dan saudara-saudaranya sudah diajari berhitung angka hingga jutaan, pulang ke rumah harus tepat waktu, dan senantisa belajar kapan pun. Hukuman yang diterima jika melanggar aturan adalah sabetan rotan. Selain itu, seluruh anak lelaki dikuncung, digundul dengan disisakan sedikit rambut di ujung kepalanya. Dari semua saudaranya, hanya ia yang kerap membangkang dan mendapat hukuman yang sangat keras. Ketidakcocokan cita-cita antara orang tuanya dan dirinya, yaitu orang tuanya mengharapkan dirinya menjadi pelukis, sedangkan ia sangat menyukai teater dan karang-mengarang, dan karena sering pula disakiti secara fisik membuat Radhar, pada akhir tahun 1970, sering pergi dari rumahnya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

 

Tempat favorit yang ditujunya adalah kawasan Bulungan, tempat yang kemudian membentuk pribadinya seperti yang dikenal saat ini. Radhar Panca Dahana memang dianugerahi bakat menulis. Ketika masih duduk bangku kelas lima sekolah dasar, ia sudah mampu menulis sebuah cerita pendek “Tamu Tak Diundang.” Radhar mengirimkannya ke harian Kompas dan dimuat. Pada saat duduk di bangku kelas dua SMP, ia menjadi redaktur tamu majalah Kawanku. Selama beberapa bulan, ia membantu menyeleksi naskah cerpen dan puisi yang masuk. Ia mulai mengarang cerita pendek, puisi, dan membuat ilustrasi ketika duduk di kelas tiga SMP.

 

Beberapa karyanya, di antaranya, dimuat di majalah Zaman, yang waktu itu redakturnya adalah Danarto. Radhar menyamar jati dirinya dengan nama Reza Morta Vileni. Nama samaran itu diilhami oleh nama teman sekolahnya, Rezania, yang piawai berdeklamasi. Saat sekolah SMA di Bogor ia juga sempat bergabung dengan Bengkel Teater Rendra. Namun, Radhar berselisih dengan Rendra mengenai manajemen grup. Akhirnya, ia mengundurkan diri. Ia menuruti anjuran Anto Baret untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Harapannya diterima di Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Pajajaran, gagal. Ia diterima di sosilogi, UI. Mata kuliahnya diselesaikan dalam waktu 2,5 tahun.

 

Teater dan kerja jurnalistik kembali menggodanya sehingga ia tidak acuh pada tata adminitrasi di kampusnya. Saat ia akan pergi ke Prancis, barulah ia mengurus masalahnya itu. Tahun 1997, Radhar melanjutkan studi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Prancis, dengan meriset postmodernisme di Indonesia. Baru setahun, Radhar pulang ke Indonesia dan membatalkan fasilitas studi yang harusnya mencapai tingkat doktoral. Alasannya, “Aku tak kuat menahan diri. Sementara aku hidup enak di sini, di negeriku orang-orang hidup dalam teror.” Pada waktu itu di Indonesia sedang terjadi kekacauan politik dan ketidakstabilan keamanan akibat tergulingnya Suharto dari kursi presiden.

 

Sepulang dari Prancis, Radhar mengalami stres berat. Ia divonis gagal ginjal kronis, acute renal failure dan cjronic renal failure, pembunuhan sel ginjal secara perlahan. Dua buah ginjalnya dinyatakan sudah mati. Hingga hari ini, tiada hari yang ia lewati tanpa gangguan 2-3 penyakit dari sekitar 15 penyakit baru yang dapatkan setelah cuci darah. Pencapaiannya saat ini adalah mengelola rubrik “Teroka” di harian Kompas, memimpin Federasi Teater Indonesia, Bale Sastra Kecapi, dan Teater Kosong yang ia dirikan serta pengajar di Universitas Indonesia. Kini, Radhar Panca Dahana menetap di Tangerang bersama istri dan seorang anaknya. Ketika Arswendo Atmowiloto membuat Koma (Koran Remaja) pada akhir 1970-an, Radhar turut terlibat sebagai reporter dan menandai kiprahnya sebagai jurnalis. Ia mencantumkan nama aslinya Radhar sebagai reporter dan Reza sebagai penata artistik. Pada periode itu produktivitasnya mengarang cerpen remaja sangat tinggi. Waktu itu terbit berbagai majalah kumpulan cerpen di Jakarta, seperti Pesona dan Anita, menjadi tempat penampungan karyanya. Cerpen Radhar Panca Dahana kala itu juga mengisi media massa cetak, seperti majalah remaja Gadis, Nona, dan Hai, bahkan, majalah dewasa, seperti Keluarga, Pertiwi, dan Kartini. Karier Radhar sebagai jurnalis pemula semakin berkembang ketika ia diterima bekerja di harian Kompas.

 

Valens Doy, wartawan senior Kompas, menempatkannya sebagai pembantu reporter atau reporter lepas. Ia diminta menulis rubrik apa saja: olahraga, kebudayaan, pendidikan, berita kota tentang kriminalitas, dan hukum. Akan tetapi, pekerjaannya sebagai jurnalis terhenti saat orang tuanya tidak mengizinkannya bekerja. Radhar harus kembali ke bangku sekolah. Pendidikan SLTA-nya (melalui SMA 11 Jakarta, SMA 46 Jakarta, dan sebuah SMA di Bogor) dihabiskan dalam waktu enam tahun. Menurutnya, hal itu adalah buah dari kekecewaannya karena tidak diizinkan bekerja oleh orang tuanya. Sejak SD, wataknya yang memberontak dan ingin “menguasai” publik membuatnya tidak disukai oleh teman-temannya.

 

Di SMA, ia kerap bertengkar dengan guru dan menolak sistem sekolah. Hal itu tidak mengherankan karena Radhar yang senang membaca buku berat, seperti pemahaman Ivan Illic tentang formalisme pendidikan dalam Bebas dari Sekolah dan pemikiran Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum yang Tertindas, tanpa mencernanya. Radhar Panca Dahana saat itu dekat dengan Noorca M. Masardi, Anto Baret, dan W.S. Rendra. Ketiga orang itulah yang membantunya dengan memberi nasihat mengenai apa yang patut diperbuatnya.

 

Karya-karya Radhar Panca Dahana

 

Buku-buku yang ditulis Radhar antara lain:

- Homo Theatricus

- Menjadi Manusia Indonesia (esai humaniora, 2002)

- Jejak Posmodernisme (2004)

- Inikah Kita; Mozaik Manusia Indonesia (esai humaniora, 2006)

- Dalam Sebotol Coklat Cair (esai sastra, 2007).

 

Kumpulan puisi:

- Simponi Duapuluh (1988)

- Lalu Waktu (1994)

 

Kumpulan cerpen:

- Masa Depan Kesunyian (1995)

- Ganjar dan Si Lengli (1994)

- Cerita-Cerita dari Negeri Asap (2005)

 

Kumpulan drama:

- Metamorfosa Kosong (kumpulan drama, 2007)

- Memimpin kelompok Teater Aquilla, Telaga, dan Teater Kosong Radhar Panca Dahana terpilih sebagai satu di antara lima seniman muda masa depan Asia versi NHK (1996). Ia juga pernah meraih Paramadina Award (2005), serta menjadi Duta Terbaik Pusaka Bangsa dan Duta Lingkungan Hidup (sejak 2004). Pada tahun 2007 ia menerima Medali Frix de le Francophonie 2007 dari lima belas negara berbahasa Prancis. (Conie Sema - dari berbagai sumber)