Senin, 31 Agustus 2015

Lirik Lagu

 Gending Sriwijaya (Sydney Philharmonic Orchestra)

Di kala ku merindukan keluhuran dulu kala 
Kutembangkan nyanyi dari lagu Gending Sriwijaya 
Dalam seni kunikmatkan lagi zaman bahagia 
Kuciptakan kembali dari kandungan Maha Kala 
Sriwijaya dengan Asrama Agung Sang Maha Guru 
Tutur sabda Dharmapala Sakyakhirti Dharmakhirti 
Berkumandang dari puncaknya Siguntang Maha Meru 
Menaburkan tuntunan suci Gautama Buddha shanti 

Borobudur candi pusaka di zaman Sriwijaya 
Saksi luhur berdiri tegak kukuh sepanjang masa 
Memasyurkan Indonesia di benua Asia 
Melambangkan keagungan sejarah Nusa dan Bangsa 
Taman Sari berjenjang emas perlak Shri Ksytra 
Dengan kolam pualam bagai di Surga Indralaya 
Taman Putri turunan Maharaja Syailendra 
Mendendangkan nyanyi irama lagu Gending Sriwijaya.

Selasa, 25 Agustus 2015

Jangan Buka Kotak Pandora

Pemilu: Jangan Buka Kotak Pandora!

Conie Sema*

Kawan, jika kau tahu jalan semakin jauh, pastilah tak akan kuhitung lagi jumlah tapakku. Karena sudah ribuan bahkan jutaan langkah tak bisa kutandai lagi jejaknya. Mungkin hanya aku tak tahu. Jika waktu begitu beratnya menyembunyikan detik-detik yang meninggalkan aku. Seperti kepergian atau perpisahan tanpa airmata atau kemarahan. Tanpa senyum atau diam.

Aku tak tahu. Apakah ini sebuah peperangan. Menaklukkan untuk kemenangan. Atau sebuah sajak biasa yang menulis kisah-kisah perjuangan atau percintaan. Atau juga seperti drama bawang merah bawang putih, kisah si jahat dan si baik. Yang berakhir dengan kemenangan si baik atas si jahat. Kemudian kemenangan tersebut diselebrasikan. Dipuja puji. Sementara si  jahat dicibir dan dicaci-maki.

Aku tak bisa menandai kemenangan dan kekalahan, kawan. Aku tak bisa menandai si jahat dan si baik. Karena aku tak mampu lagi membedakannya. Tak mampu lagi berpihak mendukung kemenangan satu di antaranya. Ini bukan hitungan sorga dan neraka. Di mana orang baik dan orang jahat berbondong-bondong memilih sorga. Tapi aku yakin, akan keniscayaan dalam hidupmu, hidupku.

Indonesia katamu adalah Negara kesatuan. Semusim ini kita menjadi terbelah. Dirimu jauh dariku, katamu. Aku sempat tersenyum ketika kita saling menghujat di koran kota. Ketika kita saling berkirim sajak-sajak satire. “Itu kan biasa kita lakukan dulu,” katamu. Tak usah tersinggung dan terpancing emosi. Ini hanyalah fragmen atau drama berdurasi pendek. Anggap saja dagelan ala teater sampakan. Tak usah terlalu serius dan berlebihan.

Demokrasi, salah satunya belajar saling menghargai pendapat. Kalau pendapatmu tak dihargai atau dibalas dengan ledekan,  jangan marah. Itu namanya perbedaan pandangan saja. Tak usah berkoar-koar mengatakan partaimu lebih baik, lebih hebat, lebih pandai mengurus rakyat dan Negara.  Janganlah membela habis-habisan bahwa calon presidenmu lebih jujur, lebih bersih, lebih tegas, lebih berani, dan lebih dekat dengan rakyat. Biasa sajalah. Jangan berlebihan.

Lihat dan berkacalah ke bawah. Betapa pemilihan umum atau pemilihan legislatif tahun ini semakin buruk dari Pemilu sebelumnya. Kualitas pemilih dan yang dipilih masih memprihatinkan.  Turunlah ke kampung sampai ke umbulan. Betapa kau melihat orang-orang semakin kalap dan lapar. Matanya tajam menatap. Seakan hendak melumat habis dirimu.

“Mereka seperti orang-orang asing,” katamu. Tak nampak lagi keramahan. Hubungan kekerabatan berubah jadi hubungan yang sangat pragmatis.

Tetapi mereka tak ubahnya seperti aku dan dirimu. Sama saja dengan orang-orang yang selalu berteriak moral dan jiwa bersih.  Mereka juga sama seperti  pemimpin yang kau puja puji itu. Mereka adalah rakyat. Adalah kita. Kalau mereka berteriak uang, kita juga sama. Hanya gaya dan diksinya saja yang berbeda. Jika mereka berteriak “wani piro” atau berani berapa (duitnya), itu hanyalah bahasa verbal mereka. Karena tak pandai meniru bahasa santun sang pemimpin atau elit-elit kekuasaan.

Jadi biasa-biasa sajalah. Tak usah terlalu heroik.  Kita tak ubahnya seperti kisah mitologi Yunani, Kotak Pandora.  Kita, saat ini, ada bersama-sama mengelilingi kotak Pandora.  “Jangan dibuka kotak itu,” pesanmu. Sebagaimana Prometheus mengingatkan putri Pandora untuk tidak membuka kotak tersebut.

Tetapi, Pandora terlanjur membukanya. Kotak itu sudah terbuka. Kegilaan, wabah penyakit, keserakahan, pencurian, dusta, cemburu dan dendam, kelaparan, serta berbagai malapetaka lainnya muncul dari dalam kotak itu. Semua keburukan menyebar dan menjangkiti umat manusia.

Namun kita berharap, seperti  legenda Yunani itu, di antara keburukan, penderitaan dan malapetaka itu,  Zeus  menyisahkan benda kecil yang bernama harapan. Semoga harapan itu masih dapat kita lihat usai pesta Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, 9 April nanti. Salam Indonesia Raya! ***

*Conie Sema adalah seorang esais. Lama menekuni dunia jurnalistik di RCTI. Kini calon legislatif DPRD Lampung dari Partai GERINDRA

catatan tercecer, sumber: www.teraslampung.com

Politik itu Indah

Conie Sema
Politik itu indah. Kita-kita saja yang salah menafsirkannya dengan ungkapan politik itu kotor, kejam, dan biadap. Politik itu seperti sebuah jalan menuju sorga. Makanya semua orang beramai-ramai menuju jalan itu. Yakinlah semua ingin sampai ke sorga. Masuk ke rumah rakyat adalah pintu awal menuju sorga.
Politik itu indah. Tidak benar orang bilang kanibal dan saling melumat. Kalau pun ada kejadian orang saling memakan di politik, cuma metodelogi saja. Sebuah cara untuk menuju sorga itu tadi. Karena tidak ada kitab atau buku ilmu politik yang mengatakan politik itu jahat dan kejam. Jadi kanibalisme itu merupakan konsekuensi orang-orang yang telah mengeluarkan banyak tenaga pikiran, dan uang, agar sampai ke rumah rakya. Tiba di pintu sorga.
Pesta politik tahun ini sudah selesai. KPU telah menyelesaikan tugasnya. Telah menetapkan orang-orang yang sebentar lagi dinobatkan penunggu sorga. Saya yang juga kepingin ke sorga, ternyata gagal. Mungkin tak memenuhi syarat dan kemampuan yang diinginkan KPU. Maksudnya kuota suara saya kurang banyak untuk bisa tembus ke sorga. Alias kalah suara dengan kontestan lainnya. Kontestan satu partai sendiri.
“Hitungan awal Anda memang unggul,” katanya. Tetapi hitungan berikutnya melorot, dan terus melorot. “Itu sebabnya kami tak bisa memberikanmu tiket ke sorga,” tegasnya.
“Bukankah saya sudah mengajukan keberatan atas hitungan rekan kalian di wilayah pemilihan saya?” tanyaku penasaran.
“Betul, saudaraku,” jawabnya penuh akrab dan terkesan kekeluargaan.
“Lalu apa lagi masalahnya?”
“Sidang pleno kita sudah menetapkan laporan dari wilayah Anda. Sudah tidak bisa lagi. Tetapi Anda tak usah putus asa. Masih ada kesempatan anda memperjuangkannya nanti di hadapan yang mulia majelis hakim di Mahkamah Konstitusi,” jawabnya sambil tersenyum. Seakan memberikan semangat dan harapan baru kepada saya.
Saya hanya membalasnya dengan senyum. Saya berpikir akan bertemu hakim-hakim konstitusi yang wajahnya seperti Tuhan. Dengan para malaikat di KPU saja saya sudah tak kuat, apalagi bertemu tuhan-tuhan di Mahkamah Konsitusi. Yang saya bayangkan saya akan menemui masalah baru yang kembali menguras akal, tenaga, waktu, dan mungkin saja uang yang banyak.
Akhirnya saya batalkan keinginan bertemu tuhan-tuhan di pusat sana. Karena yang saya gugat sangat teknis sekali masalah jumlah suara dan penggelembungan suara dari hitungan TPS ke rekap KPU. Tentunya bukan hal yang mengasyikkan bahkan memusingkan kepala yang mulia majelis hakim konstitusi. Mereka akan berdalih, bukankah hal itu harusnya sudah selesai di tingkat para malaikat. 
Politik itu indah. Kita-kita saja yang selalu skeptis memandangnya dari luar. Saya sudah melakoninya. dan memang indah. Menjadi kenangan yang tak terlupakan. Politik itu lebih seru dari pertunjukan teater. 
Skenario dengan cepat bisa berubah-rubah dalam satu pementasan. Meski tema naskah tidak berubah, tetapi bisa muncul berbagai improvisasi mendadak. Misalnya dari naskah adaptasi berubah jadi parodi. Lalu berubah lagi bentuk pementasannya, dari realis menjadi absurd. Perubahan itu sulit diduga dan diluar kendali sutradara. Apa yang akan terjadi di panggung.
“Politik itu betul-betul indah,” kata kawan-kawan tim saya. Kekalahan kita, cuma satu penyebabnya. Apa? tanyaku. “Kita tidak siap menjadi setan!” teriaknya. “Abang, tidak menang karena baru siap sebatas menyamar jadi setan, bukan setan betulan!” Karena mereka tahu kita hanya menyamar jadi setan. Makanya dimakan sama setan-setan itu.
“Lain kali kalau mau tarung lagi, abang harus jadi setan betulan, bila perlu rajanya setan..hahaha!” ujar kawan-kawan tim ngeledeki saya. Saya hanya bengong dan ikut tertawa.
Saya tetap meyakini politik itu indah. Politik itu adalah cara kita untuk menuju kebaikan dalam mengatur tata laksana bernegara. Saya tidak yakin dengan ucapan kawan-kawan bahwa sejak H-1 hari pencoblosan itu semua orang menjadi setan. Maksudnya pemilih dan yang dipilih menjadi setan. Penyelenggara dan pengawas menjadi setan. Saksi dan pengurus partai juga menjadi setan.
Sulit bagi saya untuk percaya, jika para komisioner KPU yang merupakan juri dan berdiri layaknya sosok malaikat, tiba-tiba berubah jadi setan. Meski sudah terbukti dan nyata ada kecurangan rekapitulasi suara yang mereka tetapkan. Mungkin itu hanya persoalan kemalasannya saja, untuk membuka kotak suara dan menghitung ulang suara.
Sampai sekarang, pemerintah dan DPR belum mau merubah dan menyertakan sistem teknologi yang praktis dan terintegrasi seperti digunakan kalangan perbankan. Artinya ada sistem teknologi yang bisa mengamankan data real di TPS. Sehingga ketika ada upaya merubah data asli TPS (manipulasi suara) akan ditolak oleh sistem yang digunakan.
Bukankah salah satu tugas utama penyelenggara Pemilu atau KPU adalah mengamankan suara caleg dan juga suara partai. Dan kasus curi mencuri suara, menyulap jumlah pemilih dengan menakan suara Golput adalah kasus klasik yang terus terjadi selama ini. Jadi pertanyaan kenapa langkah-langkah pengamanan melibatkan teknologi tersebut tidak dilakukan KPU. Berarti ada pembiaran terhadap sistem yang bolong dan memberi peluang dijebol maling.
Ada upaya bantuan teknologi (Bantek) yang dilakukan KPU dengan membentuk kelompok kerja di tingkat PPK. Tetapi bantek ini saya nilai hanya sebatas rekapitulasi C-1 yang justeru saya curigai, malahan dijadikan alat justifikasi C-1 folio yang sudah bodong alias sudah dirubah penyelenggara.
Itu dapat kita buktikan waktu uploadnya tidak serentak setelah hasil penghitungan di TPS. Bahkan sampai KPU pleno di tingkat provinsi dan nasional, data C-1 tersebut masih belum lengkap di kirim ke website KPU Nasional.  
Molornya waktu pengiriman data C-1 ini patut dicurigai ada upaya memberikan kesempatan maling masuk untuk mencuri dan merubah rekapitulasi suara di tingkat KPPS di TPS. Dan hal itu terjadi dengan beberapa data C-1 dari beberapa TPS yang dikirim di websitenya KPU Nasional, tidak sama dengan C-1 yang kita dapatkan.  
Namun KPU akan berdalih. Bahwa penggunaan teknologi tersebut terutama sampai ke tingkat desa atau TPS, sulit untuk dilaksanakan karena keterbatasan sumber daya manusianya.
Saya tetap berprasangka positif. Bahwa para kontestan yang ditetapkan KPU lolos sebagai penunggu sorga itu, sudah benar sesuai aturan dan perundangan. Bukan hasil kecurangan dan kanibalisme suara. Dan KPU pun pasti meyakininya, bersumpah sebagai sebuah kebenaran. Bukan kebohongan dan kejahatan sistematis dan terorganisir secara massif. Atau kata lainnya, kejahatan sindikatif Pemilu di Negara demokratis ini.
Bravo KPU, yang sudah bekerja keras mengantar kawan-kawan kita menjadi penghuni sorga. Di rumah rakyat. Di parlemen yang terhormat!***

Rabu, 12 Agustus 2015

LEBAK (Cerbung)

http://www.ibubumi.com/lebak_berita121.html
LEBAK (1)


Hasmar masih memeluk isterinya. Pagi dan mimpi berpisah dalam cahaya  terang. Menembus kamar tidur. Suara kesibukan di luar rumah terus berlangsung sejak subuh. Tidak peduli pada lelaki dan perempuan yang baru saja pergi meninggalkan peristirahatan tadi malam.

Pagi adalah harapan. Orang-orang bangun dan bekerja bersama matahari. Mereka tahu malam adalah mimpi dan siang adalah kesempatan untuk mewujudkannya. Mereka meninggalkan rumah dan tempat tidur. Meninggalkan semua penandaan keluarga. Menjadi orang kebanyakan di luar sana. Bekerja dan bekerja. Sampai sore bahkan melewati malam. Mereka bekumpul dalam ruang waktu yang sama.    

Lela berulang-ulang menepuk bahu suaminya. Ia ingin suaminya bangun dan pergi ke sungai. Bertemu rawa dan semak ilalang. Berperahu menyusuri anak sungai. Mengais ikan-ikan yang bersembunyi di bawah lumpur liat di hamparan rawa lebak. Lela berharap suaminya masih tetap di sana. Tidak mencoba pergi ke kota. Tetap menjadi petani. Mencari ikan dan menanam padi. Sebagaimana dilakukan keluarga secara turun temurun.

“Bangunlah.” Bisik Lela.
“Hari ini kamu harus ke sawah. Sudah tiga hari tidak ke sana,” katanya sembari menuju ke dapur. Menanak nasi dan menyiapkan makanan untuk bekal suaminya.

Jendela rumah panggung sederhana itu, mulai terbuka. Hasmar agak siang bangun dari kamarnya. Matanya mengedip menahan cahaya matahari yang menerobos masuk bersamaan  jendela terbuka. Hasmar merasakan udara pagi itu tidak sepanas pagi sebelumnya. Pertanda akan hujan. Atau sebaliknya, mulai masuk musim kemarau.    

Sudah 15 tahun ia menikah dengan Lela. Mereka belum juga dikaruniai anak. Hasmar berasal dari Tulung Selapan, Dusun Satu. Sebuah wilayah kecamatan di Ogan Komering Ilir. Orang tuanya lahir di sana. Sementara Lela, berasal dari Pangkalan Lampam. Hasmar sempat ikut bapaknya bekerja di perkebunan sawit di Mesuji. Sejak kedua orang tuanya wafat, Hasmar kembali ke kampungnya. Sebuah kampung yang mayoritas warganya hidup dengan bertani dan mencari ikan. Sebagian lagi mencari kayu terutama toke-toke pemilik sawmil. Sebagian lagi pengrajin tikar pandan.

Tak banyak pilihan hidup bagi penduduk di lahan rawa lebak dan sebagian lahan pasang surut ini. Kecuali bertani dan mencari ikan. Mereka tidak memiliki kemampuan mengolah lahan kampungnya menjadi lahan produktif yang dapat menyejahterakan kehidupan mereka. Dari leluhurnya, kehidupan ekonomi keluarga biasa saja. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Ada beberapa keluarga yang lebih makmur, itu pun karena memiliki lahan luas dan dijadikan kebun kelapa sawit atau kebun karet.

Beberapa puluh tahun belakangan ini, kehidupan warga semakin sulit akibat terus menyempitnya lahan pertanian. Sebagian besar sudah ditimbun untuk pemukiman dan perkebunan besar. Hanya di kawasan lebak pematang yang tersisa dan umumnya berada di belakang perkampungan yang ditanami padi dan sayuran oleh warga.

“Aku ke perahu dulu, Bu.” Kata Hasmar kepada isterinya. Ia menuju sungai kecil di belakang rumahnya.

Tidak seperti warga lain yang punya sawah di sekitar perkampungan. Sawah Hasmar terletak agak jauh dari dusunnya. Ia harus berperahu hampir satu jam menuju lokasi sawah miliknya. Karena itu setiap ke sawah ia selalu membawa bekal makanan sampai pulang sore. 

Lima tahun lalu, Hasmar punya sawah setengah hektare belakang rumahnya. Karena  butuh duit, sawah peningalan orang tuanya itu dijual sama tetangganya. Hasmar lalu mencari lahan agak jauh dari kampung dan harganya lebih murah. Ia dapat sekitar satu hektare. Sebagian besar ditanam padi. Sisanya ia tanam sayuran.

Dusun Hasmar berbelah sungai dengan lokasi sawahnya. Sekitar lima kilometer ke arah hulu sungai.  Kawasan ini dulunya daerah cekungan yang genangan airnya dangkal. Disebut warga lebak lematang. Sebagian persawahan berada di wilayah tanggul sungai dan wilayah dataran wilayah rawa belakang. Meski jauh dari kampung, namun lokasinya cukup bagus. Tidak jauh dari tanggul sungai juga. Selain mengurus padi, Hasmar sekalian mencari ikan. Biasanya tiap sore sebelum pulang, ia memasang beberapa bubu ikan di parit sungai.

Hamparan lebak di kawasan Tulung Selapan dan kecamatan di sekitarnya cukup luas. Cekungannya pun bervariasi. Selain lebak pematang yang cekungannya dangkal, ada juga lebak tengahan yang cekungan lebih dalam berada agak jauh dari perkampungan. Di kawasan ini juga banyak ditemui cekungan dengan kedalaman di atas 100 meter. Airnya sukar mengering meski di musim kemarau. Biasanya dijadikan tempat memelihara ikan. Warga menyebutnya lebak lebung.

Masa kecil dulu, Hasmar sering diajak kakeknya melihat pelelangan ikan di lokasi lebak lebung di Pedamaran. Berbagai jenis ikan rawa yang dulu sering dilihatnya, kini sudah sangat jarang ditemukan. Ia tidak tahu apa penyebabnya. Mungkin saja kondisi air rawa dari lubuk sungai berubah. Atau karena kondisi musim dan cuaca yang berubah.

Para petani sawah lebak di kampung itu, merasakan musim hujan dan musim kemarau sepuluh tahun terakhir, sering berubah-ubah waktunya. Sehingga mempengaruhi masa tanam. KOndisi itu sangat dirasakan oleh para nelayan pencari ikan.

Bisa jadi pengaruh musim itu berdampak dengan kondisi air di sungai utama ke habitat lubuk. Terutama saat musim banjir. Lebak dan lubuk merupakan tempat perlindungan ikan-ikan pada saat datangnya musim kemarau. Atau bisa saja akibat berkurangnya pepohonan besar di sekitar tanggul sungai. Warga pesisir sungai merasakan, jenis-jenis ikan tersebut mulai berkurang sejak pohon-pohon sepanjang sungai banyak ditebang. (Bersambung)

Minggu, 02 Agustus 2015

Kisah Pepe

Oleh Conie Sema

José Alberto Mujica Cordano, alias Pepe
Pria tua itu kini sendiri bersama isteri tercinta. ia memandang bunga-bunga tumbuh di pekarangan rumah tua yang sangat sederhanan di luar ibukota Uruguay, Montevideo. Udara sejuk. Air bening mengalir dari sumur di halaman belakang. setiap pagi ia keliling kebun bersama seekor anjing setia. “Saya sudah hidup seperti ini hampir seluruh hidup saya. Saya bisa hidup dengan apa yang saya punya," katanya sambil duduk di sebuah kursi tua di kebunnya.

José Alberto Mujica Cordano, lelaki tua itu, sempat 14 tahun menghabiskan waktunya di penjara. selama ditahan ia mengalami penyiksaan dan terisolasi. Mucija masa tahun 1960-an hingga 1970-an memimpin laskar gerilya Tupamaros, sebuah kelompok bersenjata sayap kiri yang terinspirasi oleh revolusi Kuba. Selama ditahan, ia mengalami penyiksaan dan terisolasi, sampai ia dibebaskan tahun 1985, ketika Uruguay kembali ke masa demokrasi.

"Masa-masa di penjara itulah yang telah membentuk pandangan hidupnya," kenangnya. “Saya mungkin terlihat seperti pria tua yang eksentrik. Tapi inilah pilihan,” kata Mujica dikutip Dream dari laman BBC, Sabtu 12 Juni 2014.

Mujica, dilantik jadi Presiden Uruguay 1 Januari 2010,  meraup suara 52 % pada pemilu. Setiap hari ia tetap pulang ke rumah. bukan ke istana atau rumah dinas presiden. Sore itu, ia kembali ke rumahnya tidak lagi sebagai presiden. sebagai rakyat biasa. Ia pulang dengan kesederhanaan bersama isterinya, Lucia Topolansky. jalan menuju rumahnya tak berubah masih tanah tak diaspal. Hanya mobil VW Beetle dan harta kekayaan senilai 322.883 dollar atau sekitar Rp 4 miliar, sudah termasuk traktor dan alat pertanian milik isterinya.

“Saya disebut 'presiden termiskin', tapi saya tidak merasa miskin. Orang miskin adalah mereka yang hanya bekerja untuk mencoba memelihara gaya hidup yang mahal, dan selalu ingin berlebih-lebihan,” katanya.
"Seorang presiden adalah seorang pejabat tinggi yang dipilih untuk bekerja. Dia bukan raja, apalagi dewa. Dia juga bukan tukang sihir yang mengetahui segalanya," ujar Mujica. "Presiden adalah seorang pelayan rakyat. Saya pikir gaya hidup ideal seorang presiden adalah hidup seperti kebanyakan rakyat yang diwakili dan dilayaninya," paparnya dalam wawancara dengan Al Jazeera beberapa waktu lalu.

Menurut Mujica, yang juga seorang marxis, penyakit ‘kebutuhan tanpa batas’ itu ditularkan oleh kapitalisme. Kapitalisme-lah yang memaksa orang menyembah logika profit, yakni menumpuk keuntungan tanpa batas. Alhasil, manusia menjadi makhluk paling serakah. Kapitalisme pula yang memaksa manusia sejak lahir hingga jadi bangkai untuk menyembah konsumtifisme. Bahkan, manusia dipaksa berkonsumsi di luar kebutuhan dan kemampuannya.

Mujica seakan mengingatkan kita pada Gandhi, bahwa “bumi ini sebenarnya cukup, bahkan berlebih, untuk memberi makan semua penduduk bumi. Namun menjadi tidak cukup untuk memberi makan satu orang yang rakus.”

Di Forum PBB, Mujica telah mengutuk konsumerisme dan penghambaan terhadap pasar. “Kami telah berkorban untuk Tuhan lama yang tidak nyata. Sekarang kami menempati sebuah candi tuhan Pasar,” kata Mujica. Maksudnya, di masa lalu manusia telah berkorban untuk tuhan lama yang tidak nyata, sementara sekarang ini manusia menyembah tuhan baru: pasar.

Lelaki yang memiliki panggilan akrab Pepe itu, telah pulang ke rumahnya. ia meninggalkan kenangan yang berarti di hati rakyatnya.. Mungkin saja gaya kepemimpinan Mujica itulah yang menginspirasi para pemimpin di Indonesia. dengan bantuan media massa, mereka memoles diri supaya tampak sebagai pemimpin sederhana dan merakyat. dulunya pengusaha besar media, mall, properti, dan mebel, langsung hidup sederhana dan merakyat. Sementara kebijakannya justeru mencekik rakyat. seperti privatisasi BUMN/ layanan publik, penghapusan subsidi, liberalisasi perdagangan, dan lain-lain. membiarkan perampokan uang negara atas nama bantuan likuiditas ataupun bailout, seperti kasus BLBI dan Bank Century.

Saya marxis. kesederhanaan saya adalah ideologi. saya bukan chauvinis atau populis kanan. kesederhanaan bukan pencitraan atau gaya hidup. Mungkin itu yang hendak diingatkan Pepe kepada kita. ***

Kemiling, Bandar Lampung, 2 Agustus 2015