http://www.ibubumi.com/lebak_berita121.html
LEBAK (1)
Hasmar
masih memeluk isterinya. Pagi dan mimpi berpisah dalam cahaya terang. Menembus kamar tidur. Suara kesibukan
di luar rumah terus berlangsung sejak subuh. Tidak peduli pada lelaki dan
perempuan yang baru saja pergi meninggalkan peristirahatan tadi malam.
Pagi
adalah harapan. Orang-orang bangun dan bekerja bersama matahari. Mereka tahu
malam adalah mimpi dan siang adalah kesempatan untuk mewujudkannya. Mereka
meninggalkan rumah dan tempat tidur. Meninggalkan semua penandaan keluarga.
Menjadi orang kebanyakan di luar sana. Bekerja dan bekerja. Sampai sore bahkan
melewati malam. Mereka bekumpul dalam ruang waktu yang sama.
Lela
berulang-ulang menepuk bahu suaminya. Ia ingin suaminya bangun dan pergi ke
sungai. Bertemu rawa dan semak ilalang. Berperahu menyusuri anak sungai.
Mengais ikan-ikan yang bersembunyi di bawah lumpur liat di hamparan rawa lebak.
Lela berharap suaminya masih tetap di sana. Tidak mencoba pergi ke kota. Tetap
menjadi petani. Mencari ikan dan menanam padi. Sebagaimana dilakukan keluarga
secara turun temurun.
“Bangunlah.”
Bisik Lela.
“Hari
ini kamu harus ke sawah. Sudah tiga hari tidak ke sana,” katanya sembari menuju
ke dapur. Menanak nasi dan menyiapkan makanan untuk bekal suaminya.
Jendela
rumah panggung sederhana itu, mulai terbuka. Hasmar agak siang bangun dari
kamarnya. Matanya mengedip menahan cahaya matahari yang menerobos masuk
bersamaan jendela terbuka. Hasmar merasakan
udara pagi itu tidak sepanas pagi sebelumnya. Pertanda akan hujan. Atau
sebaliknya, mulai masuk musim kemarau.
Sudah
15 tahun ia menikah dengan Lela. Mereka belum juga dikaruniai anak. Hasmar
berasal dari Tulung Selapan, Dusun Satu. Sebuah wilayah kecamatan di Ogan
Komering Ilir. Orang tuanya lahir di sana. Sementara Lela, berasal dari Pangkalan
Lampam. Hasmar sempat ikut bapaknya bekerja di perkebunan sawit di Mesuji.
Sejak kedua orang tuanya wafat, Hasmar kembali ke kampungnya. Sebuah kampung
yang mayoritas warganya hidup dengan bertani dan mencari ikan. Sebagian lagi
mencari kayu terutama toke-toke pemilik sawmil. Sebagian lagi pengrajin tikar
pandan.
Tak
banyak pilihan hidup bagi penduduk di lahan rawa lebak dan sebagian lahan
pasang surut ini. Kecuali bertani dan mencari ikan. Mereka tidak memiliki
kemampuan mengolah lahan kampungnya menjadi lahan produktif yang dapat
menyejahterakan kehidupan mereka. Dari leluhurnya, kehidupan ekonomi keluarga
biasa saja. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Ada beberapa keluarga yang lebih
makmur, itu pun karena memiliki lahan luas dan dijadikan kebun kelapa sawit
atau kebun karet.
Beberapa
puluh tahun belakangan ini, kehidupan warga semakin sulit akibat terus
menyempitnya lahan pertanian. Sebagian besar sudah ditimbun untuk pemukiman dan
perkebunan besar. Hanya di kawasan lebak pematang yang tersisa dan umumnya berada
di belakang perkampungan yang ditanami padi dan sayuran oleh warga.
“Aku
ke perahu dulu, Bu.” Kata Hasmar kepada isterinya. Ia menuju sungai kecil di
belakang rumahnya.
Tidak
seperti warga lain yang punya sawah di sekitar perkampungan. Sawah Hasmar terletak
agak jauh dari dusunnya. Ia harus berperahu hampir satu jam menuju lokasi sawah
miliknya. Karena itu setiap ke sawah ia selalu membawa bekal makanan sampai
pulang sore.
Lima
tahun lalu, Hasmar punya sawah setengah hektare belakang rumahnya. Karena butuh duit, sawah peningalan orang tuanya itu
dijual sama tetangganya. Hasmar lalu mencari lahan agak jauh dari kampung dan harganya
lebih murah. Ia dapat sekitar satu hektare. Sebagian besar ditanam padi.
Sisanya ia tanam sayuran.
Dusun
Hasmar berbelah sungai dengan lokasi sawahnya. Sekitar lima kilometer ke arah hulu
sungai. Kawasan ini dulunya daerah
cekungan yang genangan airnya dangkal. Disebut warga lebak lematang. Sebagian
persawahan berada di wilayah tanggul sungai dan wilayah dataran wilayah rawa belakang.
Meski jauh dari kampung, namun lokasinya cukup bagus. Tidak jauh dari tanggul
sungai juga. Selain mengurus padi, Hasmar sekalian mencari ikan. Biasanya tiap
sore sebelum pulang, ia memasang beberapa bubu ikan di parit sungai.
Hamparan
lebak di kawasan Tulung Selapan dan kecamatan di sekitarnya cukup luas. Cekungannya
pun bervariasi. Selain lebak pematang yang cekungannya dangkal, ada juga lebak
tengahan yang cekungan lebih dalam berada agak jauh dari perkampungan. Di
kawasan ini juga banyak ditemui cekungan dengan kedalaman di atas 100 meter.
Airnya sukar mengering meski di musim kemarau. Biasanya dijadikan tempat
memelihara ikan. Warga menyebutnya lebak lebung.
Masa
kecil dulu, Hasmar sering diajak kakeknya melihat pelelangan ikan di lokasi
lebak lebung di Pedamaran. Berbagai jenis ikan rawa yang dulu sering dilihatnya,
kini sudah sangat jarang ditemukan. Ia tidak tahu apa penyebabnya. Mungkin saja
kondisi air rawa dari lubuk sungai berubah. Atau karena kondisi musim dan cuaca
yang berubah.
Para
petani sawah lebak di kampung itu, merasakan musim hujan dan musim kemarau sepuluh
tahun terakhir, sering berubah-ubah waktunya. Sehingga mempengaruhi masa tanam.
KOndisi itu sangat dirasakan oleh para nelayan pencari ikan.
Bisa
jadi pengaruh musim itu berdampak dengan kondisi air di sungai utama ke habitat
lubuk. Terutama saat musim banjir. Lebak dan lubuk merupakan tempat
perlindungan ikan-ikan pada saat datangnya musim kemarau. Atau bisa saja akibat
berkurangnya pepohonan besar di sekitar tanggul sungai. Warga pesisir sungai merasakan,
jenis-jenis ikan tersebut mulai berkurang sejak pohon-pohon sepanjang sungai
banyak ditebang. (Bersambung)