Sketsa Kwoloon
Oleh Conie Sema
DALAM kedinginan 13 derajat Celsius, aku
melihat Resya tak ubahnya sebagai manusia baru yang mengenali kembali
riwayat negerinya Indonesia. Henry hanya tersenyum melihat tubuhku
menggigil digulung udara dingin pagi itu, di Kowloon.
Aku kenal
Henry delapan tahun lalu, di sebuah seminar di Jakarta. Dua tahun
kemudian kami bertemu lagi di Bangkok. Resya sendiri teman kuliah, sudah
lama menetap di Pulau Hongkong sejak bersuamikan warga negara Hongkong.
Ia bekerja di sebuah perusahaan jasa wisata.
“Pasca rejim
otoriter runtuh, Indonesia membelok arah dari transisi
demokrasi ke transisi menuju neoliberalisme dan demokrasi pasar," kata Resya.
Negara mulai diatur kekuasaan oligarki pasar, tambahnya.
Ucapan Resya itu meluncur, menyelah percakapanku dengan Henry Tang,
kawan diskusi selama dua pekan liburan di Tsim Sha Tsui East, Kowloon,
Hongkong. Aku dan Henry baru saja membahas sejarah pelaut Portugis Jorge
Alvares, yang menjadi orang Eropa pertama mengunjungi Hongkong.
“Demokrasi
yang berpihak kepada rakyat, memang jalan panjang,” tanggap Henry. “Karena demokrasi tak selalu memenangkan kekuasaan rakyat,” ujarnya menanggapi Resya. Ungkapan
Henry, mengusik pikiranku berkaitan proses demokratisasi di Indonesia. Aku sedikit bingung membicarakan negeriku. Apa lagi melihatnya dari pulau kecil yang lama
dikuasai Britania Raya itu.
Hongkong memiliki salah satu
pelabuhan bongkar muat terbesar di dunia. Sebetulnya sudah lebih dulu mengenal
sistem perdagangan dan jasa lintas negara. Sejak era perdagangan
kapitalisme Portugis ke era ekonomi liberalisme, hingga neoliberalisme
sekarang ini. Mereka tentu lebih dulu memahami sistim perdagangan pasar
bebas.
Ekonomi pasar bebas mulai bergulir awal berkuasa Ronald
Regan di AS, dan Margaret Thatcher PM Inggris tahun 1980 lalu. Keduanya
menggerakkan kebijakan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan
publik kepada swasta. Sektor-sektor publik yang ditangani
pemerintah lewat BUMN, diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan
pasar. Kedua tokoh itu menganggap negara tidak untuk menjamin kesejahteraan
umum, memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan
alasan apa pun. Makanya negara melakukan pemotongan subsidi. Juga beban
pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan.
Karena tindakan
mereka itu, para analis percaya bahwa kedua tokoh itulah yang menjadi
pelopor bergesernya kebijakan ekonomi ordo liberalisme klasik menjadi
ordo neoliberalisme di Eropa dan Amerika. Kebijakan itu kemudian ditiru
oleh negara-negara lain, tak terkecuali negara-negara Asia.
Sejumlah
negara berkembang, termasuk Indonesia setelah melihat
success story
”macan-macan ekonomi Asia” seperti Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea
Selatan, mulai membuka pasar domestiknya. Mempraktekkan kapitalisme pasar bebas. Hal itu juga mungkin dipicu rasa frustasi dengan sedikitnya hasil yang diperoleh dari kebijakan ekonomi tertutup dan substitusi impor.
Asumsi neoliberalisme, pertumbuhan ekonomi akan optimal, jika dan
hanya jika lalu lintas barang atau jasa atau modal tidak dikontrol oleh
regulasi apapun. Optimalisasi itu akan terjadi bila digerakkan
oleh konsep ’
Homo Economics’, yaitu barang atau jasa atau modal dimiliki
dan dikuasai oleh orang-perorang, menjadi kekuatan untuk tujuan
akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya. Sehingga ”
Private Property”
(kepemilikan pribadi) pun menjadi absolut. Tanpa tanggungjawab peran sosial apapun juga
termasuk negara. Akibatnya, keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang
baik.
Mengubah kebijakan ekonomi
walfare state
ke ekonomi neoliberalisme hanyalah mengembalikan semangat ajaran
kapitalisme murni seperti pada awal masa revolusi industri di Inggris.
Bagi mereka kebebasan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah, akan
membawa kemakmuran.
Aku dan Henry, ketika di Bangkok, pernah
mendiskusikan siasat negara neolib masuk ke negara berkembang. Mereka
menggerakkan mesin-mesin neoliberalisme; IMF, Word Bank, CGI, Paris Club
dan sebagainya. Metodenya tiga tahap: privatisasi, liberalisasi, dan
pasar bebas.
Kemudinya digerakkanlah WTO. Lewat lembaga ini, negara-negara kapitalis
mempromosikan atau lebih tepatnya memaksakan privatisasi, liberalisasi
dan pasar bebas kepada negara-negara lain. Metode mereka pakai guna
melegalkan ketiga kebijakan di atas, antara lain dengan investasi asing,
demokratisasi, tekanan ekonomi, tekanan politik, utang luar negeri
sampai tekanan militer. Seperti dilakukan terhadap Afghanistan dan
Irak.
Dapat diterima ungkapan Henry bahwa demokrasi tak selalu
memenangkan kekuasaan rakyat. Bahkan, demokrasi hanya meneruskan kekuasaan lama yang berseragam baru. Kehidupan politik tetap berjalan
muram. Demokrasi tak jarang 'memangsa' aktivis dan partisipannya ke dalam jaring-jaring kapitalisme. Mereka lebur dalam kehidupan pragmatis cukong-cukong besar. Menjerumuskan para pejuang demokrasi ini ke dalam kehidupan yang begitu
prevate, konsumtif, bahkan hedonik.
“Jadi,
kekuatiran Resya atas ancaman demokrasi pro pasar di Indonesia, bukanlah kekuatiran yang tidak beralasan,” kata Henry.
“Betul!” sambut Resya semangat.
Aku mengeluarkan rokokku dari saku celana. Dengan sigap Resya menyambarnya dari tanganku. Lalu menarik sebatang. Aku hidupkan korek api untuknya. Obrolan
bersama Henry Tang dan Resya itu, seakan mengulangi kembali cerita awal
Henry tentang Hongkong. Sejak masuknya pelaut Portugal Jorge Alvares
tahun 1513, Perang Opium Kedua, di Semenanjung Kowloon. Sebua coretan
kecil perjalanan dari zaman Neolitikum hingga Neoliberalisme.
Dialog
sejarah
zigzag itu, membuat kami tertawa sembari melambaikan tangan ke
arah kapal Star Ferry yang menyeberangi Victoria Harbour. Kami melihat
di buritan kapal ada bendera kecil kelompok New World Group. Mereka
membangun tempat pejalan kaki sepanjang tepi laut di sekitar New World
Centre di kampung Henry, Tsim Sha Tsui East, Kowloon. "Lima tahun lalu
mereka telah membelanjakan sekitar HK $40 juta, untuk membangun Avenue
of Stars, sebuah proyek swasta yang didukung penuh pemerintah," ujar
Henry sambil tersenyum. (*)
Kowloon, 30 Mei 2009