Minggu, 29 Maret 2015

T. Wijaya
Kau Tidak Mampu Membeli Tuhan
 T. WIJAYA

Meskipun tubuhmu membayangi
Bumi, kau tidak mampu membeli Tuhan.
Kekuasaanmu tidak lebih kesepianmu di masa kecil.
Seperti kami yang tumbuh di sela-sela dinding berlumut. 
Gelap dan dingin.

Jangan coba menawar Tuhan
Daya belimu angin

Kami terus bertambah. Gelap dan dingin.
Berjalan berdesakan ke dapur umum.
                                                
Tuhan tersenyum melihat bayanganmu mengurung Bumi.

2015

Sabtu, 28 Maret 2015

Jangan Kau Gigit Jari Kakiku!

Lukisan Anarkhisme by Google
TUHAN menciptakan minyak, gas, dan energi, untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi semua makhluk hidup di negeri ini. Bukan untuk dikuasai sekelompok orang. Sejumlah tokoh lintas agama pernah mengingatkan, bahwa sistem perdagangan WTO tidak sejalan dengan nilai-nilai agama. Tidak syariat. Karena tidak ada keadilan yang diperoleh rakyat kecil selaku bagian dari bangsa Indonesia.

Mau ilmu dan teori mana pun, liberalisasi migas hanya menguntungkan negara dan pemilik modal (kapital). Liberalisasi di sektor apa pun akan menggilas rakyat kecil. Di balik kebijakan Jokowi meliberalisasikan harga migas dan energi, atas desakan IMF, World Bank, dan sekutu Neolib lainnya, semakin pahamlah kita, kemana arah keberpihakan pemimpin kita ini.

Sementara di bagian hulu, sistem tata kelola migas masih dikuasai para mafia dalam dan luar negeri. Ironisnya lagi, biaya cost index pengolahan dan pengelolaan, baik yang diserahkan kepada investor domestik maupun investor asing, dibiarkan terus membengkak dan menggerogoti anggaran negara.

"Kebijakan pemerintah itu, harus dilawan dan dihentikan. Negeri ini bukan milik sang pemangku kebijakan. Negeri ini bukan milik pemegang kekuasaan. Negeri ini milik kita semua, rakyat Indonesia. Kekayaan di laut, darat, dan udara milik kita. Dan, kamu para pemegang kuasa rakyat, berhentilah merampok negeri ini!"

Nah, itulah kemarahan kawanku, pagi ini. Aku cuma bilang, boleh marah tapi jangan kau gigit jari kakiku...hehehe!

Kemiling, 28 Maret 2015

Selasa, 24 Maret 2015

Noktah 

dirimu menjadi pertama setelah aku. tetapi bukan pemilik tafsir sejati. ranting-ranting patah seketika sajakmu terkubur. aku pasti menunggu dahan tumbuh di pohonmu. meski udara semakin sesak dan mengimpit ruang cahaya. sebentar lagi daun jatuh. bukan karena airmata. kita menjadi pertama menisik lubang-lubang tersobek waktu. harusnya dipahami, kita hampir melewati batas kenyataan. biarlah dunia menyelesaikan jati dirinya secara bersahaja. -- Conie Sema

Pal 10, Kemiling, September 2014
Puisi Pesisir Musi

Mulailah menyisir kembali rambut putihmu. Kau tidak terlalu tua dalam waktumu. 
100 tahun hanya perjalanan singkat untuk hidup yg sebenarnya. Bila saja kau ingat 
epik di pesisir musi dan kenangan musim bunga di kotamu. Ternyata kita lebih dulu 
menyepi dari kekacauan arus sungai menjadwal datangnya hujan. 
Di atas perahu nelayan, matahari terus membakar kemarahan. Jangan menyerah! 
Kita tak pernah mati dalam hitungan waktu. Kita tak pernah kalah oleh  keberingasan
kota. Nyanyikan kembali epik terakhirmu. Aku siap berteriak sampai seribu tahun! 
-- CONIE SEMA

6 Maret 2014
Kabut Ujung Musim Hujan

Minggu, 22 Maret 2015

kolom



Jeju
Oleh Conie Sema

LELAKI tua yang mengaku bernama Kim Suok-Beom, baru saja pergi. Ia sempat menyapa kami sesaat dalam bahasa ibunya. Melalui seorang penerjemah, kami bisa lancar berkomunikasi dengan kakek berusia 71 tahun itu. Menanyakan banyak hal tentang dirinya dan sejarah kampungnya.

Kakek Kim adalah salah seorang eksodus yang baru dua tahun kembali ke kampungnya, Pulau Jeju. Setelah 53 tahun hidup di wilayah pelarian penduduk Jeju, sebuah perkampungan di kawasan Osaka, Jepang. Kim meninggalkan Jeju, pasca peristiwa pemberontakan penduduk terhadap pemerintahan Korea Selatan, 3 April 1948. Peristiwa berdarah yang menelan puluhan ribu jiwa warga Jeju itu, tak pernah hilang dari ingatan Kim.

Sesekali ia terdiam. Matanya menengok ke langit. Mengingat kejadian yang begitu sadis. “Mereka membakar rumah kami,” ucapnya pelan. “Kami melarikan diri. Saya dan adik perempuan saya, terpencar dengan bapak dan ibu. Kami dan ratusan orang lainnya mencari tempat yang lebih aman untuk berlindung. Sementara bapak dan ibu masih bertahan di kampung,” tambahnya.  

Di usianya sekitar 16 tahun masa itu, Kim tidak dapat berbuat banyak. Ia bersama adiknya akhirnya ikut dengan rombongan pelarian lainnya, menuju wilayah perbatasan Korea-Jepang. “Saya ingat waktu itu akhir Agustus ’48. Menurut paman saya, suasana sudah semakin kacau. Pasukan militer dengan kekuatan penuh menyerang desa-desa pemukiman penduduk. Menyeret para pemuda untuk dibunuh. Menculik gadis-gadis untuk diperkosa beramai-ramai.”

Sampai lima tahun lebih Militer Korea Selatan terus memburuh warga Jeju yang mereka klaim sebagai anggota Partai Buruh Korea. “Perburuan disertai pembantaian!” tegas Kim. "Mereka menakut-nakuti penduduk bahwa siapa pun baik anggota atau pendukung Partai Buruh adalah komunis. Mereka musuh Negara. Harus dipenjara atau ditembak mati," jelasnya.  

Mendengar cerita Kakek Kim, aku teringat dengan peristiwa  30 September 1965. Yang disebutkan sebagai Peristiwa G30S PKI, Pemberontakan atau kudeta PKI (Partai Komunis Indonesia). Banyak kemiripan. Terutama pasca kejadian pemberontakan. Masa penumpasan dan perburuan para anggota atau pendukung PKI. Jika di Jeju disebutkan sekitar 60 ribu orang menjadi korban pembantaian massal, di Indonesia disebutkan ratusan ribu lebih rakyat penjuru negeri, tewas dibantai militer Orde Baru.

Dalam penumpasan PKI, Orde Baru menggunakan tangan-tangan ulama dan kelompok kanan anti komunis, pemerintah Korea juga menggunakan organisasi sayap kanan yang anti komunis. Bersama Perkumpulan Pemuda Barat Daya yang didukung organisasi kepolisian, mereka menggempur pemberontak Jeju.

Begitu pun kehadiran Amerika Serikat di balik peristiwa tersebut. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu dan menandatangani Dokumen Kapitulasi Jepang, 2 September 1945, Semenanjung Korea diduduki oleh Militer Uni Soviet  (Tentara Merah) dan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat. Dua negera ini berbagi jatah. Amerika mengambil wilayah Korea Selatan, dan Uni Soviet mengambil wilayah Korea bagian utara.

Di selatan Amerika membentuk pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Syngman Rhee. Sementara di utara, diperintah oleh Partai Buruh Korea Utara di bawah kepemimpinan Presiden Kim Il-sung.

Pembelahan semenanjung Korea inilah yang menuai protes rakyat Jeju. ditambah lagi ketika pemerintah pro Amerika itu mendirikan kantor Badan Persiapan Pendirian Negara Korea di Pulau Jeju. Penduduk Jeju menggelar unjuk rasa menuntut penyatuan Semenanjung Korea, dan pendirian sebuah negara Korea merdeka dan berdaulat. Dari unjuk rasa ini enam orang penduduk tewas terkena tembakan yang dilepaskan aparat kepolisian ke kerumunan massa.

Penduduk Jeju lalu melakukan pemogokan umum. Akhirnya Kantor Pemerintah Militer Angkatan Darat Amerika di Seoul, mengirim perwira kepolisian dan pemuda sayap kanan ke Pulau Jeju, mereka melakukan teror yang akhirnya pecah pemberontakan penduduk Jeju. Mereka didukung Partai Buruh Korea Selatan.

Kakek Kim, adalah satu dari sekian banyak tokoh kesaksian peristiwa getir itu. Ia adalah salah satu Zainichi Korea -- sebutan penduduk eksodus Jeju yang menetap di jepang. Kim pulang ke tanah airnya. Di usia senjanya, Kim ingin menuntaskan kerinduan kepada kampung halaman, kepada kebun dan kedua bapak dan ibunya. Kim ingin mati dan dikubur di tanah kelahirannya.

Tetapi mimpi dan kerinduan lelaki tua itu, hanya tinggal mimpi. Jeju bukanlah Jeju yang dahulu. Keramahan penduduk dan pesona keindahan pulau itu, kini bukan lagi miliknya. Jeju telah menjadi pulau sorga. Pulau industri pariwisata yang meraup miliaran bahkan triliunan won, bagi pemerintah Korea Selatan.

Kakek Kim tidak pernah tahu lagi identitas kampung dan keluarganya. Jangankan bertemu bapak dan ibu tercinta, kuburan mereka pun tak akan pernah dijumpainya. Pulau yang terletak sebelah selatan Semenanjung Korea itu, menjadi sepi dan asing bagi Kim. Jeju telah dipenuhi ornamen-ornamen budaya dan sejarah yang terbingkai berbagai atribut kepentingan politik dan ekonomi negara. Menjadi  "Monuments To An Elegy" syair pilu yang tersisa di monumen duka Hallasan atau Gunung Halla, akibat pragmatisme negara.


Lelaki bongkok itu, menyusuri sebuah theme park bernama Jeju Loveland, sebuah taman wisata yang dipenuhi puluhan patung bugil beraneka pose. Kim hanya tersenyum sendiri memandangi tubuh-tubuh telanjang yang berserakan di setiap pojok taman. Ia tahu kalau karya tangan seniman Honglk University Seoul itu, bukan peradaban Jeju.

Sore itu, udara lebih dingin dari kemarin. Kim terpaku menatap laut dan karang. Batu-batu yang diam. Seakan ingin kembali menyelam ke dasar laut mencari abalon dan kerang. Selama berabad-abad, penduduk Jeju dijuluki sebagai yukgoyeok (pekerja keras) yang mengerjakan berbagai pekerjaan berat untuk hidup, seperti menyelam ke dasar laut, membangun pelabuhan, beternak, membuat kapal dan bertani.

“Kebahagian itu kecil seperti butir pasir, sementara kesedihan itu sebesar batu karang,” ujar Kim pelan sambil berlalu meninggalkan kami. Kalimat Kim seperti hendak mengingatkan kembali falsafah kehidupan rakyat Jeju. Tabah dan mampu bertahan dalam situasi sesulit apa pun. ***

Jeju, Maret 2012


Sketsa Kwoloon
Oleh Conie Sema

DALAM kedinginan 13 derajat Celsius, aku melihat Resya tak ubahnya sebagai manusia baru yang mengenali kembali riwayat negerinya Indonesia. Henry hanya tersenyum melihat tubuhku menggigil digulung udara dingin pagi itu, di Kowloon.

Aku kenal Henry delapan tahun lalu, di sebuah seminar di Jakarta. Dua tahun kemudian kami bertemu lagi di Bangkok. Resya sendiri teman kuliah, sudah lama menetap di Pulau Hongkong sejak bersuamikan warga negara Hongkong. Ia bekerja di sebuah perusahaan jasa wisata.

“Pasca rejim otoriter runtuh, Indonesia membelok arah dari transisi demokrasi ke transisi menuju neoliberalisme dan demokrasi pasar," kata Resya. Negara mulai diatur kekuasaan oligarki pasar, tambahnya.

Ucapan Resya itu meluncur, menyelah percakapanku dengan Henry Tang, kawan diskusi selama dua pekan liburan di Tsim Sha Tsui East, Kowloon, Hongkong. Aku dan Henry baru saja membahas sejarah pelaut Portugis Jorge Alvares, yang menjadi orang Eropa pertama mengunjungi Hongkong.

“Demokrasi yang berpihak kepada rakyat, memang jalan panjang,” tanggap Henry. “Karena demokrasi tak selalu memenangkan kekuasaan rakyat,” ujarnya menanggapi Resya. Ungkapan Henry, mengusik pikiranku berkaitan proses demokratisasi di Indonesia. Aku sedikit bingung membicarakan negeriku. Apa lagi melihatnya dari pulau kecil yang lama dikuasai Britania Raya itu.

Hongkong memiliki salah satu pelabuhan bongkar muat terbesar di dunia. Sebetulnya sudah lebih dulu mengenal sistem perdagangan dan jasa lintas negara. Sejak era perdagangan kapitalisme Portugis ke era ekonomi liberalisme, hingga neoliberalisme sekarang ini. Mereka tentu lebih dulu memahami sistim perdagangan pasar bebas.

Ekonomi pasar bebas mulai bergulir awal berkuasa Ronald Regan di AS, dan Margaret Thatcher PM Inggris tahun 1980 lalu. Keduanya menggerakkan kebijakan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada swasta. Sektor-sektor publik yang ditangani pemerintah lewat BUMN, diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan pasar. Kedua tokoh itu menganggap negara tidak untuk menjamin kesejahteraan umum, memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apa pun. Makanya negara  melakukan pemotongan subsidi. Juga beban pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan.

Karena tindakan mereka itu, para analis percaya bahwa kedua tokoh itulah yang menjadi pelopor bergesernya kebijakan ekonomi ordo liberalisme klasik menjadi ordo neoliberalisme di Eropa dan Amerika. Kebijakan itu kemudian ditiru oleh negara-negara lain, tak terkecuali negara-negara Asia.

Sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia setelah melihat success story ”macan-macan ekonomi Asia” seperti Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan, mulai membuka pasar domestiknya. Mempraktekkan kapitalisme pasar bebas. Hal itu juga mungkin dipicu rasa frustasi dengan sedikitnya hasil yang diperoleh dari kebijakan ekonomi tertutup dan substitusi impor.

Asumsi neoliberalisme, pertumbuhan ekonomi akan optimal, jika dan hanya jika lalu lintas barang atau jasa atau modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu akan terjadi bila digerakkan oleh konsep ’Homo Economics’, yaitu barang atau jasa atau modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang, menjadi kekuatan untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya. Sehingga ”Private Property” (kepemilikan pribadi) pun menjadi absolut. Tanpa tanggungjawab peran sosial apapun juga termasuk negara. Akibatnya, keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik.

Mengubah kebijakan ekonomi walfare state ke ekonomi neoliberalisme hanyalah mengembalikan semangat ajaran kapitalisme murni seperti pada awal masa revolusi industri di Inggris. Bagi mereka kebebasan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah, akan membawa kemakmuran.

Aku dan Henry, ketika di Bangkok, pernah mendiskusikan siasat negara neolib masuk ke negara berkembang. Mereka menggerakkan mesin-mesin neoliberalisme; IMF, Word Bank, CGI, Paris Club dan sebagainya. Metodenya tiga tahap: privatisasi, liberalisasi, dan pasar bebas.

Kemudinya digerakkanlah WTO. Lewat lembaga ini, negara-negara kapitalis mempromosikan atau lebih tepatnya memaksakan privatisasi, liberalisasi dan pasar bebas kepada negara-negara lain. Metode mereka pakai guna melegalkan ketiga kebijakan di atas, antara lain dengan investasi asing, demokratisasi, tekanan ekonomi, tekanan politik, utang luar negeri sampai tekanan militer. Seperti dilakukan terhadap Afghanistan dan Irak.

Dapat diterima ungkapan Henry bahwa demokrasi tak selalu memenangkan kekuasaan rakyat. Bahkan, demokrasi hanya meneruskan kekuasaan lama yang berseragam baru. Kehidupan politik tetap berjalan muram. Demokrasi tak jarang 'memangsa' aktivis dan partisipannya ke dalam jaring-jaring kapitalisme. Mereka lebur dalam kehidupan pragmatis cukong-cukong besar. Menjerumuskan para pejuang demokrasi ini ke dalam kehidupan yang begitu prevate, konsumtif, bahkan hedonik.

“Jadi, kekuatiran Resya atas ancaman demokrasi pro pasar di Indonesia, bukanlah kekuatiran yang tidak beralasan,” kata Henry.

“Betul!” sambut Resya semangat.

Aku mengeluarkan rokokku dari saku celana. Dengan sigap Resya menyambarnya dari tanganku. Lalu menarik sebatang. Aku hidupkan korek api untuknya. Obrolan bersama Henry Tang dan Resya itu, seakan mengulangi kembali cerita awal Henry tentang Hongkong. Sejak masuknya pelaut Portugal Jorge Alvares tahun 1513, Perang Opium Kedua, di Semenanjung Kowloon. Sebua coretan kecil perjalanan dari zaman Neolitikum hingga Neoliberalisme.

Dialog sejarah zigzag itu, membuat kami tertawa sembari melambaikan tangan ke arah kapal Star Ferry yang menyeberangi Victoria Harbour. Kami melihat di buritan kapal ada bendera kecil kelompok New World Group. Mereka membangun tempat pejalan kaki sepanjang tepi laut di sekitar New World Centre di kampung Henry, Tsim Sha Tsui East, Kowloon. "Lima tahun lalu mereka telah membelanjakan sekitar HK $40 juta, untuk membangun Avenue of Stars, sebuah proyek swasta yang didukung penuh pemerintah," ujar Henry sambil tersenyum. (*)

Kowloon, 30 Mei 2009

Jumat, 20 Maret 2015

Portofolio dari Garis Pinggiran


Catatan Conie Sema

Illustrasi siluet by Google
PORTOFOLIO dalam ruang pribadi seseorang tidak sekedar sekumpulan informasi pribadi. Atau file dokumen  atas pencapaian prestasi dalam parameter tertentu. Peristiwa penting bahkan teramat penting, memprasastikan sejarah hidup dirinya. kadang terkesan begitu getir, erotik, dan selebrasi.

Banyak sumber portofolio sejarah, jika kita mengumpulkan kembali serpihan ingatan masa kecil. Pengalaman tragis masa poskolonial, misalnya. Ketika kita hendak menuju Indonesia menjadi sebuah negara, atau sering disebut proses “menjadi Indonesia”. Memoar hidup masa itu penuh dengan coretan hitam, penaklukan dan kekuasaan. Penindasan, penghinaan, dendam, kekalahan, dan gemuruh perang.

Kegetiran dan tragedi hadir dalam ruang refleksi kita. Menjadi gumpalan energi untuk berpikir dan meluapkan kreativitas, bahkan melawan untuk memerdekakan diri. Begitu banyak lirik mengungkapkan kritik, sikap pribadi, dan ketegasan untuk menolak segala bentuk penindasan, masa poskolonial tersebut.

Namun sering tidak jujur mengakui bahwa kita dan masa lalu bangsa, banyak tumbuh dari kebohongan. Kita merasa selesai merumuskan Indonesia setelah menuliskan manuskrip negara bernama Indonesia dari selembar teks proklamasi, yang hanya disaksikan segelintir anak-anak bangsa. Kegetiran tersebut bisa saja menjadi ruang teks kita untuk membaca dan menuliskan kembali tragedi sekitar kita ketika banyak orang merasa tidak meyakini Indonesia. Atau ada upaya untuk melepaskan teks dirinya dari sebuah kolektifitas integratif (NKRI). Fenomena tersebut menjadi kegetiran yang ‘berpihak’, menisbihkan teks-teks kolektif atau kebangsaan sebelumnya.

Dalam kontestasi karya, banyak peristiwa atau fakta yang kita manipulir di ruang informasi publik. Kamuflase-kamuflase itu awalnya dilakukan hanya sebatas pertimbangan kebutuhan tertentu. Tetapi tanpa kita sadari telah membunuh kreativitas dan eksistensi berpikir. Berpuluh-puluh tahun kita dihadapkan kontestasi karya, misalnya dalam dunia sastra, dijejali subjek-subjek kepentingan di luar diri kita. Kepentingan tersebut mematahkan imajinasi dan inspirasi pribadi. Akhirnya mengukung kebebasan sastra itu sendiri.

Wajar, jika menjelang masa akhir kekuasaan Orde Baru. Karya-karya sastra kontekstual, seperti  berebut hendak menyelebrasi dirinya. Melepaskan sebanyak mungkin teks parlementariat sastra dan sastra jalanan yang belum tervisualisasi dalam bentuk verbal -- gerakan massa atau aksi jalanan. Sebagian lainnya memecah  dalam bentuk wacana dan diskusi kritis kalangan seniman atau sastrawan.

Kenyataan di atas bukanlah sesuatu  fragmented. Ada hal yang strategis diperjuangkan. Seperti kegelisahan akan sentimen ideologis, dimana secara komunal turut menginspirasi perlawanan teks sastra. Bagaikan potret akhir siklus revolusi anti imperialis, yang kemudian dijadikan oleh kaum kiri menjadi gerakan bersama melawan kapitalisme modern. Kontestasi sastra muncul dalam kejutan-kejutan heroik, yang   memprioritaskan ruang ruang kebebasan membangun teks lebih lebar, selebratif, bahkan provokatif.

Melihat Indonesia masa lalu, tak ubahnya melihat sebuah portofolio perjalanan politik dan sistem demokrasi kita. Mulai pasca Dekrit 5 Juli tahun 1959 lalu. Setelah Presiden Soekarno mengubur sistem parlementarian atau demokrasi parlementer, ke sistem presidential dengan Demokrasi Terpimpin. Kemudian dirubah lagi menjadi Demokrasi Pancasila oleh Soeharto. Pada fase reformasi, demokrasi kita justeru direbut elit oligarki. Hanya mempertemukan kepentingan jangka pendek bersifat pragmatis dan transaksional.

Masa lalu, tragedi dan kegetiran menjadi luka sejarah yang tak pernah sembuh. Kebodohan dan kemiskinan masih menyelimuti jutaan orang. Bagaimana mungkin karya sastra menyepakati sebuah Indonesia, ketika berganti pemimpin luka-luka tersebut tak juga berakhir. Bahkan keterpurukan itu menjadi alat kampanye politik untuk merebut simpati rakyat. Dan lihatlah hasil pemilu yang menghabiskan trilyunan uang negara. Tidak lebih sebatas prosesi politik dan bagi-bagi kekuasaan para elit di negeri ini.

***

Pasca reformasi, setelah robohnya pemerintahan Orde Baru, kita mengalami diferensiasi memilih sikap bersastra. Pindah ke "rumah" baru (mainstream) atau bertahan di "rumah" lama. Isu-isu demokrasi dan desentralisasi masa euphoria tersebut hanya berhasil mengkontestasi karya sastra sebagai luapan dendam dan kemarahan yang berulang-ulang terhadap rezim Soeharto. Semua orang marah. Semua orang tiba-tiba menjadi pemberani dan heroik. Semua orang berteriak tentang konstitusi, amandemen berbagai aturan pemerintahan dan negara.

Indonesia betul-betul kebingungan mengapresiasi dirinya di tengah kejutan-kejutan heroik tersebut. Hiruk pikuk situasi politik dengan tumbuhnya puluhan partai, dalam sekejap membelah menjadi pribadi-pribadi yang gamang. Jutaan orang panik. Mereka bingung mencari ibu dan bapak bangsa yang sebenar-benarnya. Selalu saja dibohongi. Selalu saja ditipu.

Pandangan tersebut sebagai fakta dari rentetan peristiwa yang telah dan sedang berlangsung hingga saat ini. Saya teringat seniman, sastrawan, dan aktifis sosial, diskusi dan kumpul di pojok-pojok kota, mendiskusikan keadaan masa itu. Sebelum Orba dan Soeharto turun tahta. Seperti orang gila, mereka berteriak-teriak. Menulis sajak, menulis apa saja, sebagai kegelisahan atas ketertindasan oleh sistem kekuasaan otoriter Soeharto. Mereka terus berteriak sampai ke kampus-kampus perguruan tinggi. Terus berteriak, hingga lapar dan kemiskinan sudah tak mereka rasakan lagi.

Ternyata kemiskinan tidak membuat bodoh. Kemiskinan menjadi inspirasi melahirkan karya-karya tulisan yang menggugat, melawan rezim kekuasaan. Beruntunglah masa itu mereka tidak ikut diculik militer. Sehingga tidak memiliki kesempatan merapat ke lingkaran kekuasaan.


Apakah kita masih setia berjaga di garis pinggiran. Garis yang selalu diyakini lebih tepat untuk berjaga dan mengawasi Indonesia. Atau masuk ke tengah lapangan dan ikut bermain? Lalu melukis anasir-anasir moral sebuah kekuasaan baru. Berdiri dalam keramaian, menghapali satu-satu dari ribuan warna yang datang. Sampai akhirnya menjadi monumen patung yang berlumuran warna. Bernama Indonesia. 

Setiap hari. Masih terdengar dengusan kawan-kawan diskusi, tiba-tiba meragukan sebuah negara. Meragukan Indonesia. Meragukan pemimpinnya. Meski pun presiden sudah dipilih langsung oleh rakyat. "Memang ada perubahan dalam konteks reformasi politik. Tetapi dari struktur geo-politik dan kebijakan ekonomi, Indonesia masih setia menjadi boneka neoliberalisme, yang menjalankan kepentingan global Amerika Serikat," sanggah mereka. "Apa bedanya seperti Soeharto yang selalu melayani resep IMF dan World Bank," tegasnya.

Menurut mereka, pemimpin terpilih pada pemilu lalu, seperti ingin menjelmakan kembali praktek rezim masa lalu,  yang dibingkai keyakinan liberal. Mereka beranggapan ekonomi akan optimal, jika lalu-lintas barang atau jasa atau modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu hanya akan terjadi bila digerakkan oleh konsep ’Homo Economics’, yaitu barang atau jasa atau modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya, sehingga ”Private Property” pun menjadi absolut tanpa tanggung-jawab peran sosial apapun juga termasuk negara. Dan keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik.

Rezim Orba dan rezim masa sekarang nyaris sama saja. Keduanya menggerakkan kebijakan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada swasta. Sektor-sektor publik seperti yang ditangani pemerintah lewat BUMN-BUMN pun diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan pasar. Negara tidak untuk menjamin kesejahteraan umum, apa lagi memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apa pun. Mereka memangkas subsidi kebutuhan rakyat. Juga menekan beban pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan.

***

Betul, kita semakin tua. Hanya beberapa lembar portofolio yang mungkin sempat dicatatkan dalam perjalanan dan perjuangan hidup. Portofolio tersebut kelak bisa membuat kita tertawa atau menangis. Menulis kekalahan dan kemenangan. Atau bisa saja menjadi pemuas hati untuk melepaskan romantisme waktu, dan kegenitan masa lalu. Atau jadi syair kematian dalam sejarah.

Jika tak malu dibilang berkontemplasi, setengah abad lebih adalah waktu yang cukup bagi semua orang melihat dirinya, menjaga dirinya, menjaga persahabatan, keluarga dan lingkungan hidup sekitarnya. Karena sudah tak ada waktu lagi kita untuk segera menandai identitas siapa kita. Mengumpulkan kembali penandaan yang berserakan. Atas nama identitas, “in the name of identity.” Sekedar memastikan, apakah kita masih setia berjaga di garis pinggiran. Garis yang selalu diyakini lebih tepat untuk berjaga dan mengawasi Indonesia. Atau sebaliknya. Masuk ke tengah dengan meyakini kekuatan moral?  

Saya tutup tulisan ini dengan narasi pendek, 15 tahun lalu:
Ketika kedukaan itu bukan lagi tangisan.
Kita bersiap pergi, tidak dengan airmata. Tidak dengan luka.
Tidak atas nama kekalahan atau kemenangan.
Kita pergi bersama janji yang melahirkan kita! ***


Kemiling, Bandar Lampung, Agustus 2009.





ORKES MASA LALU


Kamis, 19 Maret 2015

Sebungkus Deterjen dan Hiperrealitas Pilpres

Oleh  Conie Sema


DRAMA Pilpres 2014 betul-betul unik dan menarik. Seperti eksprimental teater yang mengeksplorasi semua ruang, merekonstruksinya menjadi ruang-ruang baru. Lebih seru lagi, tingkat partisipasi aktor yang terlibat sangat beragam dan tidak mengenal kelas. Peristiwa demi peristiwa berlangsung cepat dan tanpa batas.

Adu argumentasi, adu fakta, adu opini publik, adu komen-komen jahil, adu fitnah, adu gambar atau foto kreatif. Pilpres 2014 ini juga menyedot energi media cetak, televisi, radio, dan online, yang juga tidak mengenal kelas. dari lembaga pers nasional yang bergengsi dan menjadi acuan media negeri ini, hingga media pinggiran ikut menerjunkan dirinya. Terlibat langsung suksesi Pilpres. “Media tidak harus netral,” kata Gunawan Muhammad si pemilik Tempo

Maka mulailah babak drama teater itu berlangsung. Hiruk pikuk terjadi di mana-mana, sampai ke kamar tidur, suami berdebat dengan isterinya karena berbeda pilihan Capres. Semua orang beropini. Mereka mengambil referensi dari nonton televisi, buka facebook dan tweeter, nguping cerita tetangga atau kawan se kantor. Isu-isu agama, hujatan rasial pun, keluar begitu saja. Tidak ada lagi batas etika dan moral

Situasi gemuruh massal ini, mengingatkan saya ketika aktif di Teater Potlot: “Sebungkus Deterjen Hari Ini,” (Cibubur, 1993). Pementasan itu, beranjak dari keinginan menggambarkan atau mensimulasikan realitas yang terjadi masa Orde Baru. Simulasi realitas rezim yang berkuasa saat itu, membentuk persepsi yang cenderung palsu, namun dibuat seolah mewakili kenyataan.

Bahasa dan alat ucap pun, menjadi presentasi realitas melalui pencitraan (simulacrum) yang dikemas sedemikian rupa oleh media massa. Membangun kekuasaan rezim bahasa. Menjadi hiperreal antar bahasa rakyat dan bahasa kekuasaan. Dan itu menjadi siasat supaya masyarakat mengalami kesulitan dalam memahami relevansi antara bentuk dan isi, kebingungan menyerap antara yang sejati dan semu.

Ruang pemaknaan di mana dijejali terus menerus tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis. Membuat tumpang tindih dalam cara kita menyikapi antara yang real dan virtual, antara yang sejati dan yang palsu.  

“Ini deterjen. Mereknya, Dino. Ini Baskom plastik. Ini pakaian kotor. Saya akan mencuci pakaian ini. Ini sepatu. Ini radio transistor, mereknya Nasional. Ini air. Air saya masukan ke baskom. Ini deterjen, saya taburkan ke air di dalam baskom ini. Pakaian kotor, sepatu, dan radio ini, saya masukan ke baskom. Saya mulai mencuci!”  

Demikian salah satu kutipan dialog pementasan itu. Saya simulasikan realitas produk dan tanda untuk menjelaskan objek itu sendiri. Karena presentasi (visual/gambaran) menjadi hal yang lebih penting dari objek yang sebenarnya. 

Dalam proses mencuci itu, saya berjaga-jaga untuk mempertahankan tanda-tanda realitas asli (sign of reality). Kenyataannya gagal. Tenggelam oleh situasi hiruk pikuk tanda-tanda yang melampaui realitas aslinya (hyper sign). Inilah yang dinamakan Hiperrealitas Jean Baudrillard. Menurut tokoh postmodern ini, hiperrealitas menciptakan suatu kondisi dimana kepalsuan bersatu dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. 

Penandaan “mencuci” dalam pementasan itu, menjadi chaos interprestasi. Tak menentu.  Tidak lagi membutuhkan representasi sutradara dan skenario cerita. Bahkan keberadaan aktor, tidak begitu penting lagi. Mengingat properti dan benda-benda dalam sekejap berubah menjadi penandaan simulatif. Seperti fenomena simulakrum dunia Disney dibangun dari proses imajinasi, yang sebelumnya tidak ada. Kehadiran makhluk seperti Donald, Mickey dan lain-lain ada dalam sekejap, tidak melalui proses evolusi Darwin, misalnya. Kemudian dijustifikasi oleh kekuatan media seperti televisi, koran, radio, dan media sosial menjadi lebih simulatif. 

Kontestasi Pilpres 2014, menjadi hal yang wajar jika banyak orang yang pusing oleh lalu lintas informasi yang sengkarut. Seorang kawan, aktor relawan pendukung salah seorang Capres, sewot dan panik, karena akunnya diserang posting-posting pendukung kandidat Capres dari kubu lawan politiknya. Bukan persoalan content, tapi postingnya yang menjadi representasi kemarahan kawan saya itu. 

Seperti dikatakan Baudrillard, bahwa manusia mendiami ruang realitas. Dimana perbedaan antara yang nyata dan yang semu, yang asli dan yang palsu sangat tipis. Sementara media sosial seperti facebook dan lainnya adalah ruang publik yang terbuka bebas. Dalam penjelasannya, Baudrillard mengatakan, pada kondisi masyarakat saat ini, media mempunyai suatu peranan penting dalam penyebaran realitas, dimana penyebaran tersebut akan diterima manusia (masyarakat). Kemudian masyarakat tersebut menyerapnya. Menganggap bahwa informasi tersebut sebagai suatu kebenaran, yang padahal hanyalah sebuah realitas semu.

Pencitraan kandidat presiden, termasuk ke fenomena hiperrealitas itu. Asraf Amir Piliang dalam Dunia yang Berlari (2006), mengingatkan bahwa manusia modern telah terjebak dalam permainan tanda dan citra bujuk rayu dan ketersesatan tanpa tujuan. Pencitraan (semu) gaya hidup menjadi segala-galanya. Sehingga representasi tanda menciptakan mitos baru yang mengambil alih makna secara utuh. Proses ini dikenal sebagai imagologi atau penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan imaji tentang realitas. Misalnya sosok yang jujur dan merakyat. Atau sosok yang tegas dan pemberani.

Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas-semu Amerika, adalah representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Mereka lebih berhasil membangun imaji-imaji semu dibanding fakta yang sebenarnya.

Pertanyaan kita, mengapa hiperreal terjadi pada Pilpres 2014? Padahal kondisi hiperealitas seperti di atas, oleh Baudrillard, dimaknai sebagai “the simulation of something which never really existed” (simulasi realitas yang pada dasarnya tidak pernah ada). Sementara Umberto Eco menyebutnya sebagai “the authentic fake” atau kepalsuan yang otentik. Baik Eco maupun Baudrillard melihat adanya realitas yang saling tumpang tindih dalam cara kita menyikapi antara yang real dan virtual, antara yang sejati dan yang palsu. Hal ini berarti bahwa esensi utama memilih pemimpin saat ini, telah mengalami pergeseran fundamental oleh karena sesuatu yang lain yang pada kenyataannya lebih banyak mengandung semangat pragmatisme dan kepentingan (konsumerisme) kelompok atau individual tertentu ketimbang spirit kebangsaan atau nasionalisme.

Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagaiآ sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).

Dalam pentas Teater Potlot  “Sebungkus Deterjen Hari ini”, saya menggambarkan pragmatisme William James, itu dengan cerita, “Lydia dan Godot Belanja Gula-gula” karya T. Wijaya. Dimana terjadi teks menjadi teori kebutuhan dasar dan kebutuhan pertumbuhannya Abraham Maslow (1943-1970). Sebuah proses manusia menuju kebutuhan pertumbuhan dengan keterlibatan dan hubungan sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Perubahan itu sangat paradoks dengan sisi lain anggota masyarakat yang masih harus bersusah payah mencari makan, perlindungan, dan rasa aman. 

Maka, dalam menuju proses itulah pragmatisme berubah menjadi destruktif dan menakutkan. Orang atau institusi melakukan apa saja untuk mengejar hasil yang mereka inginkan.

Dalam dunia politik di Indonesia, dapat kita lihat bagaimana Orde Baru menerapkan pragmatisme tersebut tanpa peduli dengan nilai. Apa saja dikerjakan oleh rezim itu asal menguntungkan kekuatan politik mereka. Misalnya, fitnah (Petisi 50), rekayasa isu mendirikan Negara Islam (Hispran akhir 1970-an), isu GPK dan pembunuhan (Talangsari dan Tanjung Priok 1984), dan kampanye anti-Pancasila (1985), dan masih banyak lagi yang lain-lainnya.

Pragmatisme dalam bisnis masa Orde Baru, melahirkan kroni dan para konglomerat yang tak peduli dengan Indonesia. Para investor asing masuk menguras kekayaan Indonesia dan membawa hartanya keluar. Penyair WS Rendra pernah bilang; “Mereka berkoar-koar nasionalisme, tetapi harta kekayaan negeri ini dijual dan dirampok keluar negeri!”

Pilpres 2014 ini merupakan drama panjang yang menguras energi putra-putri negeri ini. Epilognya, kita berharap fenomena hiperrealitas tersebut tidak menghasilkan ketakutan dan rasa kuatir kita, kembali ke masa-masa sulit beberapa dekade kepemimpinan masa lalu. Siapa pun pemimpin terpilih, kita ingin kontestasi politik yang dibarengi simulasi semu tersebut, berbalik menjadi realitas asli (sign of reality). Atau bahasa lainnya, presentasi mimpi menjadi kenyataan.

Saya pun menginginkan, peristiwa mencuci “Sebungkus Deterjen Hari ini”, tidak lagi berhadapan dengan hiper-realitas masa Orde Baru. Tetapi betul-betul membersihkan hati nurani para pemimpin negeri ini dari kepentingan pragmatis seperti diuraikan di atas. Bahkan, kita berharap, mampu menjernihkan pikiran kita akan ke-Indonesiaan. Sebuah era baru yang membangkitkan spirit kebersamaan. Menjadi bangsa berdaulat, menuju kemakmuran yang adil bagi seluruh rakyat negeri ini. Semoga! ***

Conie Sema, mantan koresponden RCTI di Lampung. Banyak menulis esai-esai kebudayaan di sejumlah media, dan pernah aktif berkesenian di Teater Potlot. 

 Kompasiana, 18 Juli 2014