SERI ARSIP
Surat Terbuka GM
dan Pram Perihal Maaf
ctober242015
Surat Terbuka untuk
Pramoedya Ananta Toer*
oleh Goenawan Mohamad
Seandainya ada Mandela di sini. Bung Pram, saya sering
mengatakan itu, dan mungkin mulai membuat orang jemu. Tapi Mandela, di Afrika
Selatan, menyelamatkan manusia dari abad ke-20. Tiap zaman punya gilanya
sendiri. Abad ke-20 adalah zaman rencana besar dengan pembinasaan besar. Hitler
membunuh jutaan Yahudi karena Jerman harus jadi awal Eropa yang bersih dari ras
yang tak dikehendaki. Stalin dan Mao dan Pol Pot membinasakan sekian juta
“kontrarevolusioner” karena sosialisme harus berdiri. Kemudian Orde Baru: rezim
ini membersihkan sekian juta penduduk karena “demokrasi pancasila” tak
memungkinkan adanya orang komunis (dan/atau “ekstrim” lainnya) di sudut
manapun.
Rencana besar, cita-cita
mutlak, dan mengalirkan darah. Manusia menjadi penakluk. Ia menaklukkan yang
berbeda, yang lain, agar dirinya jadi subjek.
Mandela bertahun-tahun di
penjara, orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun ditindas, tapi kemudian
ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak sepenuhnya benar: manusia
ternyata bisa untuk tak jadi penakluk. Ia menawarkan rekonsiliasi dengan bekas
musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si objek jadi sang subjek.
Tiap korban yang mengerti rasa
sakit yang sangat tak akan mengulangi sakit itu bahkan kepada musuhnya yang
terganas. Ia.akan menghabisi batas
antara subjek dan objek. Makna “rekonsiliasi” di Afrika Selatan punya analogi
dengan impian Marx: karena proletariat tertindas, kelas ini berjuang agar
setelah kapitalisme ambruk, segala kelas sosial pun hilang. Proletariat tak akan
mengakhiri sejarah dengan berkuasa, melainkan menghapuskan kekuasaan, pangkal
lahirnya korban-korban. Sejarah adalah sejarah penebusan kemerdekaan. Utopia
itu tak terlaksana, tapi tiap utopia mengandung sesuatu yang berharga. Begitu
ia menang, Mandela membongkar kembali tindak sewenang-wenang para petugas rezim
apartheid yang menindasnya (dan juga tindak sewenang-wenang pejuang kemerdekaan
pendukung Mandela sendiri). Proses itu mirip “pengakuan dosa” di depan publik.
Kemudian: pertalian kembali.
Mandela menunjukkan, bahwa pembebasan yang sebenarnya adalah pembebasan bagi
semua pihak. Bung Pram, saya ragu apakah Bung akan setuju dengan asas itu. Bung
menolak ide “rekonsiliasi”, seperti Bung nyatakan dalam wawancara dengan Forum
Keadilan 26 Maret 2000 pekan lalu. Bung menolak permintaan maaf dari Gus Dur.
“Gampang amat!”, kata Bung. Saya kira, di sini Bung keliru.
Ada beberapa kenalan, yang
seperti Bung, juga pernah disekap di Pulau Buru, di antaranya dalam keadaan
yang lebih buruk. Mereka sedih oleh pernyataan Bung. Saya juga sedih, karena
Bung telah bersuara parau ketidak-adilan. Justru ketika berbicara untuk
keadilan. Bung terutama tak adil terhadap Gus Dur. Bagi seseorang dalam posisi
Gus Dur, (Presiden Republik Indonesia, pemimpin NU, tokoh Islam, yang tumbuh
dalam masa Orde Baru), meminta maaf kepada para korban kesewenang-wenangan 1965
berarti membongkar tiga belenggu yang gelap dan berat di pikiran banyak orang
Indonesia.
Belenggu pertama adalah
kebiasaan seorang pemimpin umat untuk memperlakukan umatnya sebagai kubu yang
suci. Dengan meminta maaf, Gus Dur memberi isyarat bahwa klaim kesucian itu tak
bisa dipertahankan, dan tak usah. Tiap klaim kesucian bisa jadi awal
pembersihan dan kesewenang-wenangan. Dengan meminta maaf, diakui bahwa dalam
peristiwa di tahun 1965 sejumlah besar orang NU, juga orang Islam lain – juga
orang Hindu di Bali dan orang Kristen di Jawa Tengah – telah terlibat dalam
sebuah kekejaman. Mengakui ini dan meminta maaf sungguh bukan perkara gampang.
Bung Pram toh tahu tak setiap orang sanggup melakukan hal itu. Mungkin juga
Bung sendiri tidak akan.
Dengan meminta maaf Gus Dur
juga membongkar belenggu tahayul selama hampir seperempat abad: bahwa tiap
orang PKI, juga tiap anak, isteri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan.
Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang
terjadi sejak 1965 itu? Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar di tahun
1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak
keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu. Kita ingat
kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau
diperbudak.
Gus Dur agaknya tak
menginginkan kezaliman itu. Ia, sebagai presiden, membiarkan dirinya dipotret
duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur hidupnya jadi
pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada gugatan: bersalahkah
Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak. Tak banyak tokoh
politik yang berbuat demikian, Bung Pram. Tak gampang untuk seperti itu. Gus
Dur juga telah membongkar belenggu ”teori” tua ini: bahwa PKI selamanya
berbahaya. Ia bukan saja minta maaf kepada para korban pembasmian massal 1965.
Ia juga hendak menghapuskan larangan resmi bagi orang Indonesia untuk mempelajari
Marxisme-Leninisme. Ia seperti menegaskan bahwa komunisme adalah masa lampau
yang menjauh, gagal—juga di Rusia dan Cina. Memekikkan terus “bahaya komunis”
adalah menyembunyikan kenyataan bahwa PKI jauh lebih mudah patah dalam
perlawanannya dibandingkan dengan gerakan Darul Islam.
Siapa yang menghentikan masa
lalu, akan dihentikan oleh masa lalu. Gus Dur tidak. Ia sering salah, tapi ada
hal-hal pelik yang ia tempuh karena ia ingin masa lalu tak jadi sebuah liang
perangkap. Ia memang bukan Mandela yang pernah dirantai. Tapi seorang korban
yang memaafkan sama nilainya dengan seorang bukan-korban yang meminta maaf.
Maaf bukanlah penghapusan dosa. Maaf justru penegasan adanya dosa. Dan dari
tiap penegasan dosa, hidup pun berangkat lagi, dengan luka, dengan trauma, tapi
juga harapan. Dendam mengandung unsur rasa keadilan, tapi ada yang membedakan
dendam dari keadilan. Dalam tiap dendam menunggu giliran seorang korban yang
baru.
Begitu sulitkah Bung menerima
prinsip itu? Karena masa lalu seakan-akan menutup pintu ke masa depan? Sekali
lagi: siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu.
Tapi mungkin juga Bung hanya
bisa melihat korban sebagai perpanjangan diri sendiri. Seakan di luar sana tak
mungkin ada. Dalam wawancara, Bung menyatakan setuju bila orang-orang yang tak
sepaham dengan Revolusi disingkirkan (ini di masa “Demokrasi Terpimpin”
1959-1965, ketika sejumlah suratkabar dibrangus, sejumlah buku & film &
musik dilarang, sejumlah orang dipenjarakan). Bung mengakui ini semua melanggar
hak asasi. Dan Bung punya argumen: waktu itu “Perang Dingin” dan Indonesia
dalam bahaya. Tapi kekuasaan apa yang berhak menentukan ada “bahaya” atau
tidak? Dan jika adanya ”bahaya” bisa menjadi dalih penindasan, Soeharto pun
menjadi benar. Ia juga dulu mengumumkan Indonesia terancam bahaya (”komunis”)
di Perang Dingin, maka rezimnya pun membunuh, membuang, dan mencopot entah
berapa ribu orang dari jabatan. Dan pengadilan dibungkam. Bung memang
menambahkan: ingat, pelanggaran hak asasi waktu Bung Karno tak seburuk dengan
yang terjadi di masa Orde Baru. Mochtar Lubis, korban Demokrasi Terpimpin, tak
dikurung di Pulau Buru, tapi di Jawa. Memang ada perbedaan. Tapi adakah
peringkat penderitaan? Bagaimana membandingkannya? Di mana ukurannya, bila di
masa yang sama, apalagi di masa yang berbeda, ada yang ditembak mati, ada yang
disiksa, ada yang di sel, ada yang di pulau?
Dalam sejarah
kesewenang-wenangan, semua korban akhirnya diciptakan setara, biarpun berbeda.
Suatu hari dalam kehidupan Pramudya Ananta Toer di Pulau Buru setara
terkutuknya dengan suatu hari dalam kehidupan Ivan Denisovich dalam sebuah
gulag Stalin. Tak bisa ada hierarki dalam korban, sebagaimana mustahil ada
hierarki kesengsaraan.
Saya kira ini penting
dikemukakan. Di zaman ketika sang korban dengan mudah dianggap suci, seorang
yang merasa lebih ”tinggi” derajat ke-korban-annya akan mudah merasa berhak
jadi maha hakim terakhir. Tapi seperti setiap klaim kesucian, di sini pun bisa
datang kesewenang-wenangan. Mandela tahu itu. Gus Dur mungkin juga tahu itu.
Keduanya merendahkan hati. Saya pernah mengharapkan Bung akan bersikap sama.
Saya pernah harapkan ini, Bung Pram: bukan sekedar keadilan dan hukum yang adil
yang harus dibangun, tapi di arus bawahnya, kebencian pun lepas, dan kemudian
hilang, tenggelam. Saya tak tahu masih bisakah saya berharap.
* Tulisan GM ini dimuat di
Majalah Tempo 3-9 April 2000, dan dimuat ulang dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi(2004).
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saya
Bukan Nelson Mandela
(Tanggapan
buat Goenawan Mohamad)
oleh
Pramoedya Ananta Toer
Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan
Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima
permintaan maaf yang diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April
2000), seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas
bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya
bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia.
Di Afrika Selatan penindasan
dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan
hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia
tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat. Lebih dari itu,
saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma
basa-basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu. Saya
tidak memerlukan basa-basi.
Gus Dur pertama-tama harus
menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa harus dia yang
mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya, kenapa dia
berbicara sebagai presiden? Dan jika dia bicara sebagai presiden, kenapa
lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam kapasitasnya
sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunyai
lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR
mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu.
Yang saya inginkan adalah
tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena
tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut
DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya
menganggapnya sebagai basa-basi.
Saya tidak mudah memaafkan
orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya
menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia
dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya
menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan,
dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah
satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya
tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu
direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan
KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai
sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.
Basa-basi baik saja, tapi hanya
basa-basi. Selanjutnya mau apa? Maukah negara mengganti kerugian orang-orang
seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua
yang saya miliki.
Minta maaf saja tidak cukup.
Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum. Jadikan itu keputusan
DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa-basi minta maaf. Tidak pernah ada
pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. Semua menganggap saya
sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok
habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru
menangkap saya.
Ketika dibebaskan 14 tahun
lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun,
setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya Nyanyi Sunyi Seorang
Bisu yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan
Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan.
Saya sudah kehilangan kepercayaan.
Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian
dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite
politik Indonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini
memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas
penderitaan yang saya alami. Mereka ikut bertanggung jawab atas
pembunuhan-pembunuhan Orde Baru.
Goenawan mungkin mengira saya
pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam. Tidak. Saya justru sangat
kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua
yang dimiliki bangsanya sendiri.
Saya sudah memberikan semuanya
kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini. Sekarang saya
tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin
saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi
bisa menghibur saya.
Hehehe...Pram memang keras dan keren. Gunawan membalas suratnya Pram nggak ya.
BalasHapusYa. Pram konsisten.GM TDK lagi membalas.👍
HapusTabek...
BalasHapusTabek juga. Tks SDH berkunjung ke blog saya. 🙏
Hapus