Sketsa Shibuya
by Conie Sema
LABERTO Chan, beberapa kali menghembuskan rokok
kreteknya, di pojok halaman sebuah mall di Shibuya. “Ini lokasi surga,”
bisiknya pelan ke telingaku. "Smoking Area, Please!" teriaknya sambil mengacungkan dua jarinya. "Tobacco a gift from the Creator..!"
Laberto
mengaku warga Hongkong. Aku kenal dia, dari sahabatku Johan, warga
Malaysia. Laberto perokok berat. Makanya dia cepat akrab denganku. Kami
merasa seperjuangan, sama-sama berjuang mencari area kebebasan.
Kebebasan bisa sepuas hati menikmati candu rokok, dalam kelembaban udara
Tokyo. “Salam bagi Meiji Sang Agung!” begitulah kalimat yang selalu
diulang-ulang Laberto, acap kali bertemu wilayah surganya.
Bagiku
dan mungkin juga bagi Laberto, kebebasan dapat muncul seketika ketika
kami berada di luar wilayah yang serba mengatur dan serba melarang. Di
negaranya sendiri, Hongkong, merokok di area larangan didenda cukup
besar. Di wilayah publik seperti bandara Kwo Lon, merokok didenda 5.000 $
HK! Jadi pantaslah ketika ketemu wilayah bebas merokok, Laberto
menganalogikannya sebuah kebebasan. Setidaknya selamat dan bebas dari
denda serta ancaman hukuman lainnya.
“Manusia merasa bebas ketika
lepas dari ancaman?” kataku menyindir Laberto, sembari mengeluarkan
rokok yang sengaja aku bawa dari negeriku. Laberto tersenyum. “Di sini
mereka membangun dan memelihara budaya, bukan politik demokrasi seperti
di negaramu,” tanggapnya. “Indonesia persis negeriku Hongkong. “Kami
baru saja melepaskan diri dari imperialisme Inggris. Begitu pun
negerimu, baru saja merdeka dari jajahan Rezim Soeharto.”
“Jadi,
wajar saja. Setiap pojok orang selalu bicara kebebasan dan demokrasi,”
lanjutnya. “Hingga persoalan area merokok pun, diibaratkan tanah surga,
atau bagian dari bentuk-bentuk ritual kebebasan rakyat,'' ujar Laberto. "Kebebasan para
perokok..hahaha!” Dan itu potret prilaku warga yang berada dalam era
transisi politik maupun budaya, tambahnya.
“Kita harus memaklumkan jika sering menemukan perilaku-perilaku aneh di masyarakat,
seperti juga di negaraku. Perilaku para elitnya, juga tidak beda.
Pokoknya serba aneh-aneh!” Tidak hanya para elit, media massa juga sama, tambah Laberto. "Mereka sudah tidak peduli dengan jargon "independent" atau "not participate", karena menurut mereka, itu ungkapan usang. Masyarakat dijejali berita-berita provokatif bahkan cenderung tendensius menyerang lawan politik mereka. Antarmedia partisan itu, hingar bingar saling sahut bersahut, mempromosikan kandidat masing-masing."
Aku kembali menghisap rokokku.
Perkataan Laberto mengingatkan aku pada hiruk pikuk pemilu di tanah air.
Betul. Banyak sekali kita menemukan perilaku aneh-aneh bahkan
lucu-lucu, baik dari rakyat yang bertarung merebut kursi parlemen, juga
elit-elit partai politik yang Juli nanti berebut kekuasaan melalui
pemilu presiden. Menjadi tontonan serba lengkap. Dari drama komedi,
horor, percintaan, dan cerita hero atau pesilat. Tontonan serba lengkap
ini disajikan setiap hari, mulai dari televisi, koran, dan media Online.
Para pemainnya bermacam rupa. Ada yang terlihat beringasan. Ada yang
bersahaja. Ada yang jaga image. Ada yang bergaya oposisi. Ada juga
terlihat panik, atau panik beneran!
Di tengah tontonan itu, ada
kata yang sangat populer mereka sebutkan yakni: Koalisi. Tukang becak,
buru bangunan, pedagang ikan dan pedagang sayur di pasar, sangat lafal
mengucapkan kata "Koalisi". Selain itu, ada gejalah baru lagi, nama para
elit diucapkan dan ditulis dengan singkatan atau initial misalnya: SBY,
JK, WR, HT, AT, SB, TK, BD, SM, PB, MG, AB, SDA, HNW, SH, dan
lain-lain.
“Beginikah potret perilaku orang-orang di era transisi,”
tanyaku dalam hati, sambil menoleh ratusan bahkan ribuan orang yang
setiap hari menyeberang di perempatan jalan Shibuya. “Apakah di negara
lain, proses transisi menuju demokrasi sejati, dimulai dengan potret
lucu dan aneh-aneh seperti itu?” tanyaku. "Jangan-jangan kitalah yang lucu dan aneh itu, karena gagal mendiskripsikan prilaku mereka..hahaha!" sergah Laberto sambil tersenyum.
Aku tak
sempat menambah pertanyaan lagi, ketika Laberto menarik tanganku
mengajakku melanjutkan perjalanan menuju kereta JR Metro, di stasion
Shibuya. “Kita tinggalkan tanah surga,” bisikku ke Laberto. "Tobacco a
gift from the Creator..!" Kami berdua serentak tertawa. Tertawa-tawa
dalam kerumunan orang-orang di penyeberangan jalan -- yang diklaim
teramai di dunia itu. (***)
Minggu, 05 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar