Rabu, 18 Maret 2015

Esai Teater


TUBUH TANPA SEJARAH
Oleh Conie Sema

Illustrasi by Google.
"Teater dan aku dikejutkan narasi media. Menerobos ke rumahku. Ia melangkah jauh. Tubuhnya besar. Berkaki panjang. Melenggang memasuki ruang demi ruang. Begitu cepat. Melewati kesadaranku untuk menolaknya. Sampai ke kamar tidur. Bersamaku. Aku tak mampu mengurai peristiwa apa yang terjadi."
 
"Hampir setengah abad kami terkepung ke dalam bentuk aneh. Gestur-gestur tak dapat dikenali. Di ruang tidur, dalam mimpi, sampai terbangun esok pagi, semua properti rumah bergerak mengikuti narasi media. Menjadi tubuh yang berkembang biak begitu cepat. Membangun ornamen bahasa dirinya sendiri di setiap pojok ruang. Aku bertahan sembari menghapal satu demi satu penandaan yang muncul. Terjadi perubahan. Tubuhku tiba-tiba begitu akrab dengan narasi-narasi tersebut. Merasa menjadi bapak dari mereka. Menjadi ibu yang melahirkan tubuh-tubuh baru. Dalam hitungan detik. Tanpa sejarah. Tubuh-tubuh yang terbebas dari ruang dan waktu. Tak lagi bertanya, siapa ibu bapaknya."
 
Banyak peristiwa paradoks ketika struktur atau bentuk-bentuk yang selama ini disepakati, berubah fungsi dan maknanya. Dalam kehidupan sehari-hari peristiwa itu, bagi orang tertentu, dianggap biasa. Sebagaimana proses menjadi ada (eksistensialisme). Pasca dramatik, teater bergerak, meninggalkan dominasi teks bicara. Tubuh aktor menjadi narasi. Tubuh pun membangun peristiwa dirinya sendiri. Melahirkan ribuan tubuh baru bersama peristiwa melatarinya. 
 
Teater menjadi sosok yang hilang dari keagungan karakter. Seluruh tokoh tidak lagi memperbincangkan persoalan menjadi dirinya atau orang lain. Teater tak lagi berkata-kata dalam ruang dialog. Tubuh pun merupa jutaan gambar dan narasi. Tak ada ketakutan dan ancaman pada nilai-nilai etis. Juga serpihan-serpihan tubuh seperti "teater kejam" The Theatre of Cruelty Antonin Artaud. 
 
Lansekap tubuh sebagai esensi pemaknaan, datang pergi tanpa tahapan sejarah dan proses waktu. Sangat cepat dan sulit ditandai. Nilai budaya, tradisi, entitas kedaerahan, tidak lagi menjadi pilihan objek dari pergumulan cerita. Juga peristiwa demi peristiwa masa lalu. Seakan hendak mengatakan realitas sejarah ibu dan anak. Seperti dialog kegelisahan mengucapkan kembali 100 tahun bersama ibu.
 
Tubuh kadangkala sulit melepaskan kesakitan sebuah peristiwa yang tidak lagi menjadi sejarah. Tetapi tubuh tetap saja dipaksa menjadi realitas dirinya dengan segala fase dan tahapan untuk menjelaskan teks. Hingga hari ini, saya melihat tak ada ruang kosong. Jeda atau ruang sunyi seperti dikatakan Jacques Lacan -- buat tubuh beristirahat dari konstruksi teks yang dimainkn. Peristiwa apa lagi. Kerepotan apa lagi? Ketika tubuh gagal mendekonstruksi masa lalunya untuk hari ini. Kita bertahan di 'luar' atau di 'dalam'. Atau mengambil posisi 'berjaga-jaga' dari lintasan yang begitu cepat untuk ditandai.
 
Adakah yang ganjil ketika teater menghitung beragam teks lain dari panggung pertunjukan, apa bila sanggup menghibur, berempati dan lain-lain. Atau sebaliknya, membosankan. Standarisasi itu yang mengesankan aku menjadi "lain" ketika melihat tubuh secara naratif, menjadi sosok lain yang melepaskan hitungan matematika atau persoalan ibu dan anak. Sehingga aku harus mencari pengucapan lain dari fenomena narasi media yang setiap hari masuk ke rumah -- tanpa ukuran tubuh yang jelas.
 
"Aku membaca rumahku, setelah 100 tahun menutup pintu ibu." Kalimat pendek itulah yang muncul, sebagai siasat tetap bertahan dalam ruang-ruang yang disibukkan peristiwa penandaan. Aku seakan berteriak mengajak orang-orang di kampungku, memecah tubuhnya menjadi pribadi yang tak pernah muncul sebelumnya. Berat. Tetapi setidaknya ada kegelisahan baru melahirkan sebuah peristiwa teater. Meski menjumpai kesepian baru. 
 
Tubuh teater kita hari ini bukan tubuh liar. Ia masih dikuasai narasi. Kisah-kisah kecemasan. Kabar media. Kemarahan alam. Konflik keyakinan dan sentimen etnis. Politik kekuasaan. Wabah kesehatan. Maut dan kematian. Simbol-simbol emergensi dan tanda bahaya. Mungkin kita butuh rumah masa lalu. menjadi anak-anak setiap pagi mengapit buku, pergi ke sekolah.
 
Stanislavski ada dalam tubuh yang dinyatakan. Teater cenderung hanya sebatas sekolah dan pergi ke masjid. Ruang lain menjadi sepi tak terisi. Teater mungkin berusaha hadir dalam ruang kesepian itu. Teater tidak lagi berbicara dan menghapal drama. Teater menjadi tubuh yang bebas bergerak dan membentuk ribuan ruang dengan ribuan tubuh yang berbeda. Seperti mendeklarasikan kematian bahasa dan sejarah dirinya. Setiap hari.
 
"Kisah itu bukan luka. Walaupun kau terus menangis. Aku tahu. Air mata tak pernah mendamaikan kesepian musim di tamanmu. Berabad-abad. Tangisan dan kemarahan kita, selalu berakhir pada kisah-kisah kemenangan. Dan itu, makin melebamkan sejarah negerimu!" Begitulah, ketika aku menyoal negara dan nasionalisme teater kita, dari pojok negeri lain. (Conie Sema)
***







Tidak ada komentar:

Posting Komentar