Rabu, 18 Maret 2015

Kundera dan Walesa
By Conie Sema



Udara pesisir danau Hakone tidak begitu dingin dari hari sebelumnya. Aku beberapa kali menyobek buku catatanku sore itu. "Ini waralaba terbesar di negeri Sakura," kata Joe mengajakku masuk ke supermarket "7 Eleven", yang penuh dengan beragam dagangan itu.

"Mungkin di sini, kita bisa sedikit melapisi tubuh kita dari udara dingin danau ini." Joe melepaskan mantelnya, saat kami hendak menuju kapal wisata yang akan mengajak kami menyusuri danau Hakone menuju Kawaguchi.

Sepanjang perjalanan di atas kapal wisata itu, Joe membaca sebuah novel karya Milan Kundera. Abu rokoknya sesekali terbang ke arah mukaku. Ia begitu asik menikmati sigaret di ruang khusus perokok itu.

“Kundera tidak seluas pandang dari sejarah politik Ceko,” katanya sambil melipat selembar halaman novel itu, menandai batas bacaannya. “Aku melihat kisah kehidupan Kundera tak ubahnya seperti Lech Walesa di Polandia,” tambahnya, sembari menawarkan rokok.

Aku menarik sebatang rokok Joe. Joe lalu menyodorkan api gasnya.

Both are part of a man of giant capitalism!” ucapnya dengan nada agak keras.
“Apa karena keduanya mendapat anugerah Nobel?” pancingku.
“Tidak cuma itu. Pada masa Ceko dikuasai Komunis Rusia, Kundera lari meninggalkan Praha menuju Paris. Ia ditampung menjadi dosen di salah satu universitas di Prancis. Sebagai desiden, Kundera banyak menulis esai dan novel yang menyerang penguasa komunis di Ceko. Beberapa waktu kemudian ia dianugerahi penghargaan Nobel.”

Meski tidak begitu serius, aku berusaha tetap mendengar cerita Joe, sembari mataku sesekali melihat panorama danau yang bersih. Sangat indah dan romantis. Sungguh sangat kontradiktif suasana danau Hakone dengan topik cerita Joe.

Belum satu bulan aku mengenal lelaki muda dan ganteng itu. Joe dikenalkan seorang kawan ketika mengikuti sebuah pertemuan di Tokyo. Sejak awal kenal Joe selalu bercerita persoalan sosialis-komunis dengan kapiltalisme Amerika. Ia terkesan anti kapitalis. Anti AS.

“Sementara, Walesa, juga mendapat Nobel karena membela buruh dalam cengkeraman pemerintahan komunis Polandia,” tambah Joe.

Aku tidak begitu paham biografi Kundera. Aku hanya mengenalnya lewat sejumlah novel dan esai yang sudah diterjemahkan dan dicetak di Indonesia. Tetapi, untuk Lech Walesa, aku menganggapnya sebagai tokoh penting di Eropa Tengah yang berhasil meruntuhkan pilar-pilar komunis di Eropa. Termasuk bubarnya Pakta Warsawa. Aku pun tak mau terburu-buru menyimpulkan bahwa para penerima Nobel adalah musuh komunis.

Dalam catatanku, Lech Walesa menjadi simbol demokratisasi di Polandia melalui gerakan solidaritas buruh Polandia (Solidarnos). Walesa terpilih jadi presiden 1990, Polandia bergabung ke NATO (AS dan sekutunya), diikuti negara Blok Timur lainnya seperti, Romania, Hungaria, Republik Ceko, Kroasia dll. Uni Soviet bubar! Tahun 1991, Pakta Warsawa yang dirancang Nikita Khrushchev 1955, juga resmi dibubarkan pd pertemuan di Praha. Blok Komunis sebagai musuh abadi AS berakhir.

“Jadi jelas, Walesa dan Kundera adalah, dolls kapitalism the United States and associate kapitalism!
“Apa hanya sebatas itu kamu melihat keduanya?” sindirku kepada Joe.
“Ini bukan sekedar persoalan ideologi dan politik, kawan. Tapi juga ekonomi. Apa yang dilakukan negara kapitalis tersebut muaranya ke persoalan bisnis dan keuntungan ekonomi. Kendaraannya liberalisme baru dengan agenda pasar bebas!”

"Nah, kalau yang satu ini aku sepakat," ujarku kepada Joe. Pasca berakhirnya perang dingin terutama di jazirah Eropa Tengah, AS dan sekutu menata ulang kerjasama bilateral dengan berbagai negara di Eropa. Mesin demokrasi yang menjadi kendaraan Nato, untuk ekspanti ekonomi Neoliberalismenya melalui perdagangan pasar bebas merambah ke benua Asia. Globalisasi ekonomi ini dijustifikasi melalui konvensi-konvensi yang mengikat negara khususnya, negara ketiga di Asia, seperti Indonesia.

Berbagai konvensi perdagangan, misalnya mekanisme produk ekspor dan impor. Pemerintah Indonesia mulai mengurangi bahkan menghapus bea masuk berbagai produk dari luar. Ironisnya, Indonesia tidak bisa menolak masuknya produk-produk luar, yang menyangkut kebutuhan pokok masyarakat seperti, beras, gula, gandum, dan lainnya.

“Jadi kesimpulannya, isu-isu demokrasi yang menjadi dagangan negara kapitalis tersebut harus dicermati. Atau dikritisi? Seperti di negaramu. Hitung saja berapa banyak kekayaan negerimu yang mereka kuasai. Berapa banyak kebijakan negara yang membuka peluang negara asing tersebut lebih merajalela menguasai perekonomian negaramu..hehehehe!”

Aku tidak menjawab. Aku meminta sebatang rokok dari Joe. Aku hisap dalam-dalam asap dan candunya. Begitu pun Joe. Ia kembali menghidupkan rokoknya. Kami lalu berjalan ke arah pagar batas kapal wisata itu. Memandang lepas mengitari Hakone Lake. Aku melamunkan isu-isu futurologi Jacques Attali, tentang "Pasar Kesembilan". Sebagaimana ramalan Attali, pada era Pasar Kesembilan nanti, isu demokrasi sebagai produk kapitalisme, sudah tidak populer lagi. Dalam konteks ekonomi, ia mengatakan, pertarungan kekuasaan ekonomi dunia memasuki milenium ketiga kunci pemenangnya adalah yang menguasai konsumen."

See this packet of cigarettes?” bisik Joe merapat ke telingaku.
Aku menoleh ke Joe. beberapa detik kami saling pandang.
We are enjoying one of the products capitalists..” kami berdua hanya tersenyum. "Ya. Kita tengah menikmati produk kapitalis!" sambutku membekap tawa. Menahan ketidakpatutan dari pengandaian Kundera dan Walesa. ***

(Tokyo, 7 Maret 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar