Rabu, 18 Maret 2015

Sketsa Shibuya
by Conie Sema

LABERTO Chan, beberapa kali menghembuskan rokok kreteknya, di pojok halaman sebuah mall di Shibuya. “Ini lokasi surga,” bisiknya pelan ke telingaku. "Smoking Area, Please!" teriaknya sambil mengacungkan dua jarinya. "Tobacco a gift from the Creator..!"

Laberto mengaku warga Hongkong. Aku kenal dia, dari sahabatku Johan, warga Malaysia. Laberto perokok berat. Makanya dia cepat akrab denganku. Kami merasa seperjuangan, sama-sama berjuang mencari area kebebasan. Kebebasan bisa sepuas hati menikmati candu rokok, dalam kelembaban udara Tokyo. “Salam bagi Meiji Sang Agung!” begitulah kalimat yang selalu diulang-ulang Laberto, acap kali bertemu wilayah surganya.

Bagiku dan mungkin juga bagi Laberto, kebebasan dapat muncul seketika ketika kami berada di luar wilayah yang serba mengatur dan serba melarang. Di negaranya sendiri, Hongkong, merokok di area larangan didenda cukup besar. Di wilayah publik seperti bandara Kwo Lon, merokok didenda 5.000 $ HK! Jadi pantaslah ketika ketemu wilayah bebas merokok, Laberto menganalogikannya sebuah kebebasan. Setidaknya selamat dan bebas dari denda serta ancaman hukuman lainnya.

“Manusia merasa bebas ketika lepas dari ancaman?” kataku menyindir Laberto, sembari mengeluarkan rokok yang sengaja aku bawa dari negeriku. Laberto tersenyum. “Di sini mereka membangun dan memelihara budaya, bukan politik demokrasi seperti di negaramu,” tanggapnya. “Indonesia persis negeriku Hongkong. “Kami baru saja melepaskan diri dari imperialisme Inggris. Begitu pun negerimu, baru saja merdeka dari jajahan Rezim Soeharto.”

“Jadi, wajar saja. Setiap pojok orang selalu bicara kebebasan dan demokrasi,” lanjutnya. “Hingga persoalan area merokok pun, diibaratkan tanah surga, atau bagian dari bentuk-bentuk ritual kebebasan rakyat,'' ujar Laberto. "Kebebasan para perokok..hahaha!” Dan itu potret prilaku warga yang berada dalam era transisi politik maupun budaya, tambahnya.

“Kita harus memaklumkan jika sering menemukan perilaku-perilaku aneh di masyarakat, seperti juga di negaraku. Perilaku para elitnya, juga tidak beda. Pokoknya serba aneh-aneh!” Tidak hanya para elit, media massa juga sama, tambah Laberto. "Mereka sudah tidak peduli dengan jargon "independent" atau "not participate", karena menurut mereka, itu ungkapan usang. Masyarakat dijejali berita-berita provokatif bahkan cenderung tendensius menyerang lawan politik mereka. Antarmedia partisan itu, hingar bingar saling sahut bersahut, mempromosikan kandidat masing-masing."

Aku kembali menghisap rokokku. Perkataan Laberto mengingatkan aku pada hiruk pikuk pemilu di tanah air. Betul. Banyak sekali kita menemukan perilaku aneh-aneh bahkan lucu-lucu, baik dari rakyat yang bertarung merebut kursi parlemen, juga elit-elit partai politik yang Juli nanti berebut kekuasaan melalui pemilu presiden. Menjadi tontonan serba lengkap. Dari drama komedi, horor, percintaan, dan cerita hero atau pesilat. Tontonan serba lengkap ini disajikan setiap hari, mulai dari televisi, koran, dan media Online. Para pemainnya bermacam rupa. Ada yang terlihat beringasan. Ada yang bersahaja. Ada yang jaga image. Ada yang bergaya oposisi. Ada juga terlihat panik, atau panik beneran!

Di tengah tontonan itu, ada kata yang sangat populer mereka sebutkan yakni: Koalisi. Tukang becak, buru bangunan, pedagang ikan dan pedagang sayur di pasar, sangat lafal mengucapkan kata "Koalisi". Selain itu, ada gejalah baru lagi, nama para elit diucapkan dan ditulis dengan singkatan atau initial misalnya: SBY, JK, WR, HT, AT, SB, TK, BD, SM, PB, MG, AB, SDA, HNW, SH, dan lain-lain.

“Beginikah potret perilaku orang-orang di era transisi,” tanyaku dalam hati, sambil menoleh ratusan bahkan ribuan orang yang setiap hari menyeberang di perempatan jalan Shibuya. “Apakah di negara lain, proses transisi menuju demokrasi sejati, dimulai dengan potret lucu dan aneh-aneh seperti itu?” tanyaku. "Jangan-jangan kitalah yang lucu dan aneh itu, karena gagal mendiskripsikan prilaku mereka..hahaha!" sergah Laberto sambil tersenyum.

Aku tak sempat menambah pertanyaan lagi, ketika Laberto menarik tanganku mengajakku melanjutkan perjalanan menuju kereta JR Metro, di stasion Shibuya. “Kita tinggalkan tanah surga,” bisikku ke Laberto. "Tobacco a gift from the Creator..!" Kami berdua serentak tertawa. Tertawa-tawa dalam kerumunan orang-orang di penyeberangan jalan -- yang diklaim teramai di dunia itu. (***)

Minggu, 05 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar