Kamis, 19 Maret 2015

Sebungkus Deterjen dan Hiperrealitas Pilpres

Oleh  Conie Sema


DRAMA Pilpres 2014 betul-betul unik dan menarik. Seperti eksprimental teater yang mengeksplorasi semua ruang, merekonstruksinya menjadi ruang-ruang baru. Lebih seru lagi, tingkat partisipasi aktor yang terlibat sangat beragam dan tidak mengenal kelas. Peristiwa demi peristiwa berlangsung cepat dan tanpa batas.

Adu argumentasi, adu fakta, adu opini publik, adu komen-komen jahil, adu fitnah, adu gambar atau foto kreatif. Pilpres 2014 ini juga menyedot energi media cetak, televisi, radio, dan online, yang juga tidak mengenal kelas. dari lembaga pers nasional yang bergengsi dan menjadi acuan media negeri ini, hingga media pinggiran ikut menerjunkan dirinya. Terlibat langsung suksesi Pilpres. “Media tidak harus netral,” kata Gunawan Muhammad si pemilik Tempo

Maka mulailah babak drama teater itu berlangsung. Hiruk pikuk terjadi di mana-mana, sampai ke kamar tidur, suami berdebat dengan isterinya karena berbeda pilihan Capres. Semua orang beropini. Mereka mengambil referensi dari nonton televisi, buka facebook dan tweeter, nguping cerita tetangga atau kawan se kantor. Isu-isu agama, hujatan rasial pun, keluar begitu saja. Tidak ada lagi batas etika dan moral

Situasi gemuruh massal ini, mengingatkan saya ketika aktif di Teater Potlot: “Sebungkus Deterjen Hari Ini,” (Cibubur, 1993). Pementasan itu, beranjak dari keinginan menggambarkan atau mensimulasikan realitas yang terjadi masa Orde Baru. Simulasi realitas rezim yang berkuasa saat itu, membentuk persepsi yang cenderung palsu, namun dibuat seolah mewakili kenyataan.

Bahasa dan alat ucap pun, menjadi presentasi realitas melalui pencitraan (simulacrum) yang dikemas sedemikian rupa oleh media massa. Membangun kekuasaan rezim bahasa. Menjadi hiperreal antar bahasa rakyat dan bahasa kekuasaan. Dan itu menjadi siasat supaya masyarakat mengalami kesulitan dalam memahami relevansi antara bentuk dan isi, kebingungan menyerap antara yang sejati dan semu.

Ruang pemaknaan di mana dijejali terus menerus tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis. Membuat tumpang tindih dalam cara kita menyikapi antara yang real dan virtual, antara yang sejati dan yang palsu.  

“Ini deterjen. Mereknya, Dino. Ini Baskom plastik. Ini pakaian kotor. Saya akan mencuci pakaian ini. Ini sepatu. Ini radio transistor, mereknya Nasional. Ini air. Air saya masukan ke baskom. Ini deterjen, saya taburkan ke air di dalam baskom ini. Pakaian kotor, sepatu, dan radio ini, saya masukan ke baskom. Saya mulai mencuci!”  

Demikian salah satu kutipan dialog pementasan itu. Saya simulasikan realitas produk dan tanda untuk menjelaskan objek itu sendiri. Karena presentasi (visual/gambaran) menjadi hal yang lebih penting dari objek yang sebenarnya. 

Dalam proses mencuci itu, saya berjaga-jaga untuk mempertahankan tanda-tanda realitas asli (sign of reality). Kenyataannya gagal. Tenggelam oleh situasi hiruk pikuk tanda-tanda yang melampaui realitas aslinya (hyper sign). Inilah yang dinamakan Hiperrealitas Jean Baudrillard. Menurut tokoh postmodern ini, hiperrealitas menciptakan suatu kondisi dimana kepalsuan bersatu dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. 

Penandaan “mencuci” dalam pementasan itu, menjadi chaos interprestasi. Tak menentu.  Tidak lagi membutuhkan representasi sutradara dan skenario cerita. Bahkan keberadaan aktor, tidak begitu penting lagi. Mengingat properti dan benda-benda dalam sekejap berubah menjadi penandaan simulatif. Seperti fenomena simulakrum dunia Disney dibangun dari proses imajinasi, yang sebelumnya tidak ada. Kehadiran makhluk seperti Donald, Mickey dan lain-lain ada dalam sekejap, tidak melalui proses evolusi Darwin, misalnya. Kemudian dijustifikasi oleh kekuatan media seperti televisi, koran, radio, dan media sosial menjadi lebih simulatif. 

Kontestasi Pilpres 2014, menjadi hal yang wajar jika banyak orang yang pusing oleh lalu lintas informasi yang sengkarut. Seorang kawan, aktor relawan pendukung salah seorang Capres, sewot dan panik, karena akunnya diserang posting-posting pendukung kandidat Capres dari kubu lawan politiknya. Bukan persoalan content, tapi postingnya yang menjadi representasi kemarahan kawan saya itu. 

Seperti dikatakan Baudrillard, bahwa manusia mendiami ruang realitas. Dimana perbedaan antara yang nyata dan yang semu, yang asli dan yang palsu sangat tipis. Sementara media sosial seperti facebook dan lainnya adalah ruang publik yang terbuka bebas. Dalam penjelasannya, Baudrillard mengatakan, pada kondisi masyarakat saat ini, media mempunyai suatu peranan penting dalam penyebaran realitas, dimana penyebaran tersebut akan diterima manusia (masyarakat). Kemudian masyarakat tersebut menyerapnya. Menganggap bahwa informasi tersebut sebagai suatu kebenaran, yang padahal hanyalah sebuah realitas semu.

Pencitraan kandidat presiden, termasuk ke fenomena hiperrealitas itu. Asraf Amir Piliang dalam Dunia yang Berlari (2006), mengingatkan bahwa manusia modern telah terjebak dalam permainan tanda dan citra bujuk rayu dan ketersesatan tanpa tujuan. Pencitraan (semu) gaya hidup menjadi segala-galanya. Sehingga representasi tanda menciptakan mitos baru yang mengambil alih makna secara utuh. Proses ini dikenal sebagai imagologi atau penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan imaji tentang realitas. Misalnya sosok yang jujur dan merakyat. Atau sosok yang tegas dan pemberani.

Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas-semu Amerika, adalah representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Mereka lebih berhasil membangun imaji-imaji semu dibanding fakta yang sebenarnya.

Pertanyaan kita, mengapa hiperreal terjadi pada Pilpres 2014? Padahal kondisi hiperealitas seperti di atas, oleh Baudrillard, dimaknai sebagai “the simulation of something which never really existed” (simulasi realitas yang pada dasarnya tidak pernah ada). Sementara Umberto Eco menyebutnya sebagai “the authentic fake” atau kepalsuan yang otentik. Baik Eco maupun Baudrillard melihat adanya realitas yang saling tumpang tindih dalam cara kita menyikapi antara yang real dan virtual, antara yang sejati dan yang palsu. Hal ini berarti bahwa esensi utama memilih pemimpin saat ini, telah mengalami pergeseran fundamental oleh karena sesuatu yang lain yang pada kenyataannya lebih banyak mengandung semangat pragmatisme dan kepentingan (konsumerisme) kelompok atau individual tertentu ketimbang spirit kebangsaan atau nasionalisme.

Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagaiآ sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).

Dalam pentas Teater Potlot  “Sebungkus Deterjen Hari ini”, saya menggambarkan pragmatisme William James, itu dengan cerita, “Lydia dan Godot Belanja Gula-gula” karya T. Wijaya. Dimana terjadi teks menjadi teori kebutuhan dasar dan kebutuhan pertumbuhannya Abraham Maslow (1943-1970). Sebuah proses manusia menuju kebutuhan pertumbuhan dengan keterlibatan dan hubungan sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Perubahan itu sangat paradoks dengan sisi lain anggota masyarakat yang masih harus bersusah payah mencari makan, perlindungan, dan rasa aman. 

Maka, dalam menuju proses itulah pragmatisme berubah menjadi destruktif dan menakutkan. Orang atau institusi melakukan apa saja untuk mengejar hasil yang mereka inginkan.

Dalam dunia politik di Indonesia, dapat kita lihat bagaimana Orde Baru menerapkan pragmatisme tersebut tanpa peduli dengan nilai. Apa saja dikerjakan oleh rezim itu asal menguntungkan kekuatan politik mereka. Misalnya, fitnah (Petisi 50), rekayasa isu mendirikan Negara Islam (Hispran akhir 1970-an), isu GPK dan pembunuhan (Talangsari dan Tanjung Priok 1984), dan kampanye anti-Pancasila (1985), dan masih banyak lagi yang lain-lainnya.

Pragmatisme dalam bisnis masa Orde Baru, melahirkan kroni dan para konglomerat yang tak peduli dengan Indonesia. Para investor asing masuk menguras kekayaan Indonesia dan membawa hartanya keluar. Penyair WS Rendra pernah bilang; “Mereka berkoar-koar nasionalisme, tetapi harta kekayaan negeri ini dijual dan dirampok keluar negeri!”

Pilpres 2014 ini merupakan drama panjang yang menguras energi putra-putri negeri ini. Epilognya, kita berharap fenomena hiperrealitas tersebut tidak menghasilkan ketakutan dan rasa kuatir kita, kembali ke masa-masa sulit beberapa dekade kepemimpinan masa lalu. Siapa pun pemimpin terpilih, kita ingin kontestasi politik yang dibarengi simulasi semu tersebut, berbalik menjadi realitas asli (sign of reality). Atau bahasa lainnya, presentasi mimpi menjadi kenyataan.

Saya pun menginginkan, peristiwa mencuci “Sebungkus Deterjen Hari ini”, tidak lagi berhadapan dengan hiper-realitas masa Orde Baru. Tetapi betul-betul membersihkan hati nurani para pemimpin negeri ini dari kepentingan pragmatis seperti diuraikan di atas. Bahkan, kita berharap, mampu menjernihkan pikiran kita akan ke-Indonesiaan. Sebuah era baru yang membangkitkan spirit kebersamaan. Menjadi bangsa berdaulat, menuju kemakmuran yang adil bagi seluruh rakyat negeri ini. Semoga! ***

Conie Sema, mantan koresponden RCTI di Lampung. Banyak menulis esai-esai kebudayaan di sejumlah media, dan pernah aktif berkesenian di Teater Potlot. 

 Kompasiana, 18 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar