Minggu, 05 April 2015

Warsawa-Walesa

 Oleh Bisri Merduani

Euno Park, Tokyo 2009
Bisri Merduani
LECH WALESA adalah simbol demokratisasi di Polandia melalui gerakan solidaritas buruh Polandia (Solidarnos). Gerakan reformasi di Polandia itu, menjadi awal sejarah tumbangnya kejayaan Blok komunis di Eropa Timur, melalui mesin pembebasannya, demokratisasi.
Walesa terpilih jadi presiden lewat pemilu 1990. Polandia mengganti sistem pemerintahan komunis menjadi pemerintahan demokratis. Sebelumnya, Polandia dan Uni Soviet merupakan simbol Blok Komunis di jazira Eropa. Polandia dijadikan pusat sekretariat organisasi pertanahan bersama Pakta Warsawa. Satu tahun setelah Walesa menduduki jabatannya, tahun 1991, wabah demokratisasi Walesa terus menyebarkan 'virus'nya ke negara blok komunis lannya. Uni Soviet ikut bubar. Setelah negara-negara bagian Uni Soviet mengeluarkan resolusi bersama yang menyatakan diri tidak lagi tergabung dengan Uni Soviet, tahun 1991. 
Gelombang perubahan di dua negara besar simbol komunis ini mau tidak mau, berakibat keberadaan Pakta Warsawa. Akhirnya, pada pertemuan di Praha, 1991, Pakta Warsawa yang dirancang Nikita Khrushchev 1955, resmi dibubarkan. Polandia kemudian bergabung ke NATO (AS dan sekutunya). Diikuti negara Blok Timur lainnya seperti, Romania, Hungaria, Republik Ceko, Kroasia dan lain-lainnya.

Pembubaran pertahanan bersama blok komunis di Praha tersebut, menjadi akhir dari kekuatan utama musuh abadi Amerika Serikat (AS) dan NATO. Pasca berakhirnya perang dingin terutama di jazirah Eropa Tengah, AS dan sekutu mulai menata ulang kerjasama bilateral dengan berbagai negara di Eropa. Mesin "demokrasi" yang menjadi kendaraan NATO, untuk mengekspansi ekonomi neoliberalismenya melalui perdagangan pasar bebas mulai bergerak. Isu-isu universal seperti demokrasi dan HAM mulai "dimainkan" ke negara di benua Asia. Globalisasi ekonomi ini dijustifikasi melalui konvensi mengikat negara khususnya, negara ketiga di Asia, seperti Indonesia. Berbagai konvensi perdagangan, misalnya mekanisme produk ekspor dan impor. 
Pemerintah Indonesia yang ikut menandatangani konvensi tersebut, mulai mengurangi bahkan menghapus bea masuk berbagai produk dari luar. Indonesia tidak bisa menolak masuknya produk-produk luar, termasuk yang menyangkut kebutuhan pokok masyarakat seperti, beras, gula, dan lainnya. Selain itu Indonesia juga mulai melakukan privatisasi perusahaan negara di sektor pelayanan publik, dengan menjual atau mengikutsertakan saham perusahaan asing. Lebih parah lagi, berbagai subsidi negara untuk kebutuhan rakyat pelan-pelan dihapuskan. 

Euno Park, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar