Rabu, 08 April 2015

Newsletter Rakyat

Tionghoa
by Conie Sema

ZHONGHUA merupakan transliterasi dari diksi Tionghoa. Artinya “Negeri di Tengah”. Namun, karena Orde Baru mencurigai aktivis Tionghoa kiri terlibat dan mendukung Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia, maka kata tersebut dipinggirkan, lalu diganti Cina.
     Disingkirkannya kata Tionghoa ternyata juga diikuti “peminggiran” manusianya. Tindakan Orde Baru itu mereproduksi apa yang telah dilakukan pemerintah Belanda di nusantara ini.
     Cina yang secara etimologi berasal dari kata Qin – sebuah dinasti yang berhasil mempersatukan daratan Tiongkok pada 221 Sebelum Masehi – kemudian menjadi diksi ampuh bagi pemerintahan Orde Baru untuk mengekploitasi rakyat dan alam.
     Jenderal Besar Soeharto melalui Cina mampu mengendalikan kepentingan ekonomi dirinya dan keluarganya. Cina diberi kemudahan untuk melakukan bisnis, tapi di sisi lain mereka harus memberikan “pajak” besar kepada Soeharto dan keluarga, serta kawan-kawan seperjuangannya.
     Sangat cerdas. Sebab saat konflik sosial akibat persoalan ekonomi, Cina yang pertama dihadapkan pada rakyat. Rakyat lalu marah kepada Cina. Ujaran-ujaran rasial bermunculan seperti, “Cina Kebun”, “Cina Kulup”, atau “Cina Loleng”. Konkretnya peristiwa kerusuhan Mei tahun lalu.
     Kini Jenderal Besar Soeharto sudah pulang ke rumahnya. Tidak lagi pergi sebagai raja. Namun, rakyat tetap melihat Zhonghua sebagai Cina, sehingga hak politik mereka tetap terpinggirkan. Bahkan, tragisnya, sebagian dari mereka merasa ditakdirkan menjadi Cina.
     Ini tidak adil. Sebab di antara kita ada jutaan Zhonghua hidup dalam kemiskinan; menanam sayur dengan tanah seluas 20 meter persegi untuk menghidupi keluarga besarnya, atau bertahun-tahun membuat makanan tahu tanpa pernah menikmati film di layar lebar.
     Ini juga tidak fair. Sejarah menunjukkan bahwa Zhonghua-lah yang telah mengajarkan kita berdagang, membangun rumah yang indah, serta berperang. Mereka yang pertama kali mengajarkan sebagian besar agama yang kemudian berkembang di negeri ini.
     Cobalah berkaca: Kita adalah Mongoloid; berkulit kuning atau coklat, berhidung rendah, serta berbola mata hitam atau coklat tua. Artinya, kita adalah Kunming yang bernama Komering, Palembang yang bernama Taiwan, atau Vietnam yang bernama Menggala. Sama saja. Mongoloid.
     Seperti kata Stanley Prasetyo Adi, aktivis pers, kita menjadi Indonesia, Malaysia, atau Brunei karena proses kekuasaan dan penaklukan yang kemudian terkotak dalam negara ketimbang persamaan ras sebagai identitas.
     “Saya mencari Cina. Saya Tionghoa,” kata T. Wijaya dalam sajaknya “Teng! Teng! Teng! Saya Mencari Cina”, sebuah catatan dari peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Minoritas itu tidak ada. Mari bersama kita ke tengah.***

CONIE SEMA
Newsletter Rakyat, Januari 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar