Senin, 13 April 2015


Iwan Simatupang dan Mochtar Lubis

TEGAK LURUS DENGAN LANGIT


TEGAK LURUS dengan langit. ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanyanya bulan sabit sebelum fajar. Di kakinya tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang.   
Prolog cerpen "Tegak Lurus Dengan Langit" ini, mengingatkanku kembali pada sikap penulisnya, Iwan Simatupang.

Kuingat juga naskah dramanya "Bulan Bujur Sangkar". Aku baca "Ziara". Aku baca "Merahnya Merah", juga "Surat-Surat Politik untuk B. Sularto".
Iwan adalah salah satu sosok yang menginspirasi semangat awalku menulis sastra. Malam ini tiba-tiba aku kangen karya sastra juga essainya. Aku kangen dengan buku-buku tua yang banyak membimbing dan memandu langkah awalku menuju jalan yang benar-benar "Tegak Lurus Dengan Langit".

Berdekatan dengan karya Iwan Simatupang, aku juga membuka buku Mochtar Lubis. "Harimau, Harimau!", "Senja di Jakarta", "Jalan Tak Ada Ujung", ketiga novelnya itu menggambarkan karakter dan gaya penulisannya. Sebagai jurnalis dan sastrawan ia memiliki komitmen terhadap kebebasan pers. Mochtar dan Harian Indonesia Raya-nya sempat menjadi pesakitan oleh rezim Orla dan Orba, karena karya-karya jurnalistiknya. Masa Soekarno, korannya dibredel dan ia dipenjara karena pemberitaan kasus korupsi di Percetakan Negara yang melibatkan sejumlah pejabat termasuk Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani. Selain itu, berbagai tulisannya yang banyak mengeritik kebijakan Presiden Soekarno. 


Masa Soeharto, setelah diijinkan terbit lagi (1968), Harian Indonesia Raya kembali membongkar kasus korupsi Pertamina yang melibatkan Direktur Pertamina Letnan Jenderal Ibnu Soetowo. Baru setelah perisitiwa Malari 1978, Harian Indonesia Raya dan beberapa koran lain, dibredel. Mochtar sempat ditahan selama dua bulan.

Dua tokoh dari tanah melayu ini begitu mengagumkanku. Meski sekali pun aku tak pernah bertemu dengan mereka. Karya-karyanya memberikan energi dan spirit yang luar biasa. Dan sampai hari ini aku tak bisa melepaskan ledakan-ledakan kata yang begitu tajam, tegas, dan argumentatif. Keduanya sangat antusias terhadap sesuatu cause seperti ekologi, demokrasi, keadilan, dan hukum. 


Pada peringatan HUT ke-80 Mochtar Lubis, 9 Maret 2002, Dr. Mochtar Pabotinggi dari LIPI sempat menjuluki Mochtar Lubis sebagai "person of character", insan yang berwatak.

Mataku mulai terbuka dan tahu kalau keduanya adalah intelektual sejati. Bukan intelektual yang plintat-plintut yg kala itu bermunculan dari kampus-kampus perguruan tinggi. Mataku juga mulai bisa membedakan warna-warni perilaku seniman, sastrawan, dan penulis atau wartawan dalam bingkai pikir keduanya. Betul yang dikatakan Mochtar Pabotinggi, di negeri kita sekarang ini, semakin langka menemukan "person of character" seperti Iwan dan Moctar. Keduanya mengajari kita bahwa begitu utamanya sebuah sikap dalam bersastra.


Apabila ayam pertama berkokok nanti, senyum lebar kembang di wajahnya. senyum yang sangat membebaskan. Tegaknya ia hadapkan pada matahari bakal terbit, tegak lurus dengan langit. Demikian Iwan menutup "Tegak Lurus Dengan Langit", sebuah cerita yang kental dengan diksi kerakyatan. *** (Conie Sema)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar