Laman

Selasa, 25 Agustus 2015

Jangan Buka Kotak Pandora

Pemilu: Jangan Buka Kotak Pandora!

Conie Sema*

Kawan, jika kau tahu jalan semakin jauh, pastilah tak akan kuhitung lagi jumlah tapakku. Karena sudah ribuan bahkan jutaan langkah tak bisa kutandai lagi jejaknya. Mungkin hanya aku tak tahu. Jika waktu begitu beratnya menyembunyikan detik-detik yang meninggalkan aku. Seperti kepergian atau perpisahan tanpa airmata atau kemarahan. Tanpa senyum atau diam.

Aku tak tahu. Apakah ini sebuah peperangan. Menaklukkan untuk kemenangan. Atau sebuah sajak biasa yang menulis kisah-kisah perjuangan atau percintaan. Atau juga seperti drama bawang merah bawang putih, kisah si jahat dan si baik. Yang berakhir dengan kemenangan si baik atas si jahat. Kemudian kemenangan tersebut diselebrasikan. Dipuja puji. Sementara si  jahat dicibir dan dicaci-maki.

Aku tak bisa menandai kemenangan dan kekalahan, kawan. Aku tak bisa menandai si jahat dan si baik. Karena aku tak mampu lagi membedakannya. Tak mampu lagi berpihak mendukung kemenangan satu di antaranya. Ini bukan hitungan sorga dan neraka. Di mana orang baik dan orang jahat berbondong-bondong memilih sorga. Tapi aku yakin, akan keniscayaan dalam hidupmu, hidupku.

Indonesia katamu adalah Negara kesatuan. Semusim ini kita menjadi terbelah. Dirimu jauh dariku, katamu. Aku sempat tersenyum ketika kita saling menghujat di koran kota. Ketika kita saling berkirim sajak-sajak satire. “Itu kan biasa kita lakukan dulu,” katamu. Tak usah tersinggung dan terpancing emosi. Ini hanyalah fragmen atau drama berdurasi pendek. Anggap saja dagelan ala teater sampakan. Tak usah terlalu serius dan berlebihan.

Demokrasi, salah satunya belajar saling menghargai pendapat. Kalau pendapatmu tak dihargai atau dibalas dengan ledekan,  jangan marah. Itu namanya perbedaan pandangan saja. Tak usah berkoar-koar mengatakan partaimu lebih baik, lebih hebat, lebih pandai mengurus rakyat dan Negara.  Janganlah membela habis-habisan bahwa calon presidenmu lebih jujur, lebih bersih, lebih tegas, lebih berani, dan lebih dekat dengan rakyat. Biasa sajalah. Jangan berlebihan.

Lihat dan berkacalah ke bawah. Betapa pemilihan umum atau pemilihan legislatif tahun ini semakin buruk dari Pemilu sebelumnya. Kualitas pemilih dan yang dipilih masih memprihatinkan.  Turunlah ke kampung sampai ke umbulan. Betapa kau melihat orang-orang semakin kalap dan lapar. Matanya tajam menatap. Seakan hendak melumat habis dirimu.

“Mereka seperti orang-orang asing,” katamu. Tak nampak lagi keramahan. Hubungan kekerabatan berubah jadi hubungan yang sangat pragmatis.

Tetapi mereka tak ubahnya seperti aku dan dirimu. Sama saja dengan orang-orang yang selalu berteriak moral dan jiwa bersih.  Mereka juga sama seperti  pemimpin yang kau puja puji itu. Mereka adalah rakyat. Adalah kita. Kalau mereka berteriak uang, kita juga sama. Hanya gaya dan diksinya saja yang berbeda. Jika mereka berteriak “wani piro” atau berani berapa (duitnya), itu hanyalah bahasa verbal mereka. Karena tak pandai meniru bahasa santun sang pemimpin atau elit-elit kekuasaan.

Jadi biasa-biasa sajalah. Tak usah terlalu heroik.  Kita tak ubahnya seperti kisah mitologi Yunani, Kotak Pandora.  Kita, saat ini, ada bersama-sama mengelilingi kotak Pandora.  “Jangan dibuka kotak itu,” pesanmu. Sebagaimana Prometheus mengingatkan putri Pandora untuk tidak membuka kotak tersebut.

Tetapi, Pandora terlanjur membukanya. Kotak itu sudah terbuka. Kegilaan, wabah penyakit, keserakahan, pencurian, dusta, cemburu dan dendam, kelaparan, serta berbagai malapetaka lainnya muncul dari dalam kotak itu. Semua keburukan menyebar dan menjangkiti umat manusia.

Namun kita berharap, seperti  legenda Yunani itu, di antara keburukan, penderitaan dan malapetaka itu,  Zeus  menyisahkan benda kecil yang bernama harapan. Semoga harapan itu masih dapat kita lihat usai pesta Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, 9 April nanti. Salam Indonesia Raya! ***

*Conie Sema adalah seorang esais. Lama menekuni dunia jurnalistik di RCTI. Kini calon legislatif DPRD Lampung dari Partai GERINDRA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar