Politik itu Indah
Conie Sema
Politik itu indah. Kita-kita saja yang salah menafsirkannya
dengan ungkapan politik itu kotor, kejam, dan biadap. Politik itu seperti
sebuah jalan menuju sorga. Makanya semua orang beramai-ramai menuju jalan itu.
Yakinlah semua ingin sampai ke sorga. Masuk ke rumah rakyat adalah pintu awal
menuju sorga.
Politik itu indah. Tidak benar orang bilang kanibal dan
saling melumat. Kalau pun ada kejadian orang saling memakan di politik, cuma
metodelogi saja. Sebuah cara untuk menuju sorga itu tadi. Karena tidak ada
kitab atau buku ilmu politik yang mengatakan politik itu jahat dan kejam. Jadi
kanibalisme itu merupakan konsekuensi orang-orang yang telah mengeluarkan
banyak tenaga pikiran, dan uang, agar sampai ke rumah rakya. Tiba di pintu
sorga.
Pesta politik tahun ini sudah selesai. KPU telah
menyelesaikan tugasnya. Telah menetapkan orang-orang yang sebentar lagi
dinobatkan penunggu sorga. Saya yang juga kepingin ke sorga, ternyata gagal.
Mungkin tak memenuhi syarat dan kemampuan yang diinginkan KPU. Maksudnya kuota
suara saya kurang banyak untuk bisa tembus ke sorga. Alias kalah suara dengan
kontestan lainnya. Kontestan satu partai sendiri.
“Hitungan awal Anda memang unggul,” katanya. Tetapi hitungan
berikutnya melorot, dan terus melorot. “Itu sebabnya kami tak bisa memberikanmu
tiket ke sorga,” tegasnya.
“Bukankah saya sudah mengajukan keberatan atas hitungan
rekan kalian di wilayah pemilihan saya?” tanyaku penasaran.
“Betul, saudaraku,” jawabnya penuh akrab dan terkesan
kekeluargaan.
“Lalu apa lagi masalahnya?”
“Sidang pleno kita sudah menetapkan laporan dari wilayah
Anda. Sudah tidak bisa lagi. Tetapi Anda tak usah putus asa. Masih ada
kesempatan anda memperjuangkannya nanti di hadapan yang mulia majelis hakim di
Mahkamah Konstitusi,” jawabnya sambil tersenyum. Seakan memberikan semangat dan
harapan baru kepada saya.
Saya hanya membalasnya dengan senyum. Saya berpikir akan
bertemu hakim-hakim konstitusi yang wajahnya seperti Tuhan. Dengan para
malaikat di KPU saja saya sudah tak kuat, apalagi bertemu tuhan-tuhan di
Mahkamah Konsitusi. Yang saya bayangkan saya akan menemui masalah baru yang
kembali menguras akal, tenaga, waktu, dan mungkin saja uang yang banyak.
Akhirnya saya batalkan keinginan bertemu tuhan-tuhan di
pusat sana. Karena yang saya gugat sangat teknis sekali masalah jumlah suara
dan penggelembungan suara dari hitungan TPS ke rekap KPU. Tentunya bukan hal
yang mengasyikkan bahkan memusingkan kepala yang mulia majelis hakim
konstitusi. Mereka akan berdalih, bukankah hal itu harusnya sudah selesai di
tingkat para malaikat.
Politik itu indah. Kita-kita saja yang selalu skeptis
memandangnya dari luar. Saya sudah melakoninya. dan memang indah. Menjadi
kenangan yang tak terlupakan. Politik itu lebih seru dari pertunjukan teater.
Skenario dengan cepat bisa berubah-rubah dalam satu pementasan. Meski tema
naskah tidak berubah, tetapi bisa muncul berbagai improvisasi mendadak.
Misalnya dari naskah adaptasi berubah jadi parodi. Lalu berubah lagi bentuk
pementasannya, dari realis menjadi absurd. Perubahan itu sulit diduga dan
diluar kendali sutradara. Apa yang akan terjadi di panggung.
“Politik itu betul-betul indah,” kata kawan-kawan tim saya.
Kekalahan kita, cuma satu penyebabnya. Apa? tanyaku. “Kita tidak siap menjadi
setan!” teriaknya. “Abang, tidak menang karena baru siap sebatas menyamar jadi
setan, bukan setan betulan!” Karena mereka tahu kita hanya menyamar jadi setan.
Makanya dimakan sama setan-setan itu.
“Lain kali kalau mau tarung lagi, abang harus jadi setan
betulan, bila perlu rajanya setan..hahaha!” ujar kawan-kawan tim ngeledeki
saya. Saya hanya bengong dan ikut tertawa.
Saya tetap meyakini politik itu indah. Politik itu adalah
cara kita untuk menuju kebaikan dalam mengatur tata laksana bernegara. Saya
tidak yakin dengan ucapan kawan-kawan bahwa sejak H-1 hari pencoblosan itu
semua orang menjadi setan. Maksudnya pemilih dan yang dipilih menjadi setan.
Penyelenggara dan pengawas menjadi setan. Saksi dan pengurus partai juga
menjadi setan.
Sulit bagi saya untuk percaya, jika para komisioner KPU yang
merupakan juri dan berdiri layaknya sosok malaikat, tiba-tiba berubah jadi
setan. Meski sudah terbukti dan nyata ada kecurangan rekapitulasi suara yang
mereka tetapkan. Mungkin itu hanya persoalan kemalasannya saja, untuk membuka
kotak suara dan menghitung ulang suara.
Sampai sekarang, pemerintah dan DPR belum mau merubah dan
menyertakan sistem teknologi yang praktis dan terintegrasi seperti digunakan
kalangan perbankan. Artinya ada sistem teknologi yang bisa mengamankan data real
di TPS. Sehingga ketika ada upaya merubah data asli TPS (manipulasi suara) akan
ditolak oleh sistem yang digunakan.
Bukankah salah satu tugas utama penyelenggara Pemilu atau
KPU adalah mengamankan suara caleg dan juga suara partai. Dan kasus curi mencuri
suara, menyulap jumlah pemilih dengan menakan suara Golput adalah kasus klasik
yang terus terjadi selama ini. Jadi pertanyaan kenapa langkah-langkah
pengamanan melibatkan teknologi tersebut tidak dilakukan KPU. Berarti ada
pembiaran terhadap sistem yang bolong dan memberi peluang dijebol maling.
Ada upaya bantuan teknologi (Bantek) yang dilakukan KPU
dengan membentuk kelompok kerja di tingkat PPK. Tetapi bantek ini saya nilai
hanya sebatas rekapitulasi C-1 yang justeru saya curigai, malahan dijadikan alat
justifikasi C-1 folio yang sudah bodong alias sudah dirubah penyelenggara.
Itu dapat kita buktikan waktu uploadnya tidak serentak
setelah hasil penghitungan di TPS. Bahkan sampai KPU pleno di tingkat provinsi
dan nasional, data C-1 tersebut masih belum lengkap di kirim ke website KPU
Nasional.
Molornya waktu pengiriman data C-1 ini patut dicurigai ada
upaya memberikan kesempatan maling masuk untuk mencuri dan merubah rekapitulasi
suara di tingkat KPPS di TPS. Dan hal itu terjadi dengan beberapa data C-1 dari
beberapa TPS yang dikirim di websitenya KPU Nasional, tidak sama dengan C-1
yang kita dapatkan.
Namun KPU akan berdalih. Bahwa penggunaan teknologi tersebut
terutama sampai ke tingkat desa atau TPS, sulit untuk dilaksanakan karena
keterbatasan sumber daya manusianya.
Saya tetap berprasangka positif. Bahwa para kontestan yang
ditetapkan KPU lolos sebagai penunggu sorga itu, sudah benar sesuai aturan dan
perundangan. Bukan hasil kecurangan dan kanibalisme suara. Dan KPU pun pasti
meyakininya, bersumpah sebagai sebuah kebenaran. Bukan kebohongan dan kejahatan
sistematis dan terorganisir secara massif. Atau kata lainnya, kejahatan
sindikatif Pemilu di Negara demokratis ini.
Bravo KPU, yang sudah bekerja keras mengantar kawan-kawan
kita menjadi penghuni sorga. Di rumah rakyat. Di parlemen yang terhormat!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar