Rabu, 12 Agustus 2015

LEBAK (Cerbung)

http://www.ibubumi.com/lebak_berita121.html
LEBAK (1)


Hasmar masih memeluk isterinya. Pagi dan mimpi berpisah dalam cahaya  terang. Menembus kamar tidur. Suara kesibukan di luar rumah terus berlangsung sejak subuh. Tidak peduli pada lelaki dan perempuan yang baru saja pergi meninggalkan peristirahatan tadi malam.

Pagi adalah harapan. Orang-orang bangun dan bekerja bersama matahari. Mereka tahu malam adalah mimpi dan siang adalah kesempatan untuk mewujudkannya. Mereka meninggalkan rumah dan tempat tidur. Meninggalkan semua penandaan keluarga. Menjadi orang kebanyakan di luar sana. Bekerja dan bekerja. Sampai sore bahkan melewati malam. Mereka bekumpul dalam ruang waktu yang sama.    

Lela berulang-ulang menepuk bahu suaminya. Ia ingin suaminya bangun dan pergi ke sungai. Bertemu rawa dan semak ilalang. Berperahu menyusuri anak sungai. Mengais ikan-ikan yang bersembunyi di bawah lumpur liat di hamparan rawa lebak. Lela berharap suaminya masih tetap di sana. Tidak mencoba pergi ke kota. Tetap menjadi petani. Mencari ikan dan menanam padi. Sebagaimana dilakukan keluarga secara turun temurun.

“Bangunlah.” Bisik Lela.
“Hari ini kamu harus ke sawah. Sudah tiga hari tidak ke sana,” katanya sembari menuju ke dapur. Menanak nasi dan menyiapkan makanan untuk bekal suaminya.

Jendela rumah panggung sederhana itu, mulai terbuka. Hasmar agak siang bangun dari kamarnya. Matanya mengedip menahan cahaya matahari yang menerobos masuk bersamaan  jendela terbuka. Hasmar merasakan udara pagi itu tidak sepanas pagi sebelumnya. Pertanda akan hujan. Atau sebaliknya, mulai masuk musim kemarau.    

Sudah 15 tahun ia menikah dengan Lela. Mereka belum juga dikaruniai anak. Hasmar berasal dari Tulung Selapan, Dusun Satu. Sebuah wilayah kecamatan di Ogan Komering Ilir. Orang tuanya lahir di sana. Sementara Lela, berasal dari Pangkalan Lampam. Hasmar sempat ikut bapaknya bekerja di perkebunan sawit di Mesuji. Sejak kedua orang tuanya wafat, Hasmar kembali ke kampungnya. Sebuah kampung yang mayoritas warganya hidup dengan bertani dan mencari ikan. Sebagian lagi mencari kayu terutama toke-toke pemilik sawmil. Sebagian lagi pengrajin tikar pandan.

Tak banyak pilihan hidup bagi penduduk di lahan rawa lebak dan sebagian lahan pasang surut ini. Kecuali bertani dan mencari ikan. Mereka tidak memiliki kemampuan mengolah lahan kampungnya menjadi lahan produktif yang dapat menyejahterakan kehidupan mereka. Dari leluhurnya, kehidupan ekonomi keluarga biasa saja. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Ada beberapa keluarga yang lebih makmur, itu pun karena memiliki lahan luas dan dijadikan kebun kelapa sawit atau kebun karet.

Beberapa puluh tahun belakangan ini, kehidupan warga semakin sulit akibat terus menyempitnya lahan pertanian. Sebagian besar sudah ditimbun untuk pemukiman dan perkebunan besar. Hanya di kawasan lebak pematang yang tersisa dan umumnya berada di belakang perkampungan yang ditanami padi dan sayuran oleh warga.

“Aku ke perahu dulu, Bu.” Kata Hasmar kepada isterinya. Ia menuju sungai kecil di belakang rumahnya.

Tidak seperti warga lain yang punya sawah di sekitar perkampungan. Sawah Hasmar terletak agak jauh dari dusunnya. Ia harus berperahu hampir satu jam menuju lokasi sawah miliknya. Karena itu setiap ke sawah ia selalu membawa bekal makanan sampai pulang sore. 

Lima tahun lalu, Hasmar punya sawah setengah hektare belakang rumahnya. Karena  butuh duit, sawah peningalan orang tuanya itu dijual sama tetangganya. Hasmar lalu mencari lahan agak jauh dari kampung dan harganya lebih murah. Ia dapat sekitar satu hektare. Sebagian besar ditanam padi. Sisanya ia tanam sayuran.

Dusun Hasmar berbelah sungai dengan lokasi sawahnya. Sekitar lima kilometer ke arah hulu sungai.  Kawasan ini dulunya daerah cekungan yang genangan airnya dangkal. Disebut warga lebak lematang. Sebagian persawahan berada di wilayah tanggul sungai dan wilayah dataran wilayah rawa belakang. Meski jauh dari kampung, namun lokasinya cukup bagus. Tidak jauh dari tanggul sungai juga. Selain mengurus padi, Hasmar sekalian mencari ikan. Biasanya tiap sore sebelum pulang, ia memasang beberapa bubu ikan di parit sungai.

Hamparan lebak di kawasan Tulung Selapan dan kecamatan di sekitarnya cukup luas. Cekungannya pun bervariasi. Selain lebak pematang yang cekungannya dangkal, ada juga lebak tengahan yang cekungan lebih dalam berada agak jauh dari perkampungan. Di kawasan ini juga banyak ditemui cekungan dengan kedalaman di atas 100 meter. Airnya sukar mengering meski di musim kemarau. Biasanya dijadikan tempat memelihara ikan. Warga menyebutnya lebak lebung.

Masa kecil dulu, Hasmar sering diajak kakeknya melihat pelelangan ikan di lokasi lebak lebung di Pedamaran. Berbagai jenis ikan rawa yang dulu sering dilihatnya, kini sudah sangat jarang ditemukan. Ia tidak tahu apa penyebabnya. Mungkin saja kondisi air rawa dari lubuk sungai berubah. Atau karena kondisi musim dan cuaca yang berubah.

Para petani sawah lebak di kampung itu, merasakan musim hujan dan musim kemarau sepuluh tahun terakhir, sering berubah-ubah waktunya. Sehingga mempengaruhi masa tanam. KOndisi itu sangat dirasakan oleh para nelayan pencari ikan.

Bisa jadi pengaruh musim itu berdampak dengan kondisi air di sungai utama ke habitat lubuk. Terutama saat musim banjir. Lebak dan lubuk merupakan tempat perlindungan ikan-ikan pada saat datangnya musim kemarau. Atau bisa saja akibat berkurangnya pepohonan besar di sekitar tanggul sungai. Warga pesisir sungai merasakan, jenis-jenis ikan tersebut mulai berkurang sejak pohon-pohon sepanjang sungai banyak ditebang. (Bersambung)

1 komentar: