Laman

Minggu, 22 Maret 2015

Sketsa Kwoloon
Oleh Conie Sema

DALAM kedinginan 13 derajat Celsius, aku melihat Resya tak ubahnya sebagai manusia baru yang mengenali kembali riwayat negerinya Indonesia. Henry hanya tersenyum melihat tubuhku menggigil digulung udara dingin pagi itu, di Kowloon.

Aku kenal Henry delapan tahun lalu, di sebuah seminar di Jakarta. Dua tahun kemudian kami bertemu lagi di Bangkok. Resya sendiri teman kuliah, sudah lama menetap di Pulau Hongkong sejak bersuamikan warga negara Hongkong. Ia bekerja di sebuah perusahaan jasa wisata.

“Pasca rejim otoriter runtuh, Indonesia membelok arah dari transisi demokrasi ke transisi menuju neoliberalisme dan demokrasi pasar," kata Resya. Negara mulai diatur kekuasaan oligarki pasar, tambahnya.

Ucapan Resya itu meluncur, menyelah percakapanku dengan Henry Tang, kawan diskusi selama dua pekan liburan di Tsim Sha Tsui East, Kowloon, Hongkong. Aku dan Henry baru saja membahas sejarah pelaut Portugis Jorge Alvares, yang menjadi orang Eropa pertama mengunjungi Hongkong.

“Demokrasi yang berpihak kepada rakyat, memang jalan panjang,” tanggap Henry. “Karena demokrasi tak selalu memenangkan kekuasaan rakyat,” ujarnya menanggapi Resya. Ungkapan Henry, mengusik pikiranku berkaitan proses demokratisasi di Indonesia. Aku sedikit bingung membicarakan negeriku. Apa lagi melihatnya dari pulau kecil yang lama dikuasai Britania Raya itu.

Hongkong memiliki salah satu pelabuhan bongkar muat terbesar di dunia. Sebetulnya sudah lebih dulu mengenal sistem perdagangan dan jasa lintas negara. Sejak era perdagangan kapitalisme Portugis ke era ekonomi liberalisme, hingga neoliberalisme sekarang ini. Mereka tentu lebih dulu memahami sistim perdagangan pasar bebas.

Ekonomi pasar bebas mulai bergulir awal berkuasa Ronald Regan di AS, dan Margaret Thatcher PM Inggris tahun 1980 lalu. Keduanya menggerakkan kebijakan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada swasta. Sektor-sektor publik yang ditangani pemerintah lewat BUMN, diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan pasar. Kedua tokoh itu menganggap negara tidak untuk menjamin kesejahteraan umum, memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apa pun. Makanya negara  melakukan pemotongan subsidi. Juga beban pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan.

Karena tindakan mereka itu, para analis percaya bahwa kedua tokoh itulah yang menjadi pelopor bergesernya kebijakan ekonomi ordo liberalisme klasik menjadi ordo neoliberalisme di Eropa dan Amerika. Kebijakan itu kemudian ditiru oleh negara-negara lain, tak terkecuali negara-negara Asia.

Sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia setelah melihat success story ”macan-macan ekonomi Asia” seperti Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan, mulai membuka pasar domestiknya. Mempraktekkan kapitalisme pasar bebas. Hal itu juga mungkin dipicu rasa frustasi dengan sedikitnya hasil yang diperoleh dari kebijakan ekonomi tertutup dan substitusi impor.

Asumsi neoliberalisme, pertumbuhan ekonomi akan optimal, jika dan hanya jika lalu lintas barang atau jasa atau modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu akan terjadi bila digerakkan oleh konsep ’Homo Economics’, yaitu barang atau jasa atau modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang, menjadi kekuatan untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya. Sehingga ”Private Property” (kepemilikan pribadi) pun menjadi absolut. Tanpa tanggungjawab peran sosial apapun juga termasuk negara. Akibatnya, keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik.

Mengubah kebijakan ekonomi walfare state ke ekonomi neoliberalisme hanyalah mengembalikan semangat ajaran kapitalisme murni seperti pada awal masa revolusi industri di Inggris. Bagi mereka kebebasan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah, akan membawa kemakmuran.

Aku dan Henry, ketika di Bangkok, pernah mendiskusikan siasat negara neolib masuk ke negara berkembang. Mereka menggerakkan mesin-mesin neoliberalisme; IMF, Word Bank, CGI, Paris Club dan sebagainya. Metodenya tiga tahap: privatisasi, liberalisasi, dan pasar bebas.

Kemudinya digerakkanlah WTO. Lewat lembaga ini, negara-negara kapitalis mempromosikan atau lebih tepatnya memaksakan privatisasi, liberalisasi dan pasar bebas kepada negara-negara lain. Metode mereka pakai guna melegalkan ketiga kebijakan di atas, antara lain dengan investasi asing, demokratisasi, tekanan ekonomi, tekanan politik, utang luar negeri sampai tekanan militer. Seperti dilakukan terhadap Afghanistan dan Irak.

Dapat diterima ungkapan Henry bahwa demokrasi tak selalu memenangkan kekuasaan rakyat. Bahkan, demokrasi hanya meneruskan kekuasaan lama yang berseragam baru. Kehidupan politik tetap berjalan muram. Demokrasi tak jarang 'memangsa' aktivis dan partisipannya ke dalam jaring-jaring kapitalisme. Mereka lebur dalam kehidupan pragmatis cukong-cukong besar. Menjerumuskan para pejuang demokrasi ini ke dalam kehidupan yang begitu prevate, konsumtif, bahkan hedonik.

“Jadi, kekuatiran Resya atas ancaman demokrasi pro pasar di Indonesia, bukanlah kekuatiran yang tidak beralasan,” kata Henry.

“Betul!” sambut Resya semangat.

Aku mengeluarkan rokokku dari saku celana. Dengan sigap Resya menyambarnya dari tanganku. Lalu menarik sebatang. Aku hidupkan korek api untuknya. Obrolan bersama Henry Tang dan Resya itu, seakan mengulangi kembali cerita awal Henry tentang Hongkong. Sejak masuknya pelaut Portugal Jorge Alvares tahun 1513, Perang Opium Kedua, di Semenanjung Kowloon. Sebua coretan kecil perjalanan dari zaman Neolitikum hingga Neoliberalisme.

Dialog sejarah zigzag itu, membuat kami tertawa sembari melambaikan tangan ke arah kapal Star Ferry yang menyeberangi Victoria Harbour. Kami melihat di buritan kapal ada bendera kecil kelompok New World Group. Mereka membangun tempat pejalan kaki sepanjang tepi laut di sekitar New World Centre di kampung Henry, Tsim Sha Tsui East, Kowloon. "Lima tahun lalu mereka telah membelanjakan sekitar HK $40 juta, untuk membangun Avenue of Stars, sebuah proyek swasta yang didukung penuh pemerintah," ujar Henry sambil tersenyum. (*)

Kowloon, 30 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar