Jeju
Oleh Conie Sema
LELAKI tua yang mengaku
bernama Kim Suok-Beom, baru saja pergi. Ia sempat menyapa kami sesaat dalam
bahasa ibunya. Melalui seorang penerjemah, kami bisa lancar berkomunikasi dengan kakek
berusia 71 tahun itu. Menanyakan banyak hal tentang dirinya dan sejarah
kampungnya.
Kakek Kim adalah
salah seorang eksodus yang baru dua tahun kembali ke kampungnya, Pulau Jeju. Setelah 53
tahun hidup di wilayah pelarian penduduk Jeju, sebuah perkampungan di kawasan Osaka, Jepang.
Kim meninggalkan Jeju, pasca peristiwa pemberontakan penduduk terhadap pemerintahan Korea Selatan, 3 April 1948. Peristiwa berdarah yang menelan puluhan ribu jiwa warga Jeju itu, tak pernah hilang dari
ingatan Kim.
Sesekali ia
terdiam. Matanya menengok ke langit. Mengingat kejadian yang begitu
sadis. “Mereka membakar rumah kami,” ucapnya pelan. “Kami melarikan diri.
Saya dan adik perempuan saya, terpencar dengan bapak dan ibu. Kami dan
ratusan orang lainnya mencari tempat yang lebih aman untuk berlindung. Sementara bapak dan ibu masih bertahan di kampung,”
tambahnya.
Di usianya sekitar
16 tahun masa itu, Kim tidak dapat berbuat banyak. Ia bersama adiknya
akhirnya ikut dengan rombongan pelarian lainnya, menuju wilayah perbatasan Korea-Jepang.
“Saya ingat waktu itu akhir Agustus ’48. Menurut paman saya, suasana sudah
semakin kacau. Pasukan militer dengan kekuatan penuh menyerang desa-desa pemukiman penduduk. Menyeret para pemuda untuk dibunuh. Menculik gadis-gadis
untuk diperkosa beramai-ramai.”
Sampai lima tahun
lebih Militer Korea Selatan terus memburuh warga Jeju yang mereka klaim
sebagai anggota Partai Buruh Korea. “Perburuan disertai pembantaian!” tegas
Kim. "Mereka menakut-nakuti penduduk bahwa siapa pun baik anggota atau pendukung
Partai Buruh adalah komunis. Mereka musuh Negara. Harus dipenjara atau ditembak
mati," jelasnya.
Mendengar cerita
Kakek Kim, aku teringat dengan peristiwa
30 September 1965. Yang disebutkan sebagai Peristiwa G30S PKI, Pemberontakan
atau kudeta PKI (Partai Komunis Indonesia). Banyak kemiripan. Terutama pasca
kejadian pemberontakan. Masa penumpasan dan perburuan para anggota atau
pendukung PKI. Jika di Jeju disebutkan sekitar 60 ribu orang menjadi korban
pembantaian massal, di Indonesia disebutkan ratusan ribu lebih rakyat penjuru negeri, tewas dibantai militer Orde Baru.
Dalam
penumpasan PKI, Orde Baru menggunakan tangan-tangan ulama dan kelompok kanan anti
komunis, pemerintah Korea juga menggunakan organisasi sayap kanan yang anti
komunis. Bersama Perkumpulan Pemuda Barat Daya yang didukung organisasi
kepolisian, mereka menggempur pemberontak Jeju.
Begitu pun
kehadiran Amerika Serikat di balik peristiwa tersebut. Setelah Jepang menyerah
kepada sekutu dan menandatangani Dokumen Kapitulasi Jepang, 2 September 1945,
Semenanjung Korea diduduki oleh Militer Uni Soviet (Tentara Merah) dan Angkatan Bersenjata
Amerika Serikat. Dua negera ini berbagi jatah. Amerika mengambil wilayah Korea
Selatan, dan Uni Soviet mengambil wilayah Korea bagian utara.
Di selatan Amerika
membentuk pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Syngman Rhee. Sementara di
utara, diperintah oleh Partai Buruh Korea Utara di bawah kepemimpinan Presiden
Kim Il-sung.
Pembelahan
semenanjung Korea inilah yang menuai protes rakyat Jeju. ditambah lagi ketika pemerintah pro
Amerika itu mendirikan kantor Badan Persiapan Pendirian Negara Korea di Pulau Jeju. Penduduk Jeju menggelar unjuk rasa menuntut penyatuan
Semenanjung Korea, dan pendirian sebuah negara Korea merdeka dan berdaulat. Dari
unjuk rasa ini enam orang penduduk tewas terkena tembakan yang dilepaskan
aparat kepolisian ke kerumunan massa.
Penduduk Jeju lalu melakukan pemogokan umum. Akhirnya Kantor Pemerintah
Militer Angkatan Darat Amerika di Seoul, mengirim perwira kepolisian dan pemuda sayap
kanan ke Pulau Jeju, mereka melakukan teror yang akhirnya pecah pemberontakan
penduduk Jeju. Mereka didukung Partai Buruh Korea Selatan.
Kakek Kim, adalah
satu dari sekian banyak tokoh kesaksian peristiwa getir itu. Ia adalah salah
satu Zainichi Korea -- sebutan penduduk eksodus Jeju yang menetap di jepang. Kim pulang
ke tanah airnya. Di usia senjanya, Kim ingin menuntaskan kerinduan kepada kampung halaman, kepada kebun
dan kedua bapak dan ibunya. Kim ingin mati dan dikubur di tanah kelahirannya.
Tetapi mimpi dan
kerinduan lelaki tua itu, hanya tinggal mimpi. Jeju bukanlah Jeju yang dahulu.
Keramahan penduduk dan pesona keindahan pulau itu, kini bukan lagi miliknya.
Jeju telah menjadi pulau sorga. Pulau industri pariwisata yang meraup miliaran bahkan
triliunan won, bagi pemerintah Korea
Selatan.
Kakek Kim tidak
pernah tahu lagi identitas kampung dan keluarganya. Jangankan bertemu bapak dan
ibu tercinta, kuburan mereka pun tak akan pernah dijumpainya. Pulau yang
terletak sebelah selatan Semenanjung Korea itu, menjadi sepi dan asing bagi Kim. Jeju telah dipenuhi ornamen-ornamen budaya dan sejarah yang terbingkai berbagai atribut kepentingan politik dan ekonomi negara. Menjadi "Monuments To An Elegy" syair pilu yang tersisa di monumen duka Hallasan atau Gunung Halla, akibat pragmatisme negara.
Lelaki bongkok itu, menyusuri sebuah theme park bernama Jeju Loveland, sebuah taman wisata yang dipenuhi puluhan patung bugil beraneka pose. Kim hanya tersenyum sendiri memandangi tubuh-tubuh telanjang yang berserakan di setiap pojok taman. Ia tahu kalau karya tangan seniman Honglk University Seoul itu, bukan peradaban Jeju.
Lelaki bongkok itu, menyusuri sebuah theme park bernama Jeju Loveland, sebuah taman wisata yang dipenuhi puluhan patung bugil beraneka pose. Kim hanya tersenyum sendiri memandangi tubuh-tubuh telanjang yang berserakan di setiap pojok taman. Ia tahu kalau karya tangan seniman Honglk University Seoul itu, bukan peradaban Jeju.
Sore itu, udara lebih dingin dari kemarin. Kim terpaku menatap
laut dan karang. Batu-batu yang diam. Seakan ingin kembali menyelam ke dasar
laut mencari abalon dan kerang. Selama berabad-abad, penduduk Jeju dijuluki
sebagai yukgoyeok (pekerja keras) yang mengerjakan berbagai pekerjaan berat untuk hidup, seperti menyelam ke
dasar laut, membangun pelabuhan, beternak, membuat kapal dan bertani.
“Kebahagian itu kecil
seperti butir pasir, sementara kesedihan itu sebesar batu karang,” ujar Kim
pelan sambil berlalu meninggalkan kami. Kalimat Kim seperti hendak mengingatkan kembali falsafah kehidupan rakyat Jeju. Tabah dan mampu bertahan dalam situasi sesulit apa pun. ***
Jeju, Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar