Catatan Conie Sema
Illustrasi siluet by Google |
PORTOFOLIO dalam ruang pribadi
seseorang tidak sekedar sekumpulan informasi pribadi. Atau file dokumen atas pencapaian prestasi dalam parameter tertentu. Peristiwa
penting bahkan teramat penting, memprasastikan sejarah hidup dirinya.
kadang terkesan begitu getir, erotik, dan selebrasi.
Banyak sumber portofolio sejarah, jika kita mengumpulkan kembali serpihan ingatan masa kecil. Pengalaman tragis masa poskolonial, misalnya. Ketika kita hendak menuju Indonesia menjadi sebuah negara, atau sering disebut proses “menjadi Indonesia”. Memoar hidup masa itu penuh dengan coretan hitam, penaklukan dan kekuasaan. Penindasan, penghinaan, dendam, kekalahan, dan gemuruh perang.
Kegetiran dan tragedi hadir dalam ruang refleksi kita. Menjadi gumpalan energi untuk berpikir dan meluapkan kreativitas, bahkan melawan untuk memerdekakan diri. Begitu banyak lirik mengungkapkan kritik, sikap pribadi, dan ketegasan untuk menolak segala bentuk penindasan, masa poskolonial tersebut.
Namun sering tidak jujur mengakui bahwa kita dan masa lalu bangsa, banyak tumbuh dari kebohongan. Kita merasa selesai merumuskan Indonesia setelah menuliskan manuskrip negara bernama Indonesia dari selembar teks proklamasi, yang hanya disaksikan segelintir anak-anak bangsa. Kegetiran tersebut bisa saja menjadi ruang teks kita untuk membaca dan menuliskan kembali tragedi sekitar kita ketika banyak orang merasa tidak meyakini Indonesia. Atau ada upaya untuk melepaskan teks dirinya dari sebuah kolektifitas integratif (NKRI). Fenomena tersebut menjadi kegetiran yang ‘berpihak’, menisbihkan teks-teks kolektif atau kebangsaan sebelumnya.
Dalam kontestasi karya, banyak peristiwa atau fakta yang kita manipulir di ruang informasi publik. Kamuflase-kamuflase itu awalnya dilakukan hanya sebatas pertimbangan kebutuhan tertentu. Tetapi tanpa kita sadari telah membunuh kreativitas dan eksistensi berpikir. Berpuluh-puluh tahun kita dihadapkan kontestasi karya, misalnya dalam dunia sastra, dijejali subjek-subjek kepentingan di luar diri kita. Kepentingan tersebut mematahkan imajinasi dan inspirasi pribadi. Akhirnya mengukung kebebasan sastra itu sendiri.
Banyak sumber portofolio sejarah, jika kita mengumpulkan kembali serpihan ingatan masa kecil. Pengalaman tragis masa poskolonial, misalnya. Ketika kita hendak menuju Indonesia menjadi sebuah negara, atau sering disebut proses “menjadi Indonesia”. Memoar hidup masa itu penuh dengan coretan hitam, penaklukan dan kekuasaan. Penindasan, penghinaan, dendam, kekalahan, dan gemuruh perang.
Kegetiran dan tragedi hadir dalam ruang refleksi kita. Menjadi gumpalan energi untuk berpikir dan meluapkan kreativitas, bahkan melawan untuk memerdekakan diri. Begitu banyak lirik mengungkapkan kritik, sikap pribadi, dan ketegasan untuk menolak segala bentuk penindasan, masa poskolonial tersebut.
Namun sering tidak jujur mengakui bahwa kita dan masa lalu bangsa, banyak tumbuh dari kebohongan. Kita merasa selesai merumuskan Indonesia setelah menuliskan manuskrip negara bernama Indonesia dari selembar teks proklamasi, yang hanya disaksikan segelintir anak-anak bangsa. Kegetiran tersebut bisa saja menjadi ruang teks kita untuk membaca dan menuliskan kembali tragedi sekitar kita ketika banyak orang merasa tidak meyakini Indonesia. Atau ada upaya untuk melepaskan teks dirinya dari sebuah kolektifitas integratif (NKRI). Fenomena tersebut menjadi kegetiran yang ‘berpihak’, menisbihkan teks-teks kolektif atau kebangsaan sebelumnya.
Dalam kontestasi karya, banyak peristiwa atau fakta yang kita manipulir di ruang informasi publik. Kamuflase-kamuflase itu awalnya dilakukan hanya sebatas pertimbangan kebutuhan tertentu. Tetapi tanpa kita sadari telah membunuh kreativitas dan eksistensi berpikir. Berpuluh-puluh tahun kita dihadapkan kontestasi karya, misalnya dalam dunia sastra, dijejali subjek-subjek kepentingan di luar diri kita. Kepentingan tersebut mematahkan imajinasi dan inspirasi pribadi. Akhirnya mengukung kebebasan sastra itu sendiri.
Wajar, jika menjelang masa akhir kekuasaan Orde Baru. Karya-karya
sastra kontekstual, seperti berebut hendak menyelebrasi dirinya. Melepaskan sebanyak mungkin teks parlementariat sastra dan sastra jalanan
yang belum tervisualisasi dalam bentuk verbal -- gerakan massa atau aksi jalanan. Sebagian lainnya memecah dalam bentuk wacana
dan diskusi kritis kalangan seniman atau sastrawan.
Kenyataan di atas bukanlah sesuatu fragmented. Ada hal yang strategis diperjuangkan. Seperti kegelisahan akan sentimen ideologis, dimana secara komunal turut menginspirasi perlawanan teks sastra. Bagaikan potret akhir siklus revolusi anti imperialis, yang kemudian dijadikan oleh kaum kiri menjadi gerakan bersama melawan kapitalisme modern. Kontestasi sastra muncul dalam kejutan-kejutan heroik, yang memprioritaskan ruang ruang kebebasan membangun teks lebih lebar, selebratif, bahkan provokatif.
Melihat Indonesia masa lalu, tak ubahnya melihat sebuah portofolio perjalanan politik dan sistem demokrasi kita. Mulai pasca Dekrit 5 Juli tahun 1959 lalu. Setelah Presiden Soekarno mengubur sistem parlementarian atau demokrasi parlementer, ke sistem presidential dengan Demokrasi Terpimpin. Kemudian dirubah lagi menjadi Demokrasi Pancasila oleh Soeharto. Pada fase reformasi, demokrasi kita justeru direbut elit oligarki. Hanya mempertemukan kepentingan jangka pendek bersifat pragmatis dan transaksional.
Masa lalu, tragedi dan kegetiran menjadi luka sejarah yang tak pernah sembuh. Kebodohan dan kemiskinan masih menyelimuti jutaan orang. Bagaimana mungkin karya sastra menyepakati sebuah Indonesia, ketika berganti pemimpin luka-luka tersebut tak juga berakhir. Bahkan keterpurukan itu menjadi alat kampanye politik untuk merebut simpati rakyat. Dan lihatlah hasil pemilu yang menghabiskan trilyunan uang negara. Tidak lebih sebatas prosesi politik dan bagi-bagi kekuasaan para elit di negeri ini.
***
Pasca reformasi, setelah robohnya pemerintahan Orde Baru, kita mengalami diferensiasi memilih sikap bersastra. Pindah ke "rumah" baru (mainstream) atau bertahan di "rumah" lama. Isu-isu demokrasi dan desentralisasi masa euphoria tersebut hanya berhasil mengkontestasi karya sastra sebagai luapan dendam dan kemarahan yang berulang-ulang terhadap rezim Soeharto. Semua orang marah. Semua orang tiba-tiba menjadi pemberani dan heroik. Semua orang berteriak tentang konstitusi, amandemen berbagai aturan pemerintahan dan negara.
Indonesia betul-betul kebingungan mengapresiasi dirinya di tengah kejutan-kejutan heroik tersebut. Hiruk pikuk situasi politik dengan tumbuhnya puluhan partai, dalam sekejap membelah menjadi pribadi-pribadi yang gamang. Jutaan orang panik. Mereka bingung mencari ibu dan bapak bangsa yang sebenar-benarnya. Selalu saja dibohongi. Selalu saja ditipu.
Pandangan tersebut sebagai fakta dari rentetan peristiwa yang telah dan sedang berlangsung hingga saat ini. Saya teringat seniman, sastrawan, dan aktifis sosial, diskusi dan kumpul di pojok-pojok kota, mendiskusikan keadaan masa itu. Sebelum Orba dan Soeharto turun tahta. Seperti orang gila, mereka berteriak-teriak. Menulis sajak, menulis apa saja, sebagai kegelisahan atas ketertindasan oleh sistem kekuasaan otoriter Soeharto. Mereka terus berteriak sampai ke kampus-kampus perguruan tinggi. Terus berteriak, hingga lapar dan kemiskinan sudah tak mereka rasakan lagi.
Ternyata kemiskinan tidak membuat bodoh. Kemiskinan menjadi inspirasi melahirkan karya-karya tulisan yang menggugat, melawan rezim kekuasaan. Beruntunglah masa itu mereka tidak ikut diculik militer. Sehingga tidak memiliki kesempatan merapat ke lingkaran kekuasaan.
Apakah kita masih setia berjaga di garis pinggiran. Garis yang selalu diyakini lebih tepat untuk berjaga dan mengawasi Indonesia. Atau masuk ke tengah lapangan dan ikut bermain? Lalu melukis anasir-anasir moral sebuah kekuasaan baru. Berdiri dalam keramaian, menghapali satu-satu dari ribuan warna yang datang. Sampai akhirnya menjadi monumen patung yang berlumuran warna. Bernama Indonesia.
Setiap hari. Masih terdengar dengusan kawan-kawan diskusi, tiba-tiba meragukan sebuah negara. Meragukan Indonesia. Meragukan pemimpinnya. Meski pun presiden sudah dipilih langsung oleh rakyat. "Memang ada perubahan dalam konteks reformasi politik. Tetapi dari struktur geo-politik dan kebijakan ekonomi, Indonesia masih setia menjadi boneka neoliberalisme, yang menjalankan kepentingan global Amerika Serikat," sanggah mereka. "Apa bedanya seperti Soeharto yang selalu melayani resep IMF dan World Bank," tegasnya.
Menurut mereka, pemimpin terpilih pada pemilu lalu, seperti ingin menjelmakan kembali praktek rezim masa lalu, yang dibingkai keyakinan liberal. Mereka beranggapan ekonomi akan optimal, jika lalu-lintas barang atau jasa atau modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu hanya akan terjadi bila digerakkan oleh konsep ’Homo Economics’, yaitu barang atau jasa atau modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya, sehingga ”Private Property” pun menjadi absolut tanpa tanggung-jawab peran sosial apapun juga termasuk negara. Dan keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik.
Rezim Orba dan rezim masa sekarang nyaris sama saja. Keduanya menggerakkan kebijakan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada swasta. Sektor-sektor publik seperti yang ditangani pemerintah lewat BUMN-BUMN pun diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan pasar. Negara tidak untuk menjamin kesejahteraan umum, apa lagi memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apa pun. Mereka memangkas subsidi kebutuhan rakyat. Juga menekan beban pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan.
***
Kenyataan di atas bukanlah sesuatu fragmented. Ada hal yang strategis diperjuangkan. Seperti kegelisahan akan sentimen ideologis, dimana secara komunal turut menginspirasi perlawanan teks sastra. Bagaikan potret akhir siklus revolusi anti imperialis, yang kemudian dijadikan oleh kaum kiri menjadi gerakan bersama melawan kapitalisme modern. Kontestasi sastra muncul dalam kejutan-kejutan heroik, yang memprioritaskan ruang ruang kebebasan membangun teks lebih lebar, selebratif, bahkan provokatif.
Melihat Indonesia masa lalu, tak ubahnya melihat sebuah portofolio perjalanan politik dan sistem demokrasi kita. Mulai pasca Dekrit 5 Juli tahun 1959 lalu. Setelah Presiden Soekarno mengubur sistem parlementarian atau demokrasi parlementer, ke sistem presidential dengan Demokrasi Terpimpin. Kemudian dirubah lagi menjadi Demokrasi Pancasila oleh Soeharto. Pada fase reformasi, demokrasi kita justeru direbut elit oligarki. Hanya mempertemukan kepentingan jangka pendek bersifat pragmatis dan transaksional.
Masa lalu, tragedi dan kegetiran menjadi luka sejarah yang tak pernah sembuh. Kebodohan dan kemiskinan masih menyelimuti jutaan orang. Bagaimana mungkin karya sastra menyepakati sebuah Indonesia, ketika berganti pemimpin luka-luka tersebut tak juga berakhir. Bahkan keterpurukan itu menjadi alat kampanye politik untuk merebut simpati rakyat. Dan lihatlah hasil pemilu yang menghabiskan trilyunan uang negara. Tidak lebih sebatas prosesi politik dan bagi-bagi kekuasaan para elit di negeri ini.
***
Pasca reformasi, setelah robohnya pemerintahan Orde Baru, kita mengalami diferensiasi memilih sikap bersastra. Pindah ke "rumah" baru (mainstream) atau bertahan di "rumah" lama. Isu-isu demokrasi dan desentralisasi masa euphoria tersebut hanya berhasil mengkontestasi karya sastra sebagai luapan dendam dan kemarahan yang berulang-ulang terhadap rezim Soeharto. Semua orang marah. Semua orang tiba-tiba menjadi pemberani dan heroik. Semua orang berteriak tentang konstitusi, amandemen berbagai aturan pemerintahan dan negara.
Indonesia betul-betul kebingungan mengapresiasi dirinya di tengah kejutan-kejutan heroik tersebut. Hiruk pikuk situasi politik dengan tumbuhnya puluhan partai, dalam sekejap membelah menjadi pribadi-pribadi yang gamang. Jutaan orang panik. Mereka bingung mencari ibu dan bapak bangsa yang sebenar-benarnya. Selalu saja dibohongi. Selalu saja ditipu.
Pandangan tersebut sebagai fakta dari rentetan peristiwa yang telah dan sedang berlangsung hingga saat ini. Saya teringat seniman, sastrawan, dan aktifis sosial, diskusi dan kumpul di pojok-pojok kota, mendiskusikan keadaan masa itu. Sebelum Orba dan Soeharto turun tahta. Seperti orang gila, mereka berteriak-teriak. Menulis sajak, menulis apa saja, sebagai kegelisahan atas ketertindasan oleh sistem kekuasaan otoriter Soeharto. Mereka terus berteriak sampai ke kampus-kampus perguruan tinggi. Terus berteriak, hingga lapar dan kemiskinan sudah tak mereka rasakan lagi.
Ternyata kemiskinan tidak membuat bodoh. Kemiskinan menjadi inspirasi melahirkan karya-karya tulisan yang menggugat, melawan rezim kekuasaan. Beruntunglah masa itu mereka tidak ikut diculik militer. Sehingga tidak memiliki kesempatan merapat ke lingkaran kekuasaan.
Apakah kita masih setia berjaga di garis pinggiran. Garis yang selalu diyakini lebih tepat untuk berjaga dan mengawasi Indonesia. Atau masuk ke tengah lapangan dan ikut bermain? Lalu melukis anasir-anasir moral sebuah kekuasaan baru. Berdiri dalam keramaian, menghapali satu-satu dari ribuan warna yang datang. Sampai akhirnya menjadi monumen patung yang berlumuran warna. Bernama Indonesia.
Setiap hari. Masih terdengar dengusan kawan-kawan diskusi, tiba-tiba meragukan sebuah negara. Meragukan Indonesia. Meragukan pemimpinnya. Meski pun presiden sudah dipilih langsung oleh rakyat. "Memang ada perubahan dalam konteks reformasi politik. Tetapi dari struktur geo-politik dan kebijakan ekonomi, Indonesia masih setia menjadi boneka neoliberalisme, yang menjalankan kepentingan global Amerika Serikat," sanggah mereka. "Apa bedanya seperti Soeharto yang selalu melayani resep IMF dan World Bank," tegasnya.
Menurut mereka, pemimpin terpilih pada pemilu lalu, seperti ingin menjelmakan kembali praktek rezim masa lalu, yang dibingkai keyakinan liberal. Mereka beranggapan ekonomi akan optimal, jika lalu-lintas barang atau jasa atau modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu hanya akan terjadi bila digerakkan oleh konsep ’Homo Economics’, yaitu barang atau jasa atau modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya, sehingga ”Private Property” pun menjadi absolut tanpa tanggung-jawab peran sosial apapun juga termasuk negara. Dan keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik.
Rezim Orba dan rezim masa sekarang nyaris sama saja. Keduanya menggerakkan kebijakan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada swasta. Sektor-sektor publik seperti yang ditangani pemerintah lewat BUMN-BUMN pun diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan pasar. Negara tidak untuk menjamin kesejahteraan umum, apa lagi memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apa pun. Mereka memangkas subsidi kebutuhan rakyat. Juga menekan beban pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan.
***
Betul, kita semakin tua. Hanya
beberapa lembar portofolio yang mungkin sempat dicatatkan dalam perjalanan dan
perjuangan hidup. Portofolio tersebut kelak bisa membuat kita tertawa atau
menangis. Menulis kekalahan dan kemenangan. Atau bisa saja menjadi pemuas hati
untuk melepaskan romantisme waktu, dan kegenitan masa lalu. Atau jadi syair
kematian dalam sejarah.
Jika tak malu dibilang berkontemplasi, setengah abad lebih adalah waktu yang cukup bagi semua orang melihat dirinya, menjaga dirinya, menjaga persahabatan, keluarga dan lingkungan hidup sekitarnya. Karena sudah tak ada waktu lagi kita untuk segera menandai identitas siapa kita. Mengumpulkan kembali penandaan yang berserakan. Atas nama identitas, “in the name of identity.” Sekedar memastikan, apakah kita masih setia berjaga di garis pinggiran. Garis yang selalu diyakini lebih tepat untuk berjaga dan mengawasi Indonesia. Atau sebaliknya. Masuk ke tengah dengan meyakini kekuatan moral?
Saya tutup tulisan ini dengan narasi pendek, 15 tahun
lalu: Jika tak malu dibilang berkontemplasi, setengah abad lebih adalah waktu yang cukup bagi semua orang melihat dirinya, menjaga dirinya, menjaga persahabatan, keluarga dan lingkungan hidup sekitarnya. Karena sudah tak ada waktu lagi kita untuk segera menandai identitas siapa kita. Mengumpulkan kembali penandaan yang berserakan. Atas nama identitas, “in the name of identity.” Sekedar memastikan, apakah kita masih setia berjaga di garis pinggiran. Garis yang selalu diyakini lebih tepat untuk berjaga dan mengawasi Indonesia. Atau sebaliknya. Masuk ke tengah dengan meyakini kekuatan moral?
Ketika kedukaan itu bukan lagi tangisan.
Kita bersiap pergi, tidak dengan airmata. Tidak dengan luka.
Tidak atas nama kekalahan atau kemenangan.
Kita pergi bersama janji yang melahirkan kita! ***
Kemiling, Bandar Lampung, Agustus 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar