Selamat Jalan Radhar Panca Dahana
Tahun 1994, Radhar Panca Dahana datang ke Palembang. Ia baru saja meluncurkan buku puisinya, Lalu Waktu. Melalui kontak sahabat T. Wijaya, akhirnya kami bertiga bertemu. Radhar menginap di rumah yang juga dijadikan sekretariat Teater Potlot. Ia sedikit bingung karena diskusi dan pembacaan antologi puisinya, kami gelar di sekretariat LBH Palembang. Saya dan T. Wijaya selaku panitia kecil, mengangkat tema diskusi, "Sastra Gerakan". Radhar membacakan puisinya di hadapan sejumlah aktivis pro-demokarasi, seniman, dan wartawan yang hadir dalam acara tersebut. Enam tahun kemudian rejim Orde Baru jatuh.
Usai pertemuan tersebut, saya sudah tak lagi bertemu Radhar. Saya pindah ke Bandarlampung, bekerja sebagai koresponden RCTI. Beberapa kesempatan bertemu dengan kawan-kawan dari Palembang, Radhar selalu menitipkan salam buat saya. Tapi kami belum juga ada kesempatan bertemu, sampai akhirnya beliau wafat, Kamis malam, 22 April 2021 bertepatan di bulan suci Ramadhan.
Berikut saya tampilkan beberapa
puisi Radhar Panca Dahana dari kumpulan puisi Lalu Waktu (1994).
Pulang
hujan sedari tadi belum berhenti
kenapa merpati terbang sendiri
kuyup basah tidak perduli
sudah berapa pagi,
tak mau juga ia menepi.
apa yang kau cari?
kabar kekasihkah menyertai
atau sekedar ingin kembali?
tahukah kamu, di sini
seumur hujan ia menanti
1987
Catatan Kaki Sehabis Demonstrasi
aku melihat diam
tak seorang saja
tapi satu bangsa
kulihat batu
padahal manusia
menunggu waktu
padahal sia sia
di ini negeri apa pun boleh terjadi
tapi jangan sebut revolusi,
siapa pun pahlawan ngeri. mimpi saja tak
berani
mereka capek dikibuli, dikebal sakit
hati
kubasuh kaca lensa, kuhapus kata
berikutnya
dan kutulis cerita: “aku melihat bisu
berjuta juta kamu berjuta juta aku.”
1987
Perjalanan
inilah arti banyak dari satu kata
laknat: saat.
inilah halte kehidupan, konstanta
peradaban, partikel
sebuah perjalanan; semua tumbuh sendiri
semua rusak
sendiri, untuk akhirnya mati. (dan
saat mengalir di situ).
inilah arti banyak dari perjalanan yang
tak mampu kita
hentikan. biang keladi semua yang tak
terelakkan.
tak pernah aku percaya jika hanya Tuhan
dan kematian
bisa meluputkan kita darinya.
tapi, inilah arti banyak jika hidup dan
peradaban baru
dari sejarah yang terbelenggu, akan kita
rapikan.
dengan segenap kemurnian, tanpa lagi
campur tangan
raksasa perusak itu. dan cuma ini
jawabku,
“kalahkan waktu!”
1985
Pembunuhan Kopi di Pagi Hari
andaikata
kuregang badan sekujur waktu, tetap saja tak kutemukan kau di situ. sejak lama
sudah, kecewa ini kupelihara, seperti lumut menyelimuti batu. aku tak pernah
sia-sia, walau sekali lagi, sekali lagi, melulu kekalahan kurayakan.
secangkir
kopi panas yang kuhirup pagi dini sekali, menyodorkan kangen yang selalu datang
di permukaan peruntunganku; kapan aku bisa memenangkan kejuaraan yang tak
pernah dipertandingkan? kangen yang selalu mengingatkan bahwa kau masih ada.
tapi koran pagi, berita radio dan televisi tak henti mengingatkan siapa saja
bahwa waktu sudah tiada. karena itu, silakan kita ramai ramai membunuh kecewa.
kita tidak bisa lagi mengenali diri sendiri lewat cermin mephistopheles. bahkan
kata hati pun sudah tidak jujur pada dirinya sendiri. lidah selalu me- ngatakan
“yang sebenarnya” dari yang sebenarnya bukan. emhh…betapa panas hari, dan tak
ada angin di sini. pada- hal masih dini pagi, dan tukang sayur mulai menjajakan
koran. pada saat seperti itu, pada suasana seperti itu, hanya satu yang ingin
aku nyatakan; aku dapatkan satu dari kamu dengan melenyapkan satu dariku. kau
tak tahu.
1992
Sekilas Biografi Radhar Panca Dahana
Radhar Panca Dahana dikenal
sebagai esais, sastrawan, kritikus sastra, dan jurnalis. Ia pun bergiat sebagai
pekerja dan pengamat teater. Puluhan esai, kritik, karya jurnalis, kumpulan
puisi, naskah drama, pertunjukan teater, dan beberapa buku tentang teater telah
dihasilkannya. Radhar lahir di Jakarta, 26 Maret 1965.
Nama Radhar merupakan akronim
dari nama kedua orang tuanya: Radsomo dan Suharti. Ia anak kelima dari tujuh
bersaudara yang seluruhnya juga mempunyai nama depan Radhar. Kehidupan masa
kecilnya sangat keras. Ayahnya yang pernah difitnah sebagai penyokong komunis
mendidik anak-anaknya dengan disiplin yang tinggi, bahkan cenderung otoriter.
Menurut Radhar, sejak kecil ia dan saudara-saudaranya sudah diajari berhitung
angka hingga jutaan, pulang ke rumah harus tepat waktu, dan senantisa belajar
kapan pun. Hukuman yang diterima jika melanggar aturan adalah sabetan rotan.
Selain itu, seluruh anak lelaki dikuncung, digundul dengan disisakan sedikit
rambut di ujung kepalanya. Dari semua saudaranya, hanya ia yang kerap
membangkang dan mendapat hukuman yang sangat keras. Ketidakcocokan cita-cita
antara orang tuanya dan dirinya, yaitu orang tuanya mengharapkan dirinya
menjadi pelukis, sedangkan ia sangat menyukai teater dan karang-mengarang, dan
karena sering pula disakiti secara fisik membuat Radhar, pada akhir tahun 1970,
sering pergi dari rumahnya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Tempat favorit yang ditujunya
adalah kawasan Bulungan, tempat yang kemudian membentuk pribadinya seperti yang
dikenal saat ini. Radhar Panca Dahana memang dianugerahi bakat menulis. Ketika
masih duduk bangku kelas lima sekolah dasar, ia sudah mampu menulis sebuah
cerita pendek “Tamu Tak Diundang.”
Radhar mengirimkannya ke harian Kompas dan dimuat. Pada saat duduk di bangku
kelas dua SMP, ia menjadi redaktur tamu majalah Kawanku. Selama beberapa bulan,
ia membantu menyeleksi naskah cerpen dan puisi yang masuk. Ia mulai mengarang
cerita pendek, puisi, dan membuat ilustrasi ketika duduk di kelas tiga SMP.
Beberapa karyanya, di
antaranya, dimuat di majalah Zaman, yang waktu itu redakturnya adalah Danarto.
Radhar menyamar jati dirinya dengan nama Reza Morta Vileni. Nama samaran itu
diilhami oleh nama teman sekolahnya, Rezania, yang piawai berdeklamasi. Saat
sekolah SMA di Bogor ia juga sempat bergabung dengan Bengkel Teater Rendra.
Namun, Radhar berselisih dengan Rendra mengenai manajemen grup. Akhirnya, ia
mengundurkan diri. Ia menuruti anjuran Anto Baret untuk melanjutkan studi ke
perguruan tinggi. Harapannya diterima di Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas
Pajajaran, gagal. Ia diterima di sosilogi, UI. Mata kuliahnya diselesaikan
dalam waktu 2,5 tahun.
Teater dan kerja jurnalistik
kembali menggodanya sehingga ia tidak acuh pada tata adminitrasi di kampusnya.
Saat ia akan pergi ke Prancis, barulah ia mengurus masalahnya itu. Tahun 1997,
Radhar melanjutkan studi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales,
Prancis, dengan meriset postmodernisme di Indonesia. Baru setahun, Radhar
pulang ke Indonesia dan membatalkan fasilitas studi yang harusnya mencapai
tingkat doktoral. Alasannya, “Aku tak kuat menahan diri. Sementara aku hidup
enak di sini, di negeriku orang-orang hidup dalam teror.” Pada waktu itu di
Indonesia sedang terjadi kekacauan politik dan ketidakstabilan keamanan akibat
tergulingnya Suharto dari kursi presiden.
Sepulang dari Prancis, Radhar
mengalami stres berat. Ia divonis gagal ginjal kronis, acute renal failure dan
cjronic renal failure, pembunuhan sel ginjal secara perlahan. Dua buah
ginjalnya dinyatakan sudah mati. Hingga hari ini, tiada hari yang ia lewati
tanpa gangguan 2-3 penyakit dari sekitar 15 penyakit baru yang dapatkan setelah
cuci darah. Pencapaiannya saat ini adalah mengelola rubrik “Teroka” di harian
Kompas, memimpin Federasi Teater Indonesia, Bale Sastra Kecapi, dan Teater
Kosong yang ia dirikan serta pengajar di Universitas Indonesia. Kini, Radhar
Panca Dahana menetap di Tangerang bersama istri dan seorang anaknya. Ketika
Arswendo Atmowiloto membuat Koma
(Koran Remaja) pada akhir 1970-an, Radhar turut terlibat sebagai reporter dan
menandai kiprahnya sebagai jurnalis. Ia mencantumkan nama aslinya Radhar
sebagai reporter dan Reza sebagai penata artistik. Pada periode itu
produktivitasnya mengarang cerpen remaja sangat tinggi. Waktu itu terbit
berbagai majalah kumpulan cerpen di Jakarta, seperti Pesona dan Anita, menjadi
tempat penampungan karyanya. Cerpen Radhar Panca Dahana kala itu juga mengisi
media massa cetak, seperti majalah remaja Gadis, Nona, dan Hai, bahkan, majalah
dewasa, seperti Keluarga, Pertiwi, dan Kartini. Karier Radhar sebagai jurnalis
pemula semakin berkembang ketika ia diterima bekerja di harian Kompas.
Valens Doy, wartawan senior Kompas, menempatkannya sebagai pembantu
reporter atau reporter lepas. Ia diminta menulis rubrik apa saja: olahraga,
kebudayaan, pendidikan, berita kota tentang kriminalitas, dan hukum. Akan
tetapi, pekerjaannya sebagai jurnalis terhenti saat orang tuanya tidak
mengizinkannya bekerja. Radhar harus kembali ke bangku sekolah. Pendidikan
SLTA-nya (melalui SMA 11 Jakarta, SMA 46 Jakarta, dan sebuah SMA di Bogor)
dihabiskan dalam waktu enam tahun. Menurutnya, hal itu adalah buah dari
kekecewaannya karena tidak diizinkan bekerja oleh orang tuanya. Sejak SD,
wataknya yang memberontak dan ingin “menguasai” publik membuatnya tidak disukai
oleh teman-temannya.
Di SMA, ia kerap bertengkar
dengan guru dan menolak sistem sekolah. Hal itu tidak mengherankan karena
Radhar yang senang membaca buku berat, seperti pemahaman Ivan Illic tentang
formalisme pendidikan dalam Bebas dari Sekolah dan pemikiran Paulo Freire dalam
Pendidikan Kaum yang Tertindas, tanpa mencernanya. Radhar Panca Dahana saat itu
dekat dengan Noorca M. Masardi, Anto Baret, dan W.S. Rendra. Ketiga orang
itulah yang membantunya dengan memberi nasihat mengenai apa yang patut
diperbuatnya.
Karya-karya Radhar Panca Dahana
Buku-buku yang ditulis Radhar antara lain:
- Homo Theatricus
- Menjadi Manusia Indonesia (esai humaniora, 2002)
- Jejak Posmodernisme (2004)
- Inikah Kita; Mozaik Manusia Indonesia (esai humaniora, 2006)
- Dalam Sebotol Coklat Cair (esai sastra, 2007).
Kumpulan puisi:
- Simponi Duapuluh (1988)
- Lalu Waktu (1994)
Kumpulan cerpen:
- Masa Depan Kesunyian (1995)
- Ganjar dan Si Lengli (1994)
- Cerita-Cerita dari Negeri Asap (2005)
Kumpulan drama:
- Metamorfosa Kosong (kumpulan drama, 2007)
- Memimpin kelompok Teater
Aquilla, Telaga, dan Teater Kosong Radhar Panca Dahana terpilih sebagai satu di
antara lima seniman muda masa depan Asia versi NHK (1996). Ia juga pernah
meraih Paramadina Award (2005), serta menjadi Duta Terbaik Pusaka Bangsa dan
Duta Lingkungan Hidup (sejak 2004). Pada tahun 2007 ia menerima Medali Frix de le Francophonie 2007 dari lima
belas negara berbahasa Prancis. (Conie Sema - dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar