Sebungkus Deterjen dan Hiperrealitas Pilpres
Oleh Conie Sema
DRAMA Pilpres 2014 betul-betul unik dan menarik. Seperti
eksprimental teater yang mengeksplorasi semua ruang, merekonstruksinya
menjadi ruang-ruang baru. Lebih
seru lagi, tingkat partisipasi aktor
yang terlibat sangat beragam dan tidak mengenal kelas. Peristiwa demi peristiwa berlangsung cepat dan
tanpa batas.
Maka mulailah babak drama teater itu berlangsung. Hiruk pikuk terjadi di mana-mana, sampai ke kamar tidur, suami berdebat dengan isterinya karena berbeda pilihan Capres. Semua orang beropini. Mereka mengambil referensi dari nonton televisi, buka facebook dan tweeter, nguping cerita tetangga atau kawan se kantor. Isu-isu agama, hujatan rasial pun, keluar begitu saja. Tidak ada lagi batas etika dan moral
Situasi gemuruh massal ini, mengingatkan saya ketika aktif di Teater Potlot: “Sebungkus Deterjen Hari Ini,” (Cibubur, 1993). Pementasan itu, beranjak dari keinginan menggambarkan atau mensimulasikan realitas yang terjadi masa Orde Baru. Simulasi realitas rezim yang berkuasa saat itu, membentuk persepsi yang cenderung palsu, namun dibuat seolah mewakili kenyataan.
Bahasa dan alat ucap pun, menjadi presentasi realitas melalui pencitraan (simulacrum)
yang dikemas sedemikian rupa oleh media massa. Membangun kekuasaan
rezim bahasa. Menjadi hiperreal antar bahasa rakyat dan bahasa
kekuasaan. Dan itu menjadi siasat supaya masyarakat mengalami kesulitan
dalam memahami relevansi antara bentuk dan isi, kebingungan menyerap
antara yang sejati dan semu.
Ruang pemaknaan di
mana dijejali terus menerus tanda-tanda saling terkait dianggap tidak
harus memiliki tautan logis. Membuat tumpang tindih dalam cara kita
menyikapi antara yang real dan virtual, antara yang sejati dan yang
palsu.
“Ini deterjen. Mereknya, Dino. Ini Baskom plastik. Ini pakaian kotor. Saya akan mencuci pakaian ini. Ini sepatu. Ini radio transistor, mereknya Nasional. Ini air. Air saya masukan ke baskom. Ini deterjen, saya taburkan ke air di dalam baskom ini. Pakaian kotor, sepatu, dan radio ini, saya masukan ke baskom. Saya mulai mencuci!”
Demikian salah satu kutipan dialog pementasan itu. Saya simulasikan realitas produk dan tanda untuk menjelaskan objek itu sendiri. Karena presentasi (visual/gambaran) menjadi hal yang lebih penting dari objek yang sebenarnya.
“Ini deterjen. Mereknya, Dino. Ini Baskom plastik. Ini pakaian kotor. Saya akan mencuci pakaian ini. Ini sepatu. Ini radio transistor, mereknya Nasional. Ini air. Air saya masukan ke baskom. Ini deterjen, saya taburkan ke air di dalam baskom ini. Pakaian kotor, sepatu, dan radio ini, saya masukan ke baskom. Saya mulai mencuci!”
Demikian salah satu kutipan dialog pementasan itu. Saya simulasikan realitas produk dan tanda untuk menjelaskan objek itu sendiri. Karena presentasi (visual/gambaran) menjadi hal yang lebih penting dari objek yang sebenarnya.
Penandaan “mencuci” dalam pementasan itu, menjadi chaos
interprestasi. Tak menentu. Tidak lagi membutuhkan representasi
sutradara dan skenario cerita. Bahkan keberadaan aktor, tidak begitu
penting lagi. Mengingat properti dan benda-benda dalam sekejap berubah
menjadi penandaan simulatif. Seperti fenomena simulakrum dunia
Disney dibangun dari proses imajinasi, yang sebelumnya tidak ada.
Kehadiran makhluk seperti Donald, Mickey dan lain-lain ada dalam
sekejap, tidak melalui proses evolusi Darwin, misalnya. Kemudian dijustifikasi oleh kekuatan media seperti televisi, koran, radio, dan media sosial menjadi lebih simulatif.
Kontestasi
Pilpres 2014, menjadi hal yang wajar jika banyak orang yang pusing oleh
lalu lintas informasi yang sengkarut. Seorang kawan, aktor relawan
pendukung salah seorang Capres, sewot dan panik, karena akunnya diserang posting-posting pendukung kandidat Capres dari kubu lawan politiknya. Bukan persoalan content, tapi postingnya yang menjadi representasi kemarahan kawan saya itu.
Pencitraan kandidat presiden, termasuk ke fenomena hiperrealitas itu. Asraf Amir Piliang dalam Dunia yang Berlari (2006), mengingatkan bahwa manusia modern telah terjebak dalam permainan tanda dan citra bujuk rayu dan ketersesatan tanpa tujuan. Pencitraan (semu) gaya hidup menjadi segala-galanya. Sehingga representasi tanda menciptakan mitos baru yang mengambil alih makna secara utuh. Proses ini dikenal sebagai imagologi atau penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan imaji tentang realitas. Misalnya sosok yang jujur dan merakyat. Atau sosok yang tegas dan pemberani.
Dunia-dunia
buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las Vegas atau
Beverlly Hills, yang menjadi model realitas-semu Amerika, adalah
representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Mereka lebih
berhasil membangun imaji-imaji semu dibanding fakta yang sebenarnya.
Pertanyaan kita, mengapa hiperreal terjadi pada Pilpres 2014? Padahal kondisi hiperealitas seperti di atas, oleh Baudrillard, dimaknai sebagai “the simulation of something which never really existed” (simulasi realitas yang pada dasarnya tidak pernah ada). Sementara Umberto Eco menyebutnya sebagai “the authentic fake”
atau kepalsuan yang otentik. Baik Eco maupun Baudrillard melihat adanya
realitas yang saling tumpang tindih dalam cara kita menyikapi antara
yang real dan virtual, antara yang sejati dan yang palsu. Hal ini
berarti bahwa esensi utama memilih pemimpin saat ini, telah mengalami
pergeseran fundamental oleh karena sesuatu yang lain yang pada
kenyataannya lebih banyak mengandung semangat pragmatisme dan
kepentingan (konsumerisme) kelompok atau individual tertentu ketimbang
spirit kebangsaan atau nasionalisme.
Pragmatisme
adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu
ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau
tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak
dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir
Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagaiآ
sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi
pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles
S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James
(1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Dalam pentas Teater Potlot “Sebungkus Deterjen Hari ini”, saya menggambarkan pragmatisme William James, itu dengan cerita, “Lydia dan Godot Belanja Gula-gula”
karya T. Wijaya. Dimana terjadi teks menjadi teori kebutuhan
dasar dan kebutuhan pertumbuhannya Abraham Maslow (1943-1970). Sebuah
proses manusia menuju kebutuhan pertumbuhan dengan keterlibatan dan
hubungan sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Perubahan itu sangat
paradoks dengan sisi lain anggota masyarakat yang masih harus bersusah
payah mencari makan, perlindungan, dan rasa aman.
Maka, dalam menuju
proses itulah pragmatisme berubah menjadi destruktif dan menakutkan.
Orang atau institusi melakukan apa saja untuk mengejar hasil yang mereka
inginkan.
Dalam dunia
politik di Indonesia, dapat kita lihat bagaimana Orde Baru menerapkan
pragmatisme tersebut tanpa peduli dengan nilai. Apa saja dikerjakan oleh
rezim itu asal menguntungkan kekuatan politik mereka. Misalnya, fitnah
(Petisi 50), rekayasa isu mendirikan Negara Islam (Hispran akhir
1970-an), isu GPK dan pembunuhan (Talangsari dan Tanjung Priok 1984),
dan kampanye anti-Pancasila (1985), dan masih banyak lagi yang
lain-lainnya.
Pragmatisme
dalam bisnis masa Orde Baru, melahirkan kroni dan para konglomerat yang
tak peduli dengan Indonesia. Para investor asing masuk menguras kekayaan
Indonesia dan membawa hartanya keluar. Penyair WS Rendra pernah bilang;
“Mereka berkoar-koar nasionalisme, tetapi harta kekayaan negeri ini
dijual dan dirampok keluar negeri!”
Pilpres 2014 ini merupakan drama panjang yang menguras energi putra-putri negeri ini. Epilognya, kita
berharap fenomena hiperrealitas tersebut tidak menghasilkan ketakutan
dan rasa kuatir kita, kembali ke masa-masa sulit beberapa dekade
kepemimpinan masa lalu. Siapa pun pemimpin terpilih, kita ingin
kontestasi politik yang dibarengi simulasi semu tersebut, berbalik
menjadi realitas asli (sign of reality). Atau bahasa lainnya, presentasi mimpi menjadi kenyataan.
Saya pun menginginkan, peristiwa mencuci “Sebungkus Deterjen Hari ini”,
tidak lagi berhadapan dengan hiper-realitas masa Orde Baru. Tetapi
betul-betul membersihkan hati nurani para pemimpin negeri ini dari kepentingan pragmatis seperti diuraikan di atas. Bahkan, kita berharap, mampu menjernihkan pikiran kita akan ke-Indonesiaan. Sebuah era baru
yang membangkitkan spirit kebersamaan. Menjadi bangsa berdaulat, menuju
kemakmuran yang adil bagi seluruh rakyat negeri ini. Semoga! ***
Conie Sema,
mantan koresponden RCTI di Lampung. Banyak menulis esai-esai kebudayaan
di sejumlah media, dan pernah aktif berkesenian di Teater Potlot.
Kompasiana, 18 Juli 2014
Kompasiana, 18 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar