by Conie Sema
ZHONGHUA merupakan transliterasi dari diksi Tionghoa.
Artinya “Negeri di Tengah”. Namun, karena Orde Baru mencurigai aktivis Tionghoa
kiri terlibat dan mendukung Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis
Indonesia, maka kata tersebut dipinggirkan, lalu diganti Cina.
Disingkirkannya kata Tionghoa ternyata juga diikuti
“peminggiran” manusianya. Tindakan Orde Baru itu mereproduksi apa yang telah
dilakukan pemerintah Belanda di nusantara ini.
Cina yang secara etimologi berasal dari kata Qin – sebuah dinasti yang berhasil
mempersatukan daratan Tiongkok pada 221 Sebelum Masehi – kemudian menjadi diksi
ampuh bagi pemerintahan Orde Baru untuk mengekploitasi rakyat dan alam.
Jenderal Besar Soeharto melalui Cina mampu mengendalikan
kepentingan ekonomi dirinya dan keluarganya. Cina diberi kemudahan untuk
melakukan bisnis, tapi di sisi lain mereka harus memberikan “pajak” besar
kepada Soeharto dan keluarga, serta kawan-kawan seperjuangannya.
Sangat cerdas. Sebab saat konflik sosial akibat persoalan
ekonomi, Cina yang pertama dihadapkan pada rakyat. Rakyat lalu marah kepada
Cina. Ujaran-ujaran rasial bermunculan seperti, “Cina Kebun”, “Cina Kulup”, atau “Cina Loleng”. Konkretnya peristiwa kerusuhan Mei tahun lalu.
Kini Jenderal Besar Soeharto sudah pulang ke rumahnya. Tidak
lagi pergi sebagai raja. Namun, rakyat tetap melihat Zhonghua sebagai Cina,
sehingga hak politik mereka tetap terpinggirkan. Bahkan, tragisnya, sebagian
dari mereka merasa ditakdirkan menjadi Cina.
Ini tidak adil. Sebab di antara kita ada jutaan Zhonghua
hidup dalam kemiskinan; menanam sayur dengan tanah seluas 20 meter persegi
untuk menghidupi keluarga besarnya, atau bertahun-tahun membuat makanan tahu
tanpa pernah menikmati film di layar lebar.
Ini juga tidak fair. Sejarah
menunjukkan bahwa Zhonghua-lah yang telah mengajarkan kita berdagang, membangun
rumah yang indah, serta berperang. Mereka yang pertama kali mengajarkan
sebagian besar agama yang kemudian berkembang di negeri ini.
Cobalah berkaca: Kita adalah Mongoloid; berkulit kuning atau
coklat, berhidung rendah, serta berbola mata hitam atau coklat tua. Artinya,
kita adalah Kunming yang bernama Komering, Palembang yang bernama Taiwan, atau
Vietnam yang bernama Menggala. Sama saja. Mongoloid.
Seperti kata Stanley Prasetyo Adi, aktivis pers, kita
menjadi Indonesia, Malaysia, atau Brunei karena proses kekuasaan dan penaklukan
yang kemudian terkotak dalam negara ketimbang persamaan ras sebagai identitas.
“Saya mencari Cina.
Saya Tionghoa,” kata T. Wijaya dalam sajaknya “Teng! Teng! Teng! Saya
Mencari Cina”, sebuah catatan dari peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Minoritas itu
tidak ada. Mari bersama kita ke tengah.***
CONIE SEMA
Newsletter Rakyat,
Januari 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar